Dr. Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani dalam karyanya “Mafahim Yajib An Tushahhah” mengatakan bahwa ada sebagian ummat Islam yang mengaku pakar, mengkritik secara pedas adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Mereka mengingkari dengan sangat keras setiap orang yang menerima pembagian bid’ah seperti itu, dan bahkan diantara mereka ada yang menuduh fasik dan sesat. Mereka menuduh demikian karena adanya sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bahwa “Setiap Bid’ah adalah sesat.” Secara redaksional, hadits tersebut mengisyaratkan KEUMUMAN MAKNA HADITS (bukan hanya bid’ah tertentu) dan dengan tegas menyifati bid’ah sebagai perbuatan yang sesat dan menyesatkan (lihat hadits-hadits di depan dalam 2. Ancaman terhadap Bid’ah dan Ahli Bid’ah). Oleh karena itu, mereka berani mengatakan ”Apakah dibenarkan atau dapat diterima, setelah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai penetap syariat yang menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, kemudian muncul seorang fakih, setinggi bagaimanapun tingkatannya dan berpendapat “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat, tetapi sebagiannya ada yang sesat dan sebagiannya lagi ada yang bagus, serta ada juga yang sayyiah (buruk).
Dengan pendekatan seperti itu banyak ummat Islam yang tertipu. Mereka bersama-sama berteriak menyatakan pendapatnya dan mengingkari pendapat yang lainnya. Ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan atau maksud ajaran Islam (maqashid al syar’i) dan belum merasakan ruhnya.
Selang beberapa saat, mereka TERPAKSA MENCARI JALAN KELUAR DARI BERBAGAI PROBLEMATIKA KONTRADIKTIF DAN BERBAGAI MACAM KESULITAN yang dihadapinya, untuk memahami realitas yang akan dilaluinya. Mereka berusaha mencari jalan agar bisa menemukan penemuan baru atau inovasi baru dengan membuat suatu perantaraan atau washilah. Sebab tanpa washilah, mereka tentunya tidak dapat makan dan minum, tidak kuasa mendapatkan tempat tinggal, tidak dapat berpakaian, tidak dapat bernafas, tidak dapat bersuami atau beristri, dan bahkan tidak dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, dengan saudaranya serta masyarakatnya. Perantaraan yang dimaksud adalah MEMUNCULKAN SUATU DEFINISI BARU TENTANG BID’AH, bahwa “Sesungguhnya bid’ah itu terbagi dua yaitu BID’AH DINIYYAH (berkaitan dengan agama) dan BID’AH DUNYAWIYYAH (berhubungan dengan urusan duniawi).
Subhanallah! Mahasuci Allah ! Orang yang suka main-main ini berani sekali membolehkan dirinya menemukan penemuan baru berupa pembagian semacam itu atau paling tidak menemukan penamaan baru atau definisi baru mengenai bid’ah. MEREKA SELALU MENGATAKAN AGAR MENGIKUTI JALAN SALAFUSH SHALEH, FIRQATUN NAJIYAH, dan selalu mengatasnamakan kembali kepada Al Qur’an dan al Hadits. Padahal pembagian atau klasifikasi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan dunyawiyyah ini tidak dikenal sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai sekitar tahun 600 – 700 H, dan secara pasti tidak pernah ada pada masa tasyri’. Lalu darimana klasifikasi itu muncul atau darimana penamaan itu baru timbul?
Penemuan baru mereka tentang klasifikasi bid’ah itu, kalau kita kategorikan sebenarnya juga termasuk bid’ah. Mereka hanya ingin menyelamatkan diri dari definisi bid’ah yang dibuat sendiri, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat dan menyesatkan dan kemudian melihat saudara muslim lainhya berbeda dalam definisi bid’ah dengan dirinya, maka dikatakan saudara muslim lainnya itu sesat dan menyesatkan. Maka kembalilah kata sesat dan menyesatkan itu kepada diri mereka sendiri.
Mari kita perhatikan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang menegaskan bahwa ”SETIAP BID’AH ITU SESAT ATAU KESESATAN”. (Nanti kita akan membahas sabda Nabi ini secara jelas, bagaimana makna yang sesungguhnya, Insya Allah). Coba kita lihat, sabda Nabi ini begitu mutlak, tanpa syarat apa-apa, tetapi mereka berkata : “Betul, bahwa setiap bid’ah itu sesat”. Tetapi kenapa mereka membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah diniyyah yang merupakan kesesatan dan bid’ah dunyawiyyah yang dibolehkan? Oleh karena itu dipandang penting untuk menjelaskan problema dalam hubungannya dengan bid’ah ini. Dengan cara ini semoga segala yang musykil dan sulit akan dapat terpecahkan dan segala keraguan akan sirna, dengan mengharap pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah, perkara bid’ah ini adalah dari syari’, penetap syariat yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Lidahnya adalah lidah syara’ yang sangat bijaksana. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang bid’ah ini menurut pertimbangan syara’ yang dibawanya. Jika kita telah mengetahui bahwa definisi bid’ah asalnya adalah setiap yang baru atau inovasi yang tidak ada contoh sebelumnya, maka jangan sampai kita melupakan bahwa penambahan atau penemuan baru yang tercela (dalam konteks bid’ah) ini adalah penambahan dalam urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan dalam masalah syariat supaya menjadi bentuk syariat. Selanjutnya akan menjadi suatu bentuk syariat yang diikuti oleh ummat Islam dan disandarkan pada pemilik syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Yang demikian itulah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang menambah-nambah atau mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. HR Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16)
Jadi batasan intinya dalam konteks bid’ah ini adalah هَذَا فِىْ أَمْرِنَا (fii amrinaa haadzaa) artinya “dalam urusan agama kami ini”. Atas dasar inilah, sebenarnya pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah,hanyalah pembagian secara etimologis atau lughawy atau bahasa. Ia sebetulnya hanya sekedar penemuan dan penambahan yang baru (ikhtira’ dan ihdats). Dengan demikian pengertian bid’ah secara syara’ ini tetap tanpa keraguan yaitu suatu yang menyesatkan dan fitnah tercela, ditolak dan dimurkai. Kalau sekiranya mereka mau memahami makna atau pendapat seperti ini, insya Allah akan ada titik pengompromian berbagai pendapat, dan pendapat mereka tidak akan terlalu jauh dengan pendapat lainnya. Inilah yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar ummatnya satu hati, saling tolong menolong dengan perasaan kasih sayang. Perbedaan pendapat sesama muslim tidak menyebabkan perpecahan sehingga saling menyesatkan dan mengkafirkan pihak lain.
Perbedaan yang terjadi dalam masalah bid’ah ini hanya dalam wujud syakl atau bentuk. Namun mereka yang mengingkari pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, ternyata membagi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah. Sama saja. Dan kalau dilihat secara ilmiyyah atau secara syar’iyyah, dapat kita pahami bahwa pembagian bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah itu tidak cermat dan tidak teliti dalam mengungkapkan apa yang mereka pahami dan mereka yakini. Ketika mereka menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan agama itu menyesatkan, dan itu jelas benarnya, lalu mereka berkeyakinan dan menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan dunia tidak apa-apa, sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Dan ini sangat membahayakan, karena perkataan ini jelas mengandung fitnah, bencana dan musibah besar. Oleh karena itu perlu rincian yang jelas, bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik dan ada pula yang buruk, sebagaimana kita saksikan secara nyata yang tidak akan diingkari oleh siapapun kecuali oleh orang hatinya buta dan bodoh.
Untuk memenuhi pemahaman seperti itu, agaknya cukuplah mengikuti pendapat bahwa bid’ah terbagi kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, karena pembagian bid’ah ini hanya dari sisi kebahasaan atau lughawiyyah atau etimologis belaka, atau bagi mereka yang mengingkarinya diyakini sebagai bid’ah dunyawiyyah. Agaknya seperti inilah pendapat yang sangat hati-hati dan benar. Pendapat ini menghendaki sikap hati-hati dalam mengapresiasi dan merespon setiap urusan duniawi yang baru, dan menyelaraskan dengan hukum syariat Islam dan kaidah-kaidah agama. Pendapat ini juga mengharuskan ummat Islam menyesuaikan dan menimbang setiap hal duniawi yang baru dengan syariat Islam. Dengan cara demikian, akan jelas peran hukum Islam berkenaan dengan hal-hal duniawi yang baru, betapapun karakteristik bid’ahnya. Makna dan pemahaman bid’ah yang seperti itu tidak dapat terpenuhi kecuali melalui pembagian bid’ah yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan dari para imam ushul fiqh.
0 komentar:
Posting Komentar