BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 30 Maret 2011

11. Hadits Dha’if (Lemah)


Ada sebagian orang yang membid’ahkan amal ibadat yang berdalilkan Hadits dha’if. Pendapat yang macam begini adalah keliru kalau tidak akan dikatakan salah besar. Hadits yang dha’if bukanlah Hadits yang maudhu’ (hadits yang dibuat buat), tidak sama dengan hadits maudhu’, dan bukan hadits yang tidak benar, dan bukan pula hadits bohong, tetapi hanya hadits yang lemah sanadnya, dan asalnya dari Nabi juga. Jadi  Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang cacat dalam tingkah laku/perbuatannya atau sanadnya terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!

Hadits yang dikatakan dha’if atau lemah ini ialah hadits yang derajatnya kurang sedikit dari hadits Shahih atau Hadits Hasan. Hal ini dapat dicontohkan umpamanya kepada sebuah hadits dari Nabi, kemudian turun kepada Mansur, turun lagi kepada Zaid, turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Daud. Ibnu Majah atau Abu daud membukukan hadits itu dalam kitabnya.
Kalau orang yang bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zaid dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, dengan arti baik perangainya, saleh orangnya, tidak pelupa hafalannya, maka haditsnya itu dinamai hadits shahih. Tetapi kalau ketiganya atau salah seorang dari padanya terkenal dengan akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah makan di jalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya, maka haditsnya dinamai hadits dha’if (lemah).

Pada hakikatnya hadits yang semacam ini adalah dari Nabi juga, tetapi “sanadnya” kurang baik. Bukan Haditsnya yang kurang baik. Ada lagi yang menyebabkan hadits itu menjadi dha’if, ialah hilang salah seorang daripada rawinya. Umpamanya seorang Thabi’in yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan  Berkata Rasulullah, pada hal ia tidak berjumpa dengan Nabi. Hadits ini dinamai Hadits Mursal, yaitu hadist yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits ini ialah dha’if juga. Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membikin sesuatu hadits menjadi dha’if atau lemah.

Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits,Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).

Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahmatullah alaih mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama Islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka  ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.

Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh  Baginda Nabi. Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat  bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang  melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).

Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah  Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.

Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.

Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dan lain-lain.

Tentang memakai hadits dha’if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat di antara Imam-imam mujtahid, yaitu :

1. Dalam madzhab Syafi’i hadits dha’if tidak dipakai untuk dalil bagi penegak hukum, tetapi dipakai untuk dalil bagi “fadhailul a’mal”. Fadhailul A’mal maksudnya ialah amal ibadat yang sunnat-sunnat, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain- lain. Hadits Mursal tidak dipakai juga bagi penegak hukum dalam madzhab Syafi’i kerana Hadits Mursal juga hadits dha’if. Tetapi dikecualikan mursalnya seorang Thabi’in bernama Said Ibnul Musayyab.

2. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dha’if bukan saja dipakai dalam Fadhailul A’mal, tetapi juga bagi penegak hukum, dengan syarat dha’ifnya itu tidak keterlaluan.

3. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memakai hadits yang dha’if kerana mursal, baik untuk Fadhailul A’mal maupun bagi penegak hukum.


Nah, di sini nampak bahwa Imam-imam Mujtahid empat madzhab yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya. Mereka memakai hadits-hadits dha’if untuk dalil karena hadits itu bukanlah hadits yang dibuat-buat, tetapi hanya lemah saja sifatnya. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki. Karena itu tidaklah tepat kalau amal-amal ibadat yang berdasarkan kepada hadits dha’if dikatakan bid’ah, apalagi kalau dikatakan bid’ah dhalalah. Membid’ahkan terhadap orang yang mengamalkan hadits dho’if, maka dia juga telah berbuat bid’ah, artinya bid’ah itu kembali kepada dirinya sendiri.

Habib Munzir Al Musawa “Kenalilah Aqidahmu” menulis bahwa hadits dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, hadits dhoif tak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.

Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.

Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits yang digolongkan kepada hadits palsu.

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadits dhoif sebagai hadits palsu berarti mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan hukumnya sama dengan kufur kepada Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no.110),

Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam pula : “Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no.1229),

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dantak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bilamereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zamandalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku- ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh, al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hokum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih ada lagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut: Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy).

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafi'i rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.

Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafi’i lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafi’i, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam Syafi’i dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafi’i sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam Syafi’i, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya, seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberifatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksudnya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih merobohkan fatwa para imam adalah buku terjemahan. Apabila yang dijadikan rujukan untuk buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?

Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa?

Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid-muridnya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid-muridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka. Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.

Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula. Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hingga kini kita Ahlussunnah Wal Jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i tak menyebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafi'i yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid-muridnya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafi’i dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.

Sebagaimana berkata Imam Syafi’i : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunnat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya. Secara logika betapa Imam-imam ahlul Hadits, Fiqih, Tafsir dan sebagainya yang mengamalkan Shalat Subuh dengan qunut, dengan tuduhan mereka adalah sebagai ahli neraka, naudzubillah. Suatu hal yang tidak masuk akal.

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.

Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,

Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf :  dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.
Contoh Pengamalan Hadits Dhoif. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut: Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati".
Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dhaif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut, sehingga hadis tersebut dianggap dhaif.
Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadis dhaif ini, karena hadis dhaif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.
Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.

Meriwayatkan Hadis Dhaif
 Adapun sekedar meriwayatkan hadis dhaif dalam masalah selain akidah, hukum halal dan haram, seperti dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), kisah, nasehat dan semisalnya, para ulama telah membolehkannya selama hadis tersebut tidak divonis maudhu' (palsu) atau sejenisnya tanpa menerangkan bahwa hadis tersebut adalah dhaif. Riwayat-riwayat semacam ini sangatlah banyak dan populer. Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sejumlah riwayat hadis dhaif dalam kitabnya, Al-Kifayah. Demikian pula Imam Ahmad, beliau mengatakan: "apabila kami meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw yang berkenaan dengan hukum halal dan haram, sunnah dan hukum-hukum lainnya maka kami memperketat dalam masalah sanad, adapun jika berkenaan dengan fadhail amal ataupun yang tidak berhubungan dengan hukum maka kami mempermudahnya".
Kendatipun demikian, para ulama tetap memperhatikan sisi ketelitian dalam periwayatan mereka. Mereka tidak meriwayatkan hadis-hadis dhaif dengan ungkapan jazm (pasti) ketika menyebutkan bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, seseorang tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif dengan ungkapan: "Rasulullah saw bersabda demikian", atau "melakukan hal demikian" atau "menyuruh demikian" atau kalimat-kalimat sejenisnya yang memberi kesan jazm (kepastian) bahwa semua itu benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Akan tetapi, lafal yang harus digunakan adalah: "diriwayatkan bahwa Rasulullah saw berkata demikian", atau "terdapat kabar dari Rasulullah bahwa beliau mengatakan demikian", "diceritakan bahwa beliau berkata demikian" atau kalimat-kalimat sejenisnya.
 Adapun riwayat yang masih mengandung keraguan, maka dapat digunakan kalimat: "Rasulullah saw bersabda demikian, dengan asumsi bahwa riwayat ini benar (sahih atau hasan)". Akan tetapi para ulama terdahulu sering menggunakan kalimat "ruwiya" untuk hadis-hadis yang sahih dengan asumsi bahwa hadis tersebut sudah sangat populer di kalangan mereka pada waktu itu, sebagaimana akan kita bahas pada bab tersendiri mengenai hadis mu'allaq, insyaallah.
Diterjemahkan dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis karya DR. Nuruddin 'Eter, hal 291-297.

Selasa, 29 Maret 2011

10. Memahami Hadits secara Benar dan Komprehensif.

Untuk menghindari kesalahpahaman hadits-hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, maka perlu ditafsiri sebagian hadits dengan sebagian yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits lainnya pula. Hadits Nabi dipahami secara cermat dan teliti, komprehensif dan menyeluruh; tidak dipahami secara partial atau sepotong-sepotong. Yang lebih penting lagi harus dipahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ulama salaf yang saleh. Misalnya :

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
لاَصَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
Artinya : Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali shalat di masjid.
Hadits ini, meskipun mengandung pembatasan (hasyr), yakni menafikan shalat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari berbagai hadits lain mengenai shalat, mengisyaratkan bahwa hadits tersebut perlu dipahami dengan suatu kayyid atau pengikat. Dalam hadits lain dikatakan bahwa shalat sunnat yang baik dikerjakan di rumah. Maka pengertian yang diinginkan adalah bahwa tidak ada shalat fardhu yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.
Begitu pula dengan hadits dibawah ini :
لاَصَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
Artinya : Tidak ada shalat dengan (tersedianya) makanan
Maksudnya tidak ada shalat yang sempurna jika makanan telah tersedia. Demikian juga hadits berikut :
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya : Tidak beriman (maksudnya iman tidak sempurna) salah saorang diantara kalian, kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri.
وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ  وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ  وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ, قِيْلَ:مَنْ يَارَسُوْلَاللهِ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ  
Artinya : Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, (dengan keimanan yang sempurna). Ada yang bertanya : Siapakah (yang tidak sempurna keimannya) itu ya Rasulullah. Dia menjawab :”Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya.


لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
Artinya : Tidak  akan masuk syurga pengadu domba
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وَعَاقَ لِوَالِدَيْهِ
Artinya : Tidak akan masuk syurga pemutus tali persaudaraan dan orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Menurut para ulama, yang dimaksud tidak akan masuk syurga itu adalah tidak akan masuk secara baik dan utama atau tidak akan masuk syurga jika menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan mungkar seperti itu. Jadi ulama tidak memahami hadits ini secara arti lahir, tetapi mereka memahami secara takwil.
Maka harus seperti itu pulalah memahami hadits tentang bid’ah. Keumuman kandungan berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat Nabi mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits bahwa “setiap ? bid’ah adalah dhalalah”, maksudnya adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk), yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran Islam.
Cobalah perhatikan hadits ini :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَاوَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَاإِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Barangsiapa yang menetapkan atau melakukan suatu kebiasaan (sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.
Betapa besar pahala yang diberikan oleh Allah, hanya dengan melaksanakan suatu perbuatan yang baik, yang dasar atau pokoknya berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, maka dia akan mendapat pahala yang mengalir terus selama orang yang mencontoh kebaikan tersebut mengerjakannya. Kita bayangkan, betapa besar pahala Umar radhiyallahu anhu, dimana beliau berijtihad dengan menjadikan shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Sejak dari zaman beliau sampai hari ini, berapa milyar orang yang telah mengikuti contoh beliau, sehingga hari ini masih dikerjakan orang, dan Insya Allah sampai hari kiamat. Subhanallah!!! 

Senin, 28 Maret 2011

9. Hasil-hasil Ijtihad Para Imam Mujtahid.

Hasil-hasil ijtihad Imam-imam Mujtahid tidak boleh dikatakan bid’ah (dhalalah) walaupun semuanya tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan kalau akan dikatakan bid’ah juga, maka disebut bid’ah hasanah.

Misalnya dalam masalah zakat. Pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dizakatkan hanya gandum, lembu, kambing, mas dan perak, tetapi padi, kerbau, uang kertas tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Para Imam Mujtahid berpendapat bahwa padi dizakatkan juga, diqiyaskan kepada padi. Kerbau kalau sampai senishab dizakatkan, diqiyaskan kepada lembu. Dan uang kertas dizakatkan juga karena diqiyaskan kepada dirham dan dinar (uang emas) yang ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Berijtihaj bagi Imam Mujtahij telah diberi izin oleh Nabi dengan cara umum, karena itu HASIL IJTIHAJ HARUS DITERIMA DAN TIDAK BOLEH DIKATAKAN BID’AH. Kalaupun dikatakan bid’ah namanya bid’ah hasanah.

Dalam kitab Hadits dijumpai :

عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعْثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ:كَيْفَ تَقْضِى إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟قَالَ:أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ, قَالَ:فَاِنْ لَمْ تَجِدُ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:بِسُنَةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ: فَاِنْ لَمْ تَجِدُ فِى سُنَّةِ رَسُوْ لِ اللهِ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:أَجْتَهِدُرَاءْيِ وَلاَأَلُوْ:فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ:أَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ. 

Artinya : Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz,”Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa kehadapanmu?” Mu’adz menjawab,”Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Nabi bertanya lagi,”Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?” Mu’adz menjawab,”Saya akan memutuskannya menurut sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya lagi,”Bagaimana kalau engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasul dan Kitabullah?” Muadz menjawab,”Ketika itu saya akan berijtihad tanpa bimbang sedikitpun.” Mendengar jawaban itu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangannya ke dadanya dan bersabda,”Segala puji bagi Allah yang telah member taufiq utusan Rasulullah, sehingga menyenangkan hati RasulNya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Daud, dalam Shahih Tirmidzi juz II, hal 68-69, dan Abu Daud, juz III, hal 303).
Dalam hadits ini Imam Mujtahid diberi ijin seluas-luasnya untuk berijtihad bilamana hukum sesuatu tidak ditemuai dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh karena itu pendapat Ibnu Qayyim Al Jauzi, yang membid’ah dhalalahkan pembacaan ushalli sebelum takbiratul ihram, karena bacaan ushalli itu diqiyaskan kepada niat sebelum niat haji.
Dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  bersabda :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Artinya : Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Labbaika, inilah haji dan umrah” HR. Muslim, lihat Syarah Muslim VIII, hal 216).
Hadits menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  membaca niat haji, sebelum talbiyah, yakni sebelum melaksanakan haji.


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِ الْعَقِيْقِ يَقُوْلُ:أَتَانِى اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّى فَقَالَ:صَلِّ فِى هَذَا االْوَادِى الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Artinya : Dari Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda di Wadi ‘Aqiq (nama suatu tempat) Telah datang tadi utusan dari TuhankuIa menuruh supaya shalat (sunnah) disini dan katakanlah’”Ini Umrah di dalam haji” HR. Imam Bukhari, lihat Syarah Shahih Bukhari I, hal 189).
 Dari dua hadits di atas ternyata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  membaca niat haji, yaitu “Sengaja aku mengerjakan Haji dan Umrah>” Kedua hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Imam Qashthalani rahmatullah alaih dalam kitabnya “Mawahibul Ladiniyyah” menulis :
وَالَّذِىاسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَصْحَابُنَااسْتِحْبَابُ  النُّطْقِ بِهَاوَقَاسَهُ بَعْضُهُمْ عَلَى مَافِى الصَحِيْحَيْنِ مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ وَعُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
Artinya : Dan yang telah tetap bagi sahabat-sahabat kita, bahwa sunnat melafazkan “ushalli”, dan mengqiaskan sebagian ulama dengan apa yang tersebut dalam kitab Bukhari dan Muslim, yaitu hadits dari Anas dan Umar (tentang niat haji). (Imam Qashthalani,  dalam Mawahibul Laduniyyah II, hal 217).
Banyak lagi contoh qiyas dari hasil ijtihad Imam Mujtahid y nag semuanya tidak dikenal pada zaman Nabi, tetapi diterima oleh dunia Islam. Umpamanya :
a.       Haram hukumnya memukul ibu bapak (kedua orang tua) karena diqiyaskan kepada haramnya mengatakan “cis” atau “akh” (QS. Isra’ : 23), karena keduanya sama-sama menyakiti ibu bapak.
b.      Haram hukumnya membakar harta anak yatim, karena diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim (QS An Nisa : 10), karena memakan dan membakar sama-sama melenyapkan harta.

Minggu, 27 Maret 2011

8. Titik dan Baris dalam Ayat Al Qur’an.

Titik atau nuqthah  dan baris dalam ayat-ayat Al Qur’an pada hakikatnya merupakan bid’ah juga, karena tidak terkenal pada zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi hal ini termasuk bid’ah hasanah karena diadakan demi untuk menjaga agar kitab suci jangan sampai kacau balau oleh yang membacanya.
Al Qur'an pada zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak pakai titik (nuqthah) dan tidak pakai baris (syakl).
Tulisan kitab suci Al Qur'an ketika itu seperti yang tertera di bawah ini :
Artinya : Dan suatu pemberitahuan dari Allah dan RasulNya pada hari haji besar, bahwasanya Allah berlepas diri daripada orang musyrik dan juga RasulNya (berlepas diri pula). (QS At Taubah : 3)
Ayat ini pasti dibaca oleh sahabat-sahabat Nabi, sesuai dengan yang didengarnya dari Nabi dan sesuai pula dengan tatabahasa Arab begini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ اْلأَ كْبَرِ
 أَنَّ اللهَ بَرِىْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
Perkataan :



وَأَذَانٌ
Tidak akan dibaca :
وَاَذَانٍ

Karena perkataan itu mubtada, yang menurut hukum ilmu nahwu harus marfu’ dengan dhammah
Perkataan :

مِنَ اللهِ
Tidak akan dibaca :
مِنَ اللهُ
Karena menurut ilmu nahwu, setiap isim yang datang sesudah huruf jar (yaitu mim) masti majrur, yaitu barisnya di sebelah bawah 

Perkataan :
وَأَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
Tidak akan dibaca :
وَأَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
Karena kalimat “Rasulih” itu matuhf kepada lafazh Allah sebelumya.
Perkataan :
أَنَّ
Tidak akan dibaca :
إِنَّ
Karena ia datang setelah jumlah yang memastikan baris hamzah di atas.
Perkataan :
بَرِىءٌ
Tidak akan dibaca :
بَرِىءً
Karena ia khabar “inna” mesti marfu’
Perkataan :
مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Tidak akan dibaca :
مِنَ الْمُسْرِكِيْنَ

Karena perkataan ini tidak ada artinya .
Perkataan :
وَرَسُوْلُهُ
Tidak akan dibaca :
وَرَسُوْلِهِ
Karena hal ini akan merusak artinya yang bisa menyesatkan. Pendeknya kalau sahabat Nabi yang terdiri dari orang Arab yang mengerti dan faham ilmu nahwu dan tata bahsa Arab, tentu mereka tidak akan tersalah dalam membacanya sekalipun tidak pakai titik dan baris.
Misalnya :
بَرِىءٌ
Tidak akan ada yang membacanya dengan :
نَرِىءٌ
Atau
تَرِىءٌ
Tetapi mesti dibaca  dengan :
بَرِىءٌ
Karena ini yang sesuai dengan susunan kalimat.
Perkataan :
إِلَى النَّاسِ
Misalnya, tidak akan ada yang membaca dengan :
إِلَى التَّاسِ
Atau
إِلَى الثَّاسِ
Atau
إِلَى النَّاشِ
Atau
إِلَى الْبَاسِ
Tetapi tetap akan dibacanya dengan :
إِلَى النَّاسِ
Sebab inilah yang ada dalam bahasa Arab, dan begitulah yang lainnya.

Hal ini dapat juga dicontohkan kepada tulisan Melayu yang tidak pakai baris, tentu akan dapat dibaca dengan tepat oleh orang Melayu, dan tidak akan salah. Umpamanya ada kata :
Tulisan ini mestinya dibaca dengan : SAYA MELIHAT KAMBING MAKAN KEMBANG. Tidak akan dibaca :

a.      Saya melihat kembang makan kambing, karena tidak mungkin
b.      Saya melihat kumbang makan kambing, karena tidak mungkin
c.       Saya melihat kumbang makan kumbang, karena tidak mungkin
d.      Saya melihat kambing makan kumbang, karena tidak mungkin
Satu-satunya harus dibaca : Saya melihat kambing makan kembang.
Kembali kita kepada persoalan Kitab Suci Al Qur’an.
Setelah orang Islam berkembang dan negeri-negeri Islam bertambah luas ke Barat dan ke Timur, sampai ke Persia, India, Tiongkok, Kazachtan di Timur dan sampai ke Maroko, Spanyol dan Portugal di Barat, yang terdiri dari berbagai macam bangsa dan mempunyai bermacam-macam bahasa, yang mereka tidak mengetahui ilmu nahwu, sharaf, ma’ani dan balaghah, maka ayat-ayat suci itu diberi titik dan baris sangatlah bermanfaat bagi orang-orang yang tidak berbangsa Arab dan tidak pernah mendengar dari Nabi.
Seorang Jendral dari Khalifah Bani Umayyah Abdul Muluk bin Marwan yang bernama Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, berkuasa di Mekkah, Madinah, Basrah dan Kufah, sekitar tahun 70 H, memerintahkan kepada seorang ahli qiraat yang bernama Nashar bin ‘Ashim, supaya membuat titik-titik ayat Al Qur’an dan kepada Khalil bin Ahmad diperintahkan supaya membuat baris-baris ayat dalam Al Qur’an. Maka menjadilah Al Qur’an sebagaimana yang kita lihat sekarang ada titik dan baris pada setiap ayat. Hal ini dianggap sangat-sangat bermanfaat karena kesalahan bacaan akan merusak maknanya secara menyolok.
Misalnya dalam ayat di atas ada kalimat yang terletak pada akhir ayat, yang bunyinya :
وَرَسُوْلُهُ
Akan tetapi kalau salah dalam membacanya, sehingga dibaca :
وَرَسُوْلِهِ
Yaitu lam dengan “lam rasuli” berbaris di bawah, maka artinya menjadi : “Bahwasanya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan dari RasulNya”. Sedangkan yang benar adalah lam dengan “lam rasulu” dimana mempunyai arti yang benar yaitu “Bahwasanya Allah berlepas diri dari orang musyrik dan RasulNya juga berlepas diri” atau dalam bahasa Indonesia yang baik diartikan “Bahwasanya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Dengan adanya titik dan baris pada ayat-ayat Al Qur’an, maka terhindarlah Al Qur’an dari bacaan yang salah dan terhindar pula dari arti yang kacau balau.
Seluruh ummat Islam dari dulu sampai sekarang, termasuk ulama-ulamanya, para Imam Mujtahidnya, dan semua para pemimpinnya menerima dengan baik titik dan baris dalam ayat suci Al Qur’an, walaupun diadakan sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ini yang dinamakan HUKUM IJMA’ yang artinya kesepakatan (ulama dan seluruh lapisan ummat Islam). Maka titik dan baris yang pada mulanya bid’ah, menjadi “bid’ah hasanah” atau bid'ah yang baik.

Jumat, 25 Maret 2011

7. Sunnah Khulafaur Rasyidin

Perlu kita ketahui, bahwa ada beberapa masalah keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah masih hidup, tetapi diadakan oleh para sahabat Nabi dan Khalifah Rasyidin, seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali radhiyallahu anhum ajma’in. Semua perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan bid’ah dlalalah (bid’ah yang sesat), tetapi masuk kategori bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Mislanya :
a.       Membukukan kitab suci Al Qur’an, yang mula-mula diadakan oleh Abubakar As Shiddiq radhiyallahu anhu  dan kemudian disempurnakan oleh Usman radhiyallahu anhu.
b.      Shalat tarawih dengan berjama’ah 20 rakaat sebulan Ramadhan penuh, diadakan oleh Umar radhiyallahu anhu.
c.       Adzan pertama pada shalat Jum’at, diadakan oleh Usman radhiyallahu anhu.
d.      Dan lain-lain
Semuanya ini termasuk bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Nabi tidak menyuruhnya. Semuanya digariskan atas inisiatif Khalifah Rasyidin. Kalau Khalifah Rasyidin mengadakan suatu amal ibadat, maka kita harus mengikuti dan mengamalkan, karena Khalifah Rasyidin adalah orang yang selalu bergaul dengan Rasulullah dan ada petunjuka dari Rasulullah agar selepas beliau mengikuti petunjuk Khalifah Rasyidin.
a.       Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
فَعَلَيْكُمْ  بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
Artinya : Maka wajib atasmu memegang sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin (HR Imam Abu Daud, hal 201 dan HR Imam Tirmidzi).
Dalam hadits ini kita lihat bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sesudah wafatnya, beliau memerintahkan agar mengikuti juga sunnah Khulafaur Rasyidin. Hal ini dapat dipahami, karena Khalifah Rasyidin adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, bergaul dengan Nabi dan dalam suka maupun duka melihat dan mendengar secara langsung dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang tidak mau mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin, bukan hanya sekedar tidak mau mengikuti Khulafaur Rasyidin, tetapi secara tidak langsung ia menentang Nabi dan tidak mau mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam. Artinya tidak mau mengikuti sabda atau perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jadi sunnah Khulafaur Rasyidin bukan Bid’ah dlalalah tetapi bid’ah hasanah.

a.    Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :

إِقْتَدُوَابِ الَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍوَعُمَرَ
Artinya : Ikutilah dua orang sesudah aku wafat yaitu Abu Bakar dan Umar.(HR Imam Tirmidzi dalam Sahih Tirmidzi XIII, hal 129)

Banyak sekali hal-hal yang dibuat oleh Khalifah Rasyidin dalam agama Islam yang belum dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam,  tetapi diterima dengan baik oleh kaum Muslimin di dunia, termasuk di Indonesia.
Dahulu pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, ayat Qur’an ditulis di atas pelepah tamar, tembikar, batu putih dan lain-lain, disamping juga dihafal oleh sahabat. Kemudian pada zaman Khalifah Abu Bakar dimulai membukukannya dalam sebuah kitab. Membukukan ini merupakan bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi, tetapi bid’ah yang baik (hasanah).
Dalam Shahih Bukhari ada riwayat begini, karena panjang ditulis artinya saja :
Bahwasanya Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu berkata : Abu Bakar As Shiddiq  (Khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadinya peperangan Yamamah, dimana banyak sahabat Nabi yang mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Berkata Abu Bakar : Hai Zaid, Umar mengatakan pada saya bahwa banyak ahli Qur’an (yang menghafal Al Qur’an) wafat dalam peperangan Yamamah. Saya khawatir kalau mereka banyak wafat dalam medan peperangan yang lain, sehingga ayat-ayat Qur’an yang hilang. Umar mendesak saya, supaya mengumpulkan Al Qur’an dalam satu Mushaf, lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar menjawab : Demi Allah, pekerjaan ini baik! Dan Umar selalu mendesak saya dan akhirnya saya sependapat dengannya, kata Abu Bakar.
Berkata Zaid : Berkata Abu Bakar kepadaku : Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya. Engkau pada masa Nabi masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah. Cobalah kumpulkan seluruh wahyu itu! Zaid menjawab : Demi Allah, kalau sekiranya engkau perintahkan saya untuk memindahkan gunung/bukit, barangkali tidak seberat ini. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Abu Bakar mendesak  dan berkata : demi Allah, ini perbuatan baik. Zaid berkata  : Abu Bakar selalu mendesak saya, sehingga Allah membukakan hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya mencari ayat-ayat Qur’an dan saya mengumpulkan apa-apa yang tertulis di atas pelepah tamar, batu putih dan yang ada dalam dada para sahabat Nabi. (HR. Imam Bukhari, lihat Fathul Bari, X, hal 385 – 390)
Dari riwayat ini dapat diambil beberapa pengertian :
1.    Membukukan kitab suci Al Qur’an adalah pekerjaan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi. Lihatlah kata-kata Zaid bin Tsabit “Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah?” Bukankah ini merupakan sesuatu yang ditakuti oleh sahabat, yaitu pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah.
2.    Akan tetapi hal ini dianggap baik oleh Umar radhiyallahu anhu dan Abu Bakar radhiyallahu anhu,  dan keduanya adalah Khalifah Rasyidin, yang disabdakan oleh Rasulullah agar keduanya diikuti petunjuknya. Kenapa kedua Khalifah ini menganggap baik, padahal ini bid’ah, dan keduanya tahu akan hal tersebut. Kita bisa maklum, karena ini termasuk pikiran yang sangat cemerlang dari Umar radhiyallahu anhu  dan Abu Bakar radhiyallahu anhu, dengan mendapat ilham dari Allah, beliau melihat adanya kemaslahatan yang sangat besar bagi ummat Islam sampai akhir zaman. Betapa kita merasakan kemanfaatan dari pembukuan Al Qur’an tersebut. Maka walaupun ini bid’ah tetapi jadilah ia bid’ah hasanah (bid’ah yang baik)
3.     Ummat Islam di dunia wajib menerima kitab suci Al Qur’an  yang dibukukan walaupun walaupun ia dinamai bid’ah.
4.     Yang mengumpulkan ayat-ayat itu adalah Zaid bin Tsabit atas perintah Khalifah Abu Bakar. Zaid bin Tsabit ditunjuk oleh Abu Bakar karena pada zaman Nabi, beliau adalah juru tulis Nabi untuk menulis ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah.
Mushaf yang dikumpulkan Zaid bin Tsabit ini disimpan oleh Abu Bakar sampai wafat, kemudian mushaf itu disimpan oleh Umar. Selepas wafatnya Umar kemudian disimpan oleh Hafsah binti umar radhiyallahu anhu. 

Dalam Shahih Imam Bukhari juga ada riwayat :

Artinya : Bahwasanya Hudzaifah bin Yamani datang kepada Usman radhiyalllahu anhu (Khalifah ke tiga). Ketika itu Hudzaifah mengepalai (jadi amir) jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan. Hudzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit dalam membaca Al Qur’an. Maka datanglah Hudzifah kepada Khalifah Usman bin Affan, lalu beliau berkata : Wahai Khalifah, bersegeralah menolong ummat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci sebagaimana perselisihan kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian Usman radhiyallahu anhu meminta kepada Siti Hafsah radhiyallahu anha agar kumpulan Qur’an yang ada padanya diberikan (dipinjamkan), untuk disalin dan kemudian (setelah selesai disalin) akan dikembalikan. Maka Siti Hafsah memberikan Mushaf yang disimpannya kepada Usman bin Affan (yang ketika itu sebagai Khalifah ketiga). Usman radhiyallahu anhu menunjuk empat orang sahabat untuk menyalin Qur’an itu, yaitu :
1.  Zaid bin Tsabit (penulis wahyu di zaman Rasulullah)
2.  Abdullah bin Zubeir
3.  Said bin ‘Ash
4.  Abdurrahman bin Harits bin Hisyam
Keempat sahabat itu menyalin Mus-haf dan menjadikan banyak Mus-haf. Usman radhiyallahu anhu kemudian memerintahkan kepada 3 orang anggota panitia yang semuanya berasal dari suku Quraisy dan berkata : Kalau kamu berbeda faham dengan Zaid bin Tsabit tentang tulisan Al Qur’an, maka gunakanlah menurut bahasa Quraisy, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy. Sesudah Mus-haf selesai disalin, maka Usman radhiyallahu anhu mengembalikannya kepada Hafsah radhiyallahu anha. Selanjutnya Khalifah Usman mengirim setiap naskah Mus-haf itu ke pelosok daerah dan memerintahkan supaya setiap ayat-ayat yang ditulis di pelepah tamar, tembikar dan sebagainya dihapus atau dibakar. (HR Bukhari, lihat Fathul Bari, X, hal 390 – 396).
Dari uraian riwayat shahih Bukhari ini, nampak sekali bahwa menuliskan Al Qur’an dalam satu Mus-haf adalah sunnah khulafaur Rasyidin, yang tidak dikenal pada zaman Nabi. Ini juga dikatakan bid’ah, tetapi bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.

Imam Bukhari rahmatullah alaih  ada juga riwayat begini :
Artinya : Dari Saib bin Yazid radhiyallahu anhu, beliau berkata : Adalah adzan diwaktu Jum’at permulaannya apabila duduk Imam di atas mimbar pada zaman Nabi, zaman Abu Bakar dan zaman Umar. Ketika zaman Usman dimana orang bertambah banyak, maka beliau (Usman) menambah adzan yang ketiga di atas zaura’. (HR Bukhari I, hal 116).
Pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anh, adzan waktu shalat jum’at ada dua kali (adzan dan iqamat) Kemudian setelah orang bertambah banyak dan kesibukan manusia bertambah, maka Usman radhiyallahu anhu menambah adzan yang ketiga, yang sekarang dinamakan adzan pertama dalam shalat jum’at. Dengan demikian, adzan pertama ini dinamakan juga bid’ah, karena tidak dilakukan pada zaman Nabi, tetapi dikatagorikan sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena diperintahkan oleh Khalifah Rasyidin, yang ada perintah dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  agar kaum muslimin semuanya mengikuti petunjuknya. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mau mengikuti sunnah Nabi, naudzubillah min dzalik.