BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 20 April 2011

22. Madzhab dan Adab dalam Berikhtilaf

Berbicara mengenai bid’ah ini, sangat erat hubungannya dengan masalah madzhab. Isu bid’ah dimunculkan oleh sebuah aliran yang menyerukan agar ummat Islam berlepas diri dari seluruh madzhab dan tidak berpegang dengan salah satu madzhab apapun, terutama dalam masalah Fikih. Mereka menyerukan agar ummat Islam berpegang pada Quran dan Sunnah saja dengan pemahaman para sahabat dan salafus shalih. Lalu mereka menyebut hal itu sebagai berpegang teguh terhadap madzhab Rasulullah. Aliran ini pun kemudian mencatut nama salafus shalih untuk dijadikan nama mereka. Karena itulah ada yang menamakan MADZHAB “ANTI MADZHAB
Jika kita amati sepintas, seruan ini tampak sangat indah dan memukau. Bagaimana tidak, siapa yang ingin menandingi Rasulullah, Nabi yang maksum (steril dari kesalahan), dengan mengikuti para imam atau ulama yang tidak maksum? Siapa yang ingin mengikuti pendapat para imam atau ulama dengan meninggalkan hadits-hadits shahih, padahal mereka semua mengatakan, "Jika hadits shahih, itulah madzhabku." Maka, secara tidak langsung jika kita mengikuti hadits shahih, berarti kita telah melaksanakan wasiat para imam itu sendiri. Sebaliknya, jika kita mengikuti pendapat mereka dengan meninggalkan haditts shahih, berarti kita telah menyelisih madzhab mereka. Benarkah demikian?
Semenjak wafatnya Rasulullah, para ulama –yang merupakan pewaris para Nabi, melanjutkan perjuangan Islam dengan mentransfer ajaran-ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Perjuangan ini dipelopori oleh para sahabat Nabi, dilanjutkan dengan para pengikutnya (tabiin), pengikut pengikutnya (atba' tabiin) dan seterusnya hingga sekarang.
Sebagaimana telah menjadi sunnatullah bahwa seiring berlalunya zaman, dinamika persoalan yang muncul dalam kehidupan manusia semakin bertambah dan kompleks. Banyak permasalahan baru dihadapi oleh umat Islam yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, terutama di zaman Nabi. Keadaan itu memaksa tokoh-tokoh Islam yang diwakili oleh para ulama mujtahidin untuk membahasnya secara intensif dan mencari solusinya dalam syariat Islam. Mereka tertuntut untuk memberikan jawaban dari setiap permasalahan yang terjadi dengan merujuk pada sumber-sumber resmi dalam syariat. Lalu bagaimana mereka menjawab tantangan zaman yang selalu bertambah dan tidak pernah berkurang itu dengan sumber syariat berupa teks-teks Quran dan hadis yang jumlahnya sangat terbatas? 
Sejarah Lahirnya Fikih
Pada masa Nabi, seluruh sahabat dapat merujuk langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku pemilik tunggal otoritas membuat hukum (tasyri') yang mewakili Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga setiap permasalahan dapat terselesaikan dengan pengawasan Allah secara langsung. Namun sepeninggal beliau, para sahabat yang pernah hidup semasa dengan beliau menggunakan Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai dasar mengambil hukum. Jika tidak menemukan, maka mereka berijtihad sekuat tenaga dengan akal mereka, baik dengan membandingkan persoalan serupa yang telah ditetapkan hukumnya melalui teks-teks (metode Qiyas) ataupun mengembalikannya pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana yang telah mereka pahami selama bersahabat dengan Nabi. Sebagian hukum itu akhirnya dibukukan oleh orang-orang setelahnya dan dinamakan hukum Fikih.
Fikih ibarat bangunan megah yang telah dibangun oleh para ulama sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang. Fikih mencerminkan kekayaan hukum Islam. Di dalamnya kita akan mendapati ribuan bahkan jutaan permasalahan yang dibahas oleh para fuqaha. Sebagian permasalahan itu telah menjadi kesepakatan (ijma' atau ittifaq) seluruh ulama, sebagian lain merupakan pendapat mayoritas (jumhur), dan selebihnya adalah permasalahan yang masih dipersilihkan (ikhtilaf).
Di dalam kitab-kitab Fikih, kita mendapati penjelasan para ulama mengenai hukum-hukum Islam dengan bahasa yang komunikatif. Sebagian kitab, di samping menjelaskan hukum-hukum juga menyertakan dalil-dalilnya, sementara sebagian lain hanya menyebutkan hukum-hukumnya saja tanpa dalil. Alasan tidak disertakannya dalil bisa bermacam-macam, di antaranya karena dalil itu sudah sangat populer (masyhur) sehingga tidak perlu disebutkan lagi, atau kadangkala dalil itu bukan berupa teks yang dzhahir dan sharih, melainkan penafsiran yang diambil dari teks, baik melalui metode mafhum muwafawah ataupu mukhalafah sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fikih. Atau bisa juga untuk meringkas kitab supaya tidak terlalu panjang dan bertele-tele sehingga menyulitan para murid dan membuat mereka bosan. Itulah wujud kekayaan hukum Islam yang tidak meninggalkan satu permasalahan pun kecuali para fuqaha telah membahasnya secara detail, tentu saja sesuai dengan kondisi pada zaman mereka.
Jika ayat dan hadits kita ibaratkan sebagai bahan-bahan pokok, maka Fikih merupakan produk yang sudah siap pakai. Umat Islam tidak perlu repot-repot membolak-balik kitab Qur’an atau kitab-kitab hadits lalu membaca satu-persatu ayat dan hadits yang jumlahnya mencapai ribuan untuk mengetahui bagaimana tatacara shalat yang benar, atau puasa yang benar, dan sebagainya. Mereka cukup mencarinya dalam kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama yang telah mereka sarikan dari sumber-sumber resmi dalam syariat Islam dengan metode atau kaidah yang telah diketahui dalam Ushul Fikih. Tujuan para ulama membukukan hukum-hukum itu adalah untuk mempermudah seorang murid dalam mencari hukum-hukum dalam permasalahan-permasalahan tertetu.
Orang-orang yang menyerukan agar ummat Islam meninggalkan kitab-kitab Fikih ibarat ingin meruntuhkan istana yang sudah dirintis oleh para ulama sejak dahulu dan mengajak ummat Islam untuk membangun kembali istana baru dari awal dengan berbekalkan bahan-bahan pokok yang (sangat boleh jadi) tidak semua ummat Islam mengerti tentangnya. Memang slogan kembali kepada Quran dan Sunnah mudah diucapkan, namun prakteknya tak semudah pengucapannya.
Seharusnya, sebelum mereka menyerukan hal itu, mereka harus menawarkan terlebih dahulu rancangan atau desain bangunan seperti apa yang akan mereka buat, bagaimana bentuknya, apa saja alat-alatnya, bagaimana cara membuatnya, dan seterusnya. Itulah yang dinamakan dengan Ushul Fikih, yaitu pondasi Fikih. Tak mungkin sebuah bangunan dapat berdiri tanpa pondasi. Tanpa itu semua, ibarat berteriak-teriak dengan tangan kosong. Karena seruan itu sama saja mendeklarasikan ummat Islam agar meninggalkan madzhab yang ada dengan membangun madzhab baru yang independen.
Memang, bangunan Fikih dibuat dengan bahan-bahan ayat dan hadits, selebihnya disusun dengan akal atau ijtihad. Namun permasalahannya, tidak semua lapisan ummat Islam dapat melakukan hal itu. Para pakar Ushul Fikih telah membagi ummat Islam menjadi dua: mujtahid dan muqallid. Para mujtahid adalah mereka yang memiliki kapabilitas dan kompetensi di bidang penyimpulan hukum (istimbathul ahkam) secara langsung dari dalil-dalil yang terperinci (al-adillatut tafshiliyyah), sementara para muqallid yang diwakili oleh kalangan awam umat Islam adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan itu. Maka sangat keliru jika menyamakan seluruh lapisan umat Islam dan mengajak mereka untuk berijtihad secara langsung dengan mengambil dalil-dalil dari Quran dan Sunnah lalu menyusunnya menjadi sebuah hukum syar'i. Bagaimana kita ingin mengajak orang-orang yang tidak mengerti tentang kaidah-kaidah pengambilan hukum secara resmi untuk menyimpulkan hukum secara langsung dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah, sementara sebagian di antara mereka (boleh jadi) membaca Quran saja masih belum benar? Ungkapan kembali kepada Quran dan Sunnah akan menjadi tepat jika dipandu dengan pemahaman yang benar dan kemampuan yang mumpuni, bukan ditujukan kepada orang awam yang mungkin bahasa Arab saja tidak tahu.
Adapun pendapat sebagian orang yang menyisipkan kategori muttabi' di antara dua kategori di atas, tidaklah merubah substansi pembagian tersebut. Muttabi' pada dasarnya bukanlah mujtahid karena belum sampai derajat ijtihad. Jadi membebani muttabi' untuk berijtihad juga kurang tepat.

Ushul Fikih 
Imam Syafii (w. 205 H) adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar dan pondasi untuk melakukan sebuah ijtihad. Dalam kitabnya yang sangat menumental, Ar-Risalah, beliau menjelaskan kepada ummat Islam bagaimana tatacara pengambilan hukum secara benar. Kitab itu kemudian dinobatkan oleh seluruh ulama sebagai kitab pertama dalam bidang Ushul Fikih. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis tentang tema yang sama dan mengembangan apa yang pernah beliau tulis.
Selain dikenal sebagai seorang ahli Fikih dan ushul, beliau ternyata juga seorang pakar hadits. Namun demikian, beliau tidak serta merta memerintahkan seluruh elemen ummat Islam untuk berijtihad hanya bermodalkan hadits shahih saja, apalagi tanpa menjelaskan metode pengambilan hukum. Dalam catatan sejarah, berapa banyak para perawi hadits yang dhabith tapi tidak faqih? Oleh karena itu, berbekal hadits saja tidak cukup untuk membangun sebuah bangunan Fikih. Jika tidak, mengapa ada pembahasan tentang nasikh-mansukh, 'am-khas, mutlaq-muqayad dan lain sebagainya dalam kajian Ushul Fikih? Bahkan Imam Syafii menulis sebuah kitab khusus berjudul Ikhtilaful Hadits yang berisi tentang ayat-ayat atau hadits-hadits shahih yang secara kasat mata tampak saling kontradiksi (ta'arudh). Ternyata diperlukan otak-otak mujtahid untuk melakukan itu semua. Para imam Madzhab Empat-lah yang telah sampai pada derajat itu, di samping beberapa mujtahid mutlak lainnya tentunya, baik yang sezaman dengan mereka maupun yang sebelumnya atau setelahnya.

Madzhab
Kata madzhab berasal dari bahasa Arab (dza-ha-ba) yang berarti tempat (arah) pergi. Jika seseorang sedang pergi ke arah utara maka dikatakan, "Mazhabnya adalah utara." Kata ini kemudian digunakan untuk menyatakan pendapat-pendapat para ulama karena perbedaan pendapat di antara mereka seperti perbedaan arah mereka pergi. Jika seorang ulama berpendapat mengenai suatu permasalahan, maka pendapat tersebut disebut madzhabnya. Madzhab juga berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. (Sumber rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar).

Sedangkan madzhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian madzhab secara umum, bukan suatu madzhab khusus.

Madzhab Selain Empat Mazhab
Suatu kenyataan yang ada setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mulai timbul madzhab. Pada waktu itu madzhab-madzhab ini walaupun banyak bukanlah bermakna ianya mengecilkan Islam dalam aliran tertentu dan bukan juga suatu proses mewujudkan Syari’at baru. Namun ia merupakan manhaj atau metode untuk memahami syari’at, cara-cara menafsirkan nash-nash dan mengambil hukum dari sumber-sumbernya.
Madzhab-madzhab ini dapat dibagi menjadi tiga bagian: 
• Madzhab yang tidak berkembang lama
• Madzhab Syi’ah dan Khawarij
• Madzhab fiqh yang paling masyhur bagi imam-imam Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
Madzhab yang Tidak Berkembang.
Para mujtahid pada zaman ini sebenarnya cukup banyak, terdiri daripada tabi’in atau tabi’i al-tabi’in atau mereka yang berikutnya, tetapi kebanyakan mereka ini tidak ada orang yang mengumpul dan menyebarkan madzhab mereka di kalangan orang Islam dan mamfatwakannya. Akhirnya madzhab ini makin lama makin mengecil, hampir pupus dan hilang fiqhnya, kecuali pandangan mereka yang ditemui bertaburan di dalam kebanyakan kitab tafsir bil ma’tsur, syarah-syarah hadits dan kitab-kitab fiqh madzhab yang kekal.
Di antara tokoh-tokoh mujtahid ini ialah seperti ‘Ata’ bin Abi Rabah, Sa’id bin al-Musayyib, Ibrahim al- Nakha’iy, Sufyan al-Thauri. al-Imamal-Auza’iy, Ibn Jarir al-Tabari, Daud al-Dzahiri dan lain-lain lagi.
Madzhab Syi’ah dan Khawarij.
Terdapat beberapa madzhab lain yang masih hidup, kekal, berkembang dan diberi perhatian. Namun begitu ijtihad pendukungnya telah keluar dari lingkungan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah dari segi Ushul (prinsip) dan Furu’. Madzhab yang terpenting sekali ialah Syi’ah dan Khawarij, kemudian yang paling masyhur sekali ialah:
• Madzhab al-Ibadiyyah dari golongan al-Khawarij
• Madzhab al-Imamiyyah dari Syi’ah
• Madzhab al-Zaydiyyah dari Syi’ah juga tetapi ia lebih dikenali sebagai madzhab yang sedehana dan lebih dekat kepada Ahlusal-Sunnah wa al-Jama’ah
Madzhab Fiqih Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Madzhab fiqh yang termasyhur dari kalangan imam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah yang masih terus menerus memberi khidmat dan mempunyai pengikut setia yang banyak berkembang, menyebar, mengajar seterusnya dipelajari ialah empat mazhab yang terkenal seperti berikut:
1.       Imam Abu Hanifah (80-150H)
2.       Imam Malik bin Anas (93-179H)
3.       Imam al-Syafi’i (150-204H)
4.       Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
Mungkin kita bertanya, "Bukankah di sana ada banyak mujtahid mutlak, baik yang sezaman dengan para imam Madzhab Empat maupun sebelumnya atau setelahnya, lalu mengapa hanya berpegang pada Imam Empat saja?" Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak ada madzhab yang di-service secara istimewa oleh para pengikutnya kecuali hanya empat madzhab itu. Kita ambil contoh Madzhab Auza'i, madzhab yang dinisbatkan kepada seorang imam besar bernama Al-Auza'i, meskipun beliau dahulu adalah seorang imam besar yang boleh jadi secara keilmuan menandingi Imam Empat, namun madzhab beliau tidak sampai kepada kita secara mutawatir alias hilang begitu saja ditelan waktu. Yang tersisa hanya nukilan-nukilan perkataan beliau yang dimuat dalam kitab-kitab hadits maupun Fikih, itupun di antara sebagian nukilan itu ada yang benar dan ada yang tidak. Entah ke mana para pengikut yang dahulu mengikuti madzhab beliau? Yang pasti, madzhab beliau tidak terkodifikasi sebagaimana Madzhab Empat. Begitu juga halnya dengan madzhab-madzhab lainnya yang lenyap bersama zaman, seperti madzhab Ibnul Mubarak, madzhab Sufyan Ats-Tsauri, madzhab Ibnu 'Uyaynah, madzhab Al-Layts dan lain-lain.
Bandingkan dengan Madzhab Empat yang tetap eksis dan mendapatkan pelayanan istimewa dari para pengikutnya hingga detik ini dan hingga hari kiamat nanti (atas seizin Allah). Madzhab Hanafi misalnya, yang mendapatkan pelayanan luar biasa dari para pengikutnya sehingga sebagian besar (untuk tidak mengatakan semua) fatwa Imam Abu Hanifah telah terekam secara detail dalam kitab-kitab para muridnya, yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Begitu juga dengan madzhab Maliki, Syafii dan Hambali. Perpustakaan takkan lengkap tanpa kitab-kitab karangan mereka.
Kedua, tak terhitung jumlah para ulama yang menjadi pengikut Madzhab Empat, bahkan di antara mereka adalah para ahli hadits. Sebut saja Imam Nawawi, Ibu Hajar Asqalani, bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun. Sangat sulit diterima oleh akal bahwa mereka semua tidak memiliki kemampuan untuk menyaring hadits-hadits shahih dalam madzhab mereka. Jika memang keberadaan madzhab-madzhab itu telah menyimpang dari rel syariat Islam –sebagaimana tuduhan kalangan anti-mazhab, pastilah mereka menjadi orang pertama yang menyerukan kepada ummat Islam untuk meninggalkan semua madzhab yang ada.
Ketiga, tak satupun di antara keempat madzhab itu yang dibangun tanpa dasar atau pondasi (ushul). Setiap madzhab memiliki ushulnya masing-masing. Maka, jika memang kalangan yang ingin berlepas diri dari madzhab-madzhab itu konsisten dengan seruan mereka sendiri, seharusnya mereka menawarkan kepada ummat Islam konsep madzhab baru seperti apa yang ingin dibangun. Tentu saja slogan "Jika hadits shahih, itulah mazhabku" saja tidak cukup sebagaimana telah kita bahas di atas.
Mungkin kita bertanya lagi, "Bukankah madzhab-madzhab itu lahir sebelum zaman kodifikasi (tadwin) hadits, jadi ada kemungkinan sebagian hadits shahih tidak sampai kepada sebagian imam?"
Perlu diingat bahwa Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Artinya, jarak antara kelahiran beliau dengan wafat Rasulullah hanya beberapa puluh tahun saja. Sebagian di antara guru-guru beliau merupakan para pembesar tabiin seperti Al-A'raj, Ikrimah, 'Alqamah dan lain-lain. Begitu juga dengan Imam Malik yang lahir pada tahun 93 H. Dalam kitab Shahih Bukhari atau kitab-kitab hadits lainnya kita sering menjumpai hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya, antara Imam Malik dengan Rasulullah hanya melewati dua orang perawi saja. Lalu bagaimana dengan Imam Abu Hanifah yang masa hidupnya paling mendekati Rasulullah di antara Imam Empat yang ada? Bagaimana dengan Abdullah Ibnul Mubarak, seorang muhaddits besar yang sering hadir dalam majelis Imam Abu Hanifah? Begitu juga dengan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Memang, masih terbuka kemungkinan secara akal bahwa sebagian hadits shahih tidak sampai kepada para imam. Namun, apakah logis mengatakan bahwa seluruh ulama pakar hadits pengikut madzhab itu tidak mengetahui keberadaan hadits-hadits itu?
Jadi, menggunakan logika sebagian hadits tidak sampai kepada para imam tidak bisa dijadikan dalil untuk meruntuhkan madzhab mereka. Madzhab fikih itu telah eksis dibangun sebelum adanya kitab-kitab hadits dan diikuti oleh para ulama, bahkan termasuk para muhadditsin, baik mutaqadimin (klasik) maupun mutaakhirin (kontemporer). Lalu bagaimana mungkin orang yang datang belakangan (di zaman ini) melontarkan kemungkinan bahwa sebagian hadits tidak sampai kepada sebagian imam?
Aliran yang mengajak ummat Islam untuk meninggalkan madzhab pada hakikatnya adalah mengajak untuk mengikuti madzhab mereka. Jadi, aliran anti-madzhab pun sebenarnya merupakan madzhab baru. Dalam masalah gerakan anti madzhab, lalu mereka menyerang para imam madzhab dan yang mengikutinya, jelas itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah mengkritik para penggiat anti madzhab ini dengan menyusun kitab: Raf’ul malam an a’immatil a’lam.  Beliau telah melucuti pihak-pihak yang telah berlaku kasar dan sombong terhadap para imam-imam madzhab, dan Beliau telah berhasil mengembalikan madzhab dan para pendirinya pada kedudukan yang seharusnya mereka terima.
Sejak dahulu hingga kini selalu ada golongan yang selalu menyerukan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Seruan ini baik dan patut didukung, tetapi ternyata dibalik mulia seruan ini ada azab di dalamnya. Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu,“Kalimatul haq yuradu bihal baathil.” Kalimat yang benar untuk dimaksudkan pada hal yang batil. Dibalik seruan ini mereka hendak mengubur dalam-dalam warisan pemikiran para imam kaum muslimin, dengan slogan “Cukup Al Quran dan As Sunnah,” dan lemparlah ke tong sampah pemikiran Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka hanya mengambil pendapat imam-imam sesuai selera menurut manhajnya. Inilah golongan Hasyawiyah yang selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan menganalisa, dari istimbath para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.”
Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu  dan tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang picik, para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul Musta’an!
Di sisi lain, ada pula golongan lain yang menjadi lawannya. Mereka bersikap ekstrim pula dalam mengkultuskan pendapat madzhab. Mereka begitu fanatik dengan pendapat madzhabnya dan mengingkari pendapat madzhab lain. Akhirnya, mereka menjadi junudul madzhab (tentara-tentara madzhab) bukan junudullah (tentara-tentara Allah). Marahnya mereka karena madzhab, ridha pun karena madzhab. Pedang mereka siap terhunus dan taring mereka siap menerkam siapa-siapa saja yang mengkritik pendapat imam madzhabnya. Kuat lemahnya hujjah tidak lagi menjadi ukuran, tapi ukuran itu dilihat dari“Setiap orang  yang berbeda dengan madzhab kami maka dia sesat dan menempuh bukan jalan kaum beriman.”
Sikap ini juga tidak benar dan tercela, bahkan sama sekali bukan cerminan akhlak dari para imam madzhab, tidak Hanafi, tidak Maliki, tidak Syafi’i, dan tidak pula Hambali. Para bintang dunia ini, tidak pernah mengajak orang lain untuk selalu mengkultuskan pendapatnya, salah dan benar harus diikuti.
Maka, sikap anti madzhab di satu sisi dan kultus madzhab di sisi lain, keduanya sama-sama keliru dan berbahaya. Bahkan para imam dan tokoh madzhab seperti Imam Abu Yusuf (Hanafi), Imam Al Ghazali (Syafi’i), Imam An Nawawi (syafi’i), Imam Ibnul ‘Arabi  (Maliki), Imam Ibnu Taimiyah (Hambali), mereka adalah sebaik-baiknya imam pengikut madzhab, terbuka dengan pihak lain, tidak fanatik, dan berjalan bersama dalil-dalil.
Allah Ta’ala mengajarkan kita untuk menempuh jalan tengah, adil, dan seimbang:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا….
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan kamu ummat pertengahan ..” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Ayat lain:
أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya : “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. “(QS. Ar Rahman (55): 8-9)
Jika saat ini ada orang mengatakan bahwa dia mengambil hukum dari Qur’an dan Sunnah, tetap dia  berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Qur’an dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Qur’an dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.

Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?” Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.
Konsep Ikhtilaf atau Khilaf.
Ikhtilaf dalam bahasa Arab artinya tidak sependapat atas sesuatu perkara, maksudnya setiap orang mengambil jalan yang berbeda dalam perkataan maupun pendapat. Ikhtilaf juga memberi arti tidak sama, oleh karena itu setiap yang tidak sama dikatakan ikhtilaf. Sementara khilaf ialah pertentangan atau berlawanan “ ”مضادة (mudhadah), jadi artinya sama dengan ikhtilaf, walaupun maknanya lebih umum. (Karena khilaf itu sebagian dari (al-dhid) dan tidak semestinya setiap dua benda yang berbeda itu berlawanan, walaupun dua benda yang berlawanan itu berbeda. Lihat Ibn Manzur (t.t) “Lisan al-Arab”, Matba’ah al-Dar al-Arabiyyah Lial-Ta’lif wa al-Tarjamah. Kah. jld :1, hal : 430)
Ikhtilaf menurut istilah fuqaha’ berarti berbeda pendapat tentang agama, jalan-jalan dalam agama dan kepercayaan terhadap sesuatu yang bisa membawa kebahagiaan atau kecelakaan kepada manusia di dunia dan akhirat. (Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnati (t.t), “al-Muwafaqat”, Kah. Matba’ah ‘Ali Subaih Wa Auladihi. jld : 4, hal : 110). Perbedaan antara Ikhtilaf dan Khilaf yang dikatakan oleh al-Syatibi itu hanyalah istilah saja yang dilihat tidak ada kekuatan sandarannya, karena para fuqaha’ telah menggunakan al-khilaf dan al-ikhtilaf dengan makna yang sama saja yaitu “Sesuatu yang tidak disepakati para fuqaha’ dalam masalah-masalah ijtihad tanpa memandang betul atau salah atau ganjil pendapat yang diperkatakan itu”.
Larangan Ikhtilaf dalam Islam.
Islam memerintahkan supaya bersatu dan bermufakat serta melarang berpecah belah dan berselisih pendapat. Dari sini dapat difahami beberapa perkara berikut:
• Pertama : Ikhtilaf adalah sesuatu yang boleh terjadi di kalangan manusia, karena jika ia mustahil berlaku pasti syara’ tidak akan melarangnya dan tidak menuntut mukallaf meninggalkannya, karena melarang dari melakukan sesuatu yang mustahil adalah sia-sia.
• Kedua : Apabila ikhtilaf itu sesuatu yang boleh dilakukan oleh manusia, maka ia juga bisa dicegah dan boleh dihasilkan lawannya yaitu bersatu dan bersepakat, karena salah satu prinsip syara’ “Tidak ada taklif melainkan terhadap sesuatu yang mampu dilakukannya”, atau “Tiada taklif terhadap sesuatu yang mustahil”.
• Ketiga : Apabila Ikhtilaf itu sesuatu yang dilarang dalam Syariat Islam, maka sudah tentu ia madzmum (dicela). Hal ini karena pada dasarnya yang dicela itu dilarang melakukannya.
• Keempat: Apabila ikhtilaf dilarang atau dicela, maka siapa saja yang terlibat melakukannya akan dikenakan balasan siksa.
Oleh karena itu timbul persoalan, yaitu  sejauh manakah boleh terjadi ikhtilaf di antara manusia, dalam istilah lain adakah ia suatu yang jarang atau sering terjadi, atau sampai kepada tahap harus terjadi? Adakah orang Islam dikecualikan harus terjadi khilaf di kalangan mereka atau tidak? Adakah khilaf itu satu jenis saja atau bisa banyak? Adakah celaan itu terhadap semua jenis khilaf atau sebagian saja? Apakah faktor-faktor yang menyebabkan khilaf dan bagaimana menanganinya? Apakah balasan siksaan akan dikenakan ke atas semua orang yang berkhilaf dan lain-lain persoalan yang boleh dibangkitkan.
Sebenarnya perbincangan ini amat luas, tidak mungkin diperkatakan semuanya dalam pembahasan yang ringkas ini. Disini hanya bertumpu kepada jenis-jenis khilaf,kaidah-kaidah menangani masalah khilafiyyah dan adab al-Khilaf.
Perkembangan Khilaf.
Sebelum berbicara mengenai sebab-sebab khilaf antara fuqaha’ ini, khilaf itu sendiri terbahagi kepada tiga bahagian: (Umar Sulaiman al-Asyqar dan Muhammad Othman Syabir (1996), al-Urdun. Dar al-Nafais, “Masail fi al-Fiqh al-Muqarin”)
1.  Khilaf Yang Diterima.
Perbedaan yang terjadi dalam perkara-perkara yang disyariatkan itu bermacam-macam, cuma ulama’ berbeda pendapat tentang yang lebih afdhal dan patut diutamakan saja seperti haji Qiran, Tamatu’ dan Ifrad. Setiap jenis haji ini sah dilakukan walaupun mereka berselisih pendapat tentang yang lebih afdhal. Demikian juga membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah dalam shalat berjamaah Maghrib, Isya dan Subuh, dengan suara keras atau pelan, kedua-duanya harus yakin tidak membatalkan shalat walaupun sebagian ulama’ mengatakan sunnat membaca nyaring dan sebagian ulama’ lain menganggapnya makruh.
2.  Khilaf Yang Dicela.
Terdapat khilaf yang dicela. Ini disebabkan karena empat sebab:
• Kejahilan
• Kedzaliman dan pendurhakaan
• Mengikut hawa nafsu
• Menyalahi manhaj nabawi dalam penerimaan hukum Syara’ dan cara mengamalkannya
3.  Ikhtilaf Yang Harus Dan Dapat Diterima Akal
Khilaf ini ialah perbedaan yang terjadi di kalangan ulama’ mujtahidin dalam masalah ijtihadiyyah yaitu masalah yang tidak terdapat nas qat’iy. Namun demikian khilaf ini dapat diterima dengan syarat-syarat berikut:
a. Hendaklah khilaf itu berlaku di kalangan ulama’ fiqh dan orang yang berkelayakan dalam agama
b. Hendaklah ijtihad dan khilaf mereka itu dalam masalah far’iyyah yang tiada dalil-dalil qat’iy berhubung dengan hukumnya
c. Hendaklah tujuan masing-masing untuk mencapai kebenaran dan yang betul
d. Setiap orang faqih itu telah mencurahkan seluruh tenaganya bagi mencapai kebenaran Khilaf seperti ini juga berlaku di kalangan para sahabat dan tabi’in, namun demikian tidak ada seorang pun dikalangan mereka dicela karena perbedaan yang terjadi Hal ini disebabkan masing-masing bekerja unutk mencari kebenaran, kalau ada yang tersalah ketika menuntut dan mencari kebenaran itu mereka tidak dipersalahkan bahkan dimaafkan. Ini jelas daripada sabda baginda shallallahu 'alaihi wasallam :
إذا حكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران ، واذا حكم فاجتهد ثم أخطاء فله أجر “ ﴿حديث رواه البخارى مسلم﴾
Artinya : “Apabila seorang hakim hendak menjatuhkan hukuman, lalu ia berijtihad dan betul ijtihadnya, maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila tersalah dalam ijtihadnya maka ia mendapat satu pahala”.
Sebab-sebab Khilaf.
Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mujtahidin dan masing-masing menjelaskan hujjah yang menjadi sandaran kepada setiap masalah yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, tetapi perbedaan itu tidak sedikitpun membawa kepada golongan yang saling membenci diantara mereka dan tanpa membawa gesekan yang berarti diantara mereka dan ini terbukti berjalan sampai ribuan tahun. Dalam pada itu mereka saling hormat menghormati antara satu sama lain dan berlapang dada serta saling menyadari perbedaan itu yang tidak mungkin bisa disatukan. Ini disebabkan tabiat masalah-masalah yang dalilnya tidak qat’iy, maka pasti akan berlaku khilaf.
Faktor-faktor khilafiyyah adalah seperti berikut: 
Pertama :
 التفاوت فى العقل والفهم ولقدرة على تحصيل العلم 
Artinya : “Kemampuan Menguasai Ilmu Tidak Sama Dari Segi Akal Fikiran Dan Kefahaman” 
Manusia berbeda sesama mereka dari segi paras rupa dan warna kulit dengan perbedaan yang nyata dan kentara. Mustahil terdapat dua orang yang serupa seratus persen dalam semua keadaan walaupun mereka itu adalah sepasang adik-beradik kembar. Perbezaan ini sebenarnya adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah s.w.t sepertimana firmanNya:
ومن ءايته خلق السموات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم، إن فى ذلك لأيت للعالمين. ﴿سورة الروم : ٢٢(
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaanNya dan kebijaksanaanNya ialah kejadian langit dan bumi, dan perbedaan bahasa kamu” dan warna kulit kamu. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan bagi orang-orang yang berpengetahuan”.
Perbedaan sesama manusia tidaklah hanya pada rupa dan warna kulit saja bahkan perbedaan itu menjangkau jauh lebih daripada itu kepada bakat, lingkungan, kecenderungan, aliran, akal, kecerdikan, kepintaran, tabiat, naluri dan lain-lain sifat yang membentuk hakikat bathin manusia.
Perbedaan-perbedaan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap khilaf fuqaha’. Sebagian fuqaha’ mempunyai kemampuan yang tinggi dari segi hafalan dan kefahaman, ada di antara mereka yang hafalannya lebih baik daripada kefahamannya. Sementara yang lain pula kefahamannya lebih baik daripada hafalannya.
Kedua :
 التفاوت فى الحصيلة العلمية 
Artinya : “Perbedaan Dalam Pencapaian Ilmu.” 
Di antara faktor besar yang menyumbangkan khilaf fuqaha’ ialah perbedaan mereka dalam pencapaian ilmu, khususnya tentang al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila seorang faqih lebih pengetahuannya tentang al-Qur’an dan al-Sunnah, maka hukumnya lebih dekat kepada hakikat kebenaran.
Sementara itu ayat-ayat al-Quran terbatas bilangannya dapat dihafal sedangkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat banyak dan tentu sukar dikuasai dan dihafalnya. Ini adalah karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperkatakan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan tidak semua sahabat mendengar atau melihat apa yang baginda lakukan atau perkatakan. Maka apabila baginda wafat, sunnahnya tersimpan kepada segolongan sahabat dan tidak semua sahabat yang menghimpun sunnah itu di dalam dada atau buku masing-masing.
Para sahabat ada yang berlebih dan berkurang tentang menghafal al-Sunnah, ada di antara mereka yang menghafal dua atau tiga hadits saja, sementara yang lain ada yang menghafal beribu-ribu dan ada yang sederhana saja hafalannya. Banyak sahabat bertebaran di beberapa wilayah Islam, masing-masing menyebarkan sunnah yang dihafalnya kepada penduduk tempatan. Begitulah caranya ilmu dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebar luas di seluruh wilayah Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan untuk ummat ini beberapa tokoh yang mempunyai cita-cita yang tinggi, azam yang kuat dan niat yang bersih, mereka menjelajah seluruh dunia Islam merentasi timur dan barat bagi mengumpulkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyusunnya dalam kitab-kitab al-Sihah, al-Masanid dan al-Ma’ajim. Sebagian masyhur dan dikenal banyak orang dan sebagian lagi tidak masyhur, dan semuanya ini memudahkan untuk mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi untuk menguasai semua sunnah itu amat sulit bahkan mustahil, karena himpunan hadits begitu banyak. Lebih-lebih lagi arah pandangan ulama’ berbeda dalam menghukum sebagian hadits, karena sebagian ulama’ berpendapat beberapa hadits itu sahih sedangkan yang lain berpendapat hadits itu daif. Ini adalah satu bab yang luas perbincangannya sehingga membawa kepada berlakunya khilaf di kalangan ulama’.
Ketiga :
 التفاوت فى الاحاطة بعلوم اللغة العربية 
Artinya : “Perbedaan Dalam Penguasaan Ilmu-ilmu Bahasa Arab.” 
Allah  subhanahu wa ta’ala menurunkan al-Quran dalam bahasa Arab. Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Taha ayat 113 :
وكذلك أنزلنه قرءانا عربيا.....
Artinya : “Dan demikianlah Kami telah menurunkan al-Quran sebagai bacaan dalam bahasa ‘Arab.....”.
Allah subhanahu wa ta’ala memilih Rasul yang terakhir berbangsa Arab bahkan baginda seorang Arab yang paling fasih bahasa Arabnya. Ulama’ tidak dapat memahami al-Quran al-Karim dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selagi mereka tidak memahami bahasa Arab.
Perbedaan yang nyata di kalangan ulama’ dalam memahami hukum-hukum Syara’ disebabkan perbedaan mereka memahami Lisan al-Arab, penguasaan terhadap rahasia-rahasia bahasa Arab. Dari sinilah juga akan menyumbangkan khilaf di antara ulama.
Keempat :
 الاختلاف فى مدى حجية بعض المصادر الفقهية
Artinya : “Perbedaan Tentang Kehujjahan Beberapa Sumber Hukum.”
Khilaf ulama’ dalam hukum-hukum furu’, antara faktornya ialah berlaku khilaf di antara mereka tentang kehujjahan sebahagian sumber-sumber yang menjadi sandaran kepada hukum-hukum furu’. Contohnya fuqaha’ telah khilaf tentang kehujahan al-Hadits al-Mursal, al-Qiyas, al-Ijma’, al-’Urf, al-Masalih al-Mursalah, al-Istihsan dan Syar’u Man Qablana.
Setiap mereka yang berpendapat satu-satu sumber itu hujjah akan mengamalkannya dalam mentsabitkan sebagian hukum Syara’. Sementara bagi mereka yang tidak menganggapnya sebagai hujjah akan menolak dan membatalkannya serta hukum-hukum yang dibina ke atasnya selagimana tidak ada dalil yang lain.
Kelima :
 الاختلاف فى الشروط التى يجب توافرها فى الحديث الصحيح الذى يجوز الاحتجاج به 

Artinya : “Perbedaan Tentang Syarat-syarat Yang Wajib Dipenuhi Pada Hadits Sahih Yang Boleh Dijadikan Hujjah.”
Al-Hanafiyyah telah meletakkan syarat bagi beramal dengan Hadith Ahad; hendaklah perawi itu tidak beramal menyalahi apa yang diriwayatkannya, tajuk hadits itu bukan daripada perkara yang umum dan hendaklah hadits itu tidak menyalahi konsep al-qiyas dan dasar-dasar umum dalam Islam khususnya apabila perawi itu bukan seorang yang faqih.
Sementara al-Malikiyyah mensyaratkan Khabar Ahad itu hendaklah selaras dengan amal ahl al-Madinah, karena ianya sama seperti periwayatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan riwayat orang banyak lebih berhak diamalkannya daripada riwayat seorang saja. Dan penduduk Madinah lebih mengetahui yang terakhir warid daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jumhur fuqaha’ yang terdiri daripada al-Syafi’iyyah, al-Hanabilah, al-Zahiriyyah, al-saja’fariyyah dan sebagian fuqaha’ madzhab lain berpendapat yang pentingnya wajib beramal dengan hadits Ahad itu apabila riwayatnya itu shahih dan berhubung sanadnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hendaklah diistinbatkan hukum daripadanya serta dijadikan sebagai sumber perundangan Islam.
Sekiranya sanad hadits itu tidak berhubung dengan Rasulullah, atau haditsnya mursal, maka madzhab Syafi’i menerima hadits itu dengan syarat ianya hadits mursal dari tabi’in seperti perawinya Sa’id bin al-Musayyab dan mempunyai sanad dari riwayat lain atau hadits itu selaras dengan kata-kata sahabat atau difatwakannya oleh kebanyakan sahabat. Namun Madzhab Ahmad bin Hanbal, hadits mursal tetap diambil dan diterima/dipakai apabila tidak ada pada bab yang berkenaan hadits yang berhubung sanadnya.
Keenam :
 الاختلاف فى القواعد الأصولية
Artinya : “Perbedaan Tentang Beberapa Qawa’id Ushuliyyah.” 
Qawa’id Ushuliyyah ialah prinsip-prinsip, metode, manhaj, cara dan kaidah-kaidah yang pakai oleh para mujtahidin sebagai panduan untuk melakukan istinbat hukum-hukum Syara’. Para ulama’ fiqh akan iltizam dengannya dalam mengambil hukum-hukum Syara’ daripada dalil-dalilnya yang tafsili. Khilaf dalam Qawa’id Ushuliyyah adalah di antara faktor-faktor yang menyumbangkan khilaf dalam hukum-hukum furu’. Qawa’id Ushuliyyah ini sebagian merujuk kepada bahasa Arab dan sebagian yang lain merujuk kepada akal. Di antara contoh-contoh khilaf tentang Qawa’id Ushuliyyah adalah seperti berikut:
١. الاختلاف فى تحديد معنى اللفظ المشترك
٢. الاختلاف فى حمل الأمر على الوجوب أو على الندب
٣. الاختلاف فى حمل النهي على التحريم أو الكراهة
الاختلاف فى دلالة النص على مفهومه المخالف 
Ketujuh :
الاختلاف فى القراءت فى القرآن الكريم 
Artinya : “Khilaf Tentang Qiraat Dalam al-Quran al-Karim.” 
Kedelapan :
 الاختلاف بسبب تعارض الادلة 
Artinya : “Khilaf Disebabkan Pertentangan Dalil-dalil.” 
Kaidah Menyelesaikan MasalahKhilafiyyah.
Suatu perkara yang perlu diketahui bahwa hukum-hukum fiqh ada yang disepakati para imam mujtahidin, ada yang hanya disepakati dikalangan ulama’-ulama’ madzhab saja, ada yang berlaku khilaf di antara imam-imam mujtahidin dan ada juga berlaku khilaf dikalangan ulama’-ulama’ dalam madzhab yang sama. Oleh karena itu, ummat Islam harus menerima kenyataan di atas karena khilaf dalam perkara ijtihad dan hukum yang berasaskan pada dalil-dalil dzanni adalah suatu perkara yang tabi’iy bahkan pasti berlaku sebagaimana yang dinyatakan dalam sebab-sebab khilaf sebelum ini. 
Seruan untuk menyatukan madzhab-madzhab fiqh adalah suatu yang lucu, justru memaksa orang lain meleburkan atau mengorbankan pandangan ijtihadnya untuk berada dalam satu madzhab saja. Ini tidak mungkin bahkan ianya bertentangan dengan konsep dan tuntutan ijtihad karena seorang yang mampu berijtihad dan beramal dengan hukum yang dihasilkan oleh ijtihadnya bahkan tidak harus ia bertaqlid atau berpaling dari madzhabnya kepada pendapat orang lain. Sementara orang awam wajib bertaqlid kepada mazhab dan pendapat ulama’ mujtahidin yang menjadi pilihannya.

Sabtu, 16 April 2011

21. Ash Shabiyyah dan Bantahan Ulama-Ulama

Dakwah agama tanpa 'ash-shabiyyah tidak akan mendatangkan hasil. Ini karena rakyat (baca ummat) hanya mampu digerakkan dengan dorongan 'ash-shabiyyah. Ibn Khaldūn memetik sebuah Hadits Shahih yang mafhumnya: “Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali ia berada dalam penjagaan kaumnya.” Ibn Khaldūn menegaskan bahwa para Nabi ‘alaihis shalatu wassalam sendiri pun yang merupakan semulia-mulia makhluk dan mempunyai berbagai kelebihan memerlukan kepada penjagaan keluarga dan kaum, apalagi manusia biasa yang tidak mempunyai apa-apa kelebihan, tidak mungkin akan berhasil tanpa 'ash-shabiyyah. (Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn al-musammā kitāb al-'ibar wa dīiwān al-mubtadā wa al-khabar fīi ayyām al-'Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man 'āsarahum min dhawīi al-sultān al-akhbar. Jil. 1: Kitāb al-Muqaddimah, Dār al-Kitāb al-'Ilmiyyah, Beirut, Lubnan, 1992, hlm. 168.)
Ibn Khaldūn memberikan contoh yang terjadi pada Ibn Qasiyy (Ahmad bin Qasiyy, wafat pada tahun 546H/1151M. Beliau awalnya memberontak sejak berumur 10 tahun. Silahkan lihat Ibn al-'Arif, Mahāsin al-majālis, hlm. 5; Ibn Hazm, Jamharat ansāb al-'Arab, Paris, 1933, hlm. 467.), seorang ahli Shaikh Sufi dan pengarang kitab tasawwuf, Khal’un al-na'layn (Judul penuh kitab ini ialah Khal' al-na'layn wa al-iqtibās al-anwār min mawdi' al-qadamayn. Satu lagi karya yang mempunyai judul yang hampir sama ialah kitab Khal' al-na'layn fi wusūl ilā hadrat al-jam'ayn oleh 'Abd Allah al-Busnawī 'Abdī (wafat 1054H/1644M). Al-Hajj Khalīfah di dalam Kashf al-zunūn menyebutkan bahwa karya 'Abdī ini adalah ulasan atau syarahan kepada karya Ibn Qasiyy).
Beliau telah menyertai pemberontakan dalam menyerukan kebenaran di Andalus bersama-sama golongan al-Murabitun menentang pemerintahan al-Muwahhidūn. Pemberontakan al-Murābitūn ini terjadi tidak beberapa lama sebelum bermulanya seruan jihad al-Mahdī. Pemberontakan sedemikian tidak lain merupakan suatu penentangan terhadap ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh kerajaan al-Muwahhidūn yang tidak berhasil menyatukan rakyatnya. Sekiranya pemerintah mengukuhkan semangat agama dan disertai dengan semangat 'ash-shabiyyah, niscaya kerajaan yang didirikannya akan menjadi kukuh dan rakyat akan bersatu dan tidak mudah berpecah-belah. Namun, pemberontak al-Murābitūn yang telah bersatu padu dengan semangat 'ash-shabiyyah telah berhasil menumbangkan kerajaan al-Muwahhidūn dan merampas kekuasaan dari tangan mereka.
Sebuah kerajaan yang besar dan berkuasa hanya dapat ditumbangkan dengan suatu serangan bersatupadu yang hebat yang didukung oleh semangat 'ash-shabiyyah. Inilah yang dilakukan oleh para Nabi ‘alaihish shalatu wassalam ketika menyebarkan ajaran Allah kepada berbagai bangsa dan golongan. Ibn Khaldūn menambahkan lagi bahwa apabila seseorang ingin melakukan pembaharuan (tajdīd) agama, maka hendaklah dengan demikian itu yaitu dengan semangat 'ash-shabiyyah (walaupun mereka sering mengatakan bahwa mereka tidak taqlid dan tidak fanatik, tetapi sebenarnya sama saja, kadang bertindak ash-shabiyah yang melewati batas dengan mengkafirkan madzhab lain). Bertindak bersendirian akan membawa kepada kegagalan. Pembaharuan agama merupakan urusan Tuhan yang tidak akan terlaksana tanpa keridhaan dan pertolongan dari Allah di samping dilakukan dengan ikhlas.
Ibn Khaldūn memberikan contoh yang berlaku kepada Sahl ibn Salāmah al-Anshārī yang digelar dengan Abū Hātim. Beliau mengikat mushaf al-Qur’an di lehernya sambil menyeru orang banyak melakukan amal kebajikan dan mencegah kemungkaran serta mengajak agar melakukan suatu kerja berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau memerangi sesiapa saja yang menentang al-Kitab dan al-Sunnah, walaupun termasuk seorang khalifah. Banyak orang yang mengikutinya sehingga Ibrāhīm bin al-Mahdī mempersiapkan tentara untuk menyerangnya dan mengikutinya. Akhirnya Sahl pun tewas.
Ibn Khaldūn mengulas kisah ini untuk menunjukkan bahwa mereka yang bertindak walaupun untuk menegakkan kebenaran, sedangkan tidak mempunyai kesatuan ash-shabiyyah, perjuangan mereka tidak akan sampai ke tujuannya. Hal ini karena kebiasaannya, mereka ini tidak mendapat keyakinan dan dukungan orang banyak. Dukungan dan keyakinan tidak diperolehi karena niat mereka yang tidak ikhlas yaitu semata-mata untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dan jabatan sebagai pemimpin. Begitu juga dengan al-Tubadhrī yang mengaku bahwa beliau adalah al-Fātimī (al-Mahdī) al-Muntadzar. Banyak di kalangan orang Barbar yang terpengaruh dengan dakwahnya sehingga menimbulkan ketegangan. Namun akhirnya perjuangan beliau menemui kegagalan setelah disikat oleh pemimpin al-Musāmidah.
Satu contoh lagi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldūn ialah seorang lelaki di Ghimārah (Sebuah wilayah di Maghribi) yang dikenali dengan nama al-'Abbās yang juga mengaku sebagai al-Mahdī. Para pengikutnya terdiri daripada orang-orang bodoh yang kurang ilmu pengetahuan. Al-'Abbās denga pengikutnya telah menyerang kota Badis. Namun, beliau dan para pengikutnya terbunuh setelah empat puluh hari melancarkan serangan. Ibn Khaldūn begitu menitik beratkan mengenai konsep 'ash-shabiyyah. Beliau meletakkan ikatan 'ash-shabiyyah sebagai asas kekuatan suatu Negara, karena kemenangan akan berhasil apabila mempunyai kesatuan yang kuat yang terhasil dari ikatan 'ash-shabiyyah yang bertujuan ke arah kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan dan bukannya dalam kejahatan dan persengketaan. Kekuatan sedemikian akan melahirkan rakyat dan anggota yang sanggup berjuang bermati-matian demi memperjuangkan kebenaran dan mempertahankan negara. Kekuatan 'ash-shabiyyah yang dipadukan dengan kekuatan agama akan menjadikan sesuatu negara atau bangsa tidak dapat dikalahkan walaupun dengan bilangan tentara musuh yang banyak atau teknologi yang lebih maju. Inilah yang dapat kita lihat sebagai faktor utama kelemahan umat Islam pada hari ini yang senantiasa ditindas oleh penguasa-penguasa besar seperti Israel, Amerika, dan sekutu-sekutu mereka.
Islam adalah agama yang tinggi yang tidak akan ada yang menyamai ketinggian Islam. Islam senantiasa berada dalam ketinggian manakala orang Islam mampu mengamalkan ajaran/syariat Islam sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah dan para sahabatnya mampu mengamalkan agama Islam secara sempurna, sehingga dunia berada di bawah telapak kaki Rasulullah dan para sahabat. Dua kekuatan pada waktu itu Romawi dan Parsi yang mempunyai teknologi, ekonomi yang baik, persenjataan kuat, dan pasukan yang sangat banyak dibandingkan ummat Islam, tetapi dapat ditaklukkan oleh Rasulullah dan sahabat radhiyallahu anhum ajma’in. Bahkan pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu anhu sebagai Amirul Mu’minin, dua/tiga dunia dikuasai oleh Islam. Namun setelah masa Khalifah Rosyidin, persatuan diantara ummat Islam semakin berkurang dan banyak terjadi golongan-golongan. Islam mulai berpecah belah sehingga sekarang ini. Padahal memecahbelahkan umat Islam adalah merupakan perbuatan yang dikeji oleh Islam dan mengakibatkan umat Islam berpecah belah dan bercakaran sesama sendiri yang akhirnya akan meruntuhkan perpaduan, menghancurkan masyarakat, memusnahkan negara dan dunia Islam itu sendiri.
Perpaduan dan persatuan (ukhuwah) merupakan unsur terpenting dakwah Islam semasa periode Makkah dan juga menunjang kekuatan negara semasa periode Madinah. Lipatan sejarah berikutnya menyaksikan kejayaan umat Islam adalah berfaktorkan kepada solidaritas mapan di kalangan masyarakat Muslim dan juga umat Islam di seluruh dunia. Ironinya, pepecahan menjadi suatu sebab yang menghancurkan pemerintahan dan memundurkan umat Islam.
Perbuatan-perbuatan seperti mengadu domba, menghina orang lain, menghasut, memisahkan diri atau wilayah dari kepimpinan dengan memberontak kepada pemimpin Islam mahupun memisahkan wilayah dari pemimpin bukan Islam dengan cara yang ekstrim dan melanggar akhlak Islam merupakan perbuatan yang mengundang kepada kehancuran persatuan Islam. Ummat Islam tidak akan bangkit jika masih lagi enggan untuk bersatu, malu untuk berpadu, sombong untuk bersama ummat Islam yang lain, sehingga akhirnya merugikan diri sendiri, masyarakat, negara dan jamaah (ummat) Islam di seluruh dunia.
Sikap mau memenangkan pemikiran sendiri dan kumpulan sendiri akhirnya menjadikan dunia Islam sebagai tempat 'laga ayam' dan 'laga lembu' yang hanya merugikan masa dan mensia-siakan tenaga. Sudah tiba masanya visi persatuan sejagat menjadi agenda utama setiap umat Islam. Islam tidak akan bangkit melainkan setelah umat Islam bersatu padu sepertimana bersatunya umat Islam semasa zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bersatu bukannya menjadikan semua manusia berambut hitam, semua orang berkulit sawo matang, semuanya berbicara bahasa yang sama. Tetapi kesatuan yang lebih utama adalah kesatuan hati ummat Islam berasaskan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Walaupun berbeda manhaj dalam mengamalkan syariat Islam, karena perbedaan metode istimbath hukum Islam, kita harus menjaga etika berikhtilaf, yaitu saling menghormati, saling menjaga dan toleran terhadap metode lain yang digunakan diantara ummat Islam dan tetap menjaga hubungan silaturrahim. Karena walaupun berbeda di dalam cara pengamalan sunnah, tetapi sumbernya sama dari Kitabullah dan Al Hadits, maka semua telah dipersaudarakan oleh Allah. Semua sama-sama Bertuhankan Allah dan Nabinya sama yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua sama-sama mengharapkan ridho Allah, dan semua sama-sama mengharapkan masuk ke dalam syurga. Nanti kalau sudah masuk ke syurga, tidak akan ada lagi madzhab ini dan itu, tidak ada lagi iri dan dengki, tidak ada lagi pertengkaran, tetapi yang ada hanyalah hidup dengan kasih sayang karena rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Maka walaupun berbeda dalam madzhab atau cara atau metode, harus tetap dipelihara untuk meminimalkan perselisihan, mencari persamaan, dan menjauhi pertengkaran sesama Islam.
Tidak dipungkiri di dalam keyataan zaman sekarang ini, memang ada diantara suatu jamaah/golongan yang untuk mengamalkan syariat Islam mempunyai kecenderungan dan memaksakan diri untuk mengejar kekuasaan sebagai suatu wasilah untuk melaksanakan undang-undang Tuhan. Dalam mengejar kekuasaan tersebut, banyak kekeliruan yang menggelincirkan mereka dari landasan yang sebenarnya sehingga kekuasaan pula sebaliknya menjadi tujuannya. Kekeliruan tersebut timbul akibat dari kecenderungan untuk berfikir mengikuti pemikiran Imamnya yang membawa kepada pegangan dan praktis yang radikal dan ekstrim.
Diantara elemen-elemen penyimpangan tersebut ialah:
1.    Mengkafirkan ummat Islam yang berbeda dengan manhaj-nya, padahal manhaj yang sudah ada mempunyai dalil yang kuat dan berurutan dari guru ke guru sampai ke Imam madzhabnya dan bahkan sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2.    Hanya jamaah mereka saja yang berada pada jalan kebenaran.
3.    Umat Islam yang tidak bersama dengan mereka dianggap menentang Islam.
4.    Tidak mau kepada perpaduan dan persatuan sesama ummat Islam.
5.    Bersikap dzalim kepada yang bukan Islam.
6.    Kekuasaan hanya satu-satunya jalan untuk melaksanakan Islam.
7.   Pemimpin-pemimpin negara adalah dzalim karena tidak berhukum dengan Islam dan wajib dijatuhkan karena tidak melaksanakan syariat Islam.
8.     Hanya kumpulan mereka saja yang akan dapat melaksanakan Islam di negaranya.
9.     Suka kepada permusuhan antara jamaah, kabilah, dan kumpulan.
10.   Ulama ikutan mereka adalah ulama-ulama yang bersifat haraki saja, tidak mau kepada ulama yang tidak bermanhaj seperti mereka.
11.  Mengamalkan konsep Machiavelli yaitu tujuan menghalalkan cara demi mendapatkan kekuasaan.
12.   Merasa gundah gulana jika kekuasaan yang ada ditangan dirampas oleh orang lain.
13.   Tidak mau mendengar nasihat ulama yang muktabar.
14.   Akhlak dan adab diketepikan demi menegakkan cita-cita politik.
15.   Dan banyak lagi...
Perlu diperhatikan bahwa tidaklah salah untuk berdakwah, dan tidaklah salah untuk berjemaah. Bahkan berdakwah dan berjemaah adalah perkara yang baik dan dituntut oleh agama. Namun, ilmu jangan disisihkan dan akhlak jangan diabaikan.
Pembahasan masalah khilafiyyah ini tidak seharusnya diperbesar dan saling menyalahkan antara satu sama lain, lebih-lebih lagi menghukum bid’ah, khurafat dan kafir. Ini karena khilaf dalam masalah furu’ merupakan suatu perkara yang tidak dapat dielakkan dan merupakan suatu keharusan. Dan kenyataannya dari dahulu sudah berjalan seperti itu. Apa yang penting bagi ummat Islam ialah bergandeng tangan menegakkan Syariat Islam dalam diri, rumahtangga, masyarakat dan negara. Seterusnya memerangi kemaksiatan dan kemungkaran yang disepakati dan bekerja keras menegakkan yang ma’ruf yang diijma’ ulama’ di samping itu berlapang dada dalam menghadapi perkara-perkara khilafiyyah dalam semangat persaudaraan Islam dan kesatuan ummah. Bid’ah bukanlah suatu hukum di dalam menetapkan sesuatu perkara boleh atau tidak dilakukan. Karena hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’ ulama' hanya 5 yang dinamakan sebagai hukum taklifi yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan harus/mubah. Tidak ada dan tidak dikenal dengan apa yang dinamakan sebagai hukum bid’ah.
Para Ulama yang Membantah Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Sudah kita ketahui bersama bahwa ketika metode pengambilan hukum berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh ulama’-ulama’ mu’tabar yang telah berjalan ratusan tahun, maka akan tetap ada ulama’-ulama’ yang meluruskan dan mempertahankan metode yang sudah diyakini oleh ummat Islam secara turun temurun dari guru ke guru secara bersambungan (tidak terputus) dan berkesinambungan. Mengambil istilah ilmu hadits, bahwa kebenaran yang dibawa dari guru ke guru mempunyai sanad yang shahih sampai pada Rasulullah shallalhu ‘alaihi wasallam.
Berikut ini adalah nama-nama para ulama yang semasa dengan Ibnu Taimiyah rahimahullah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta menyerang pendapat-pendapatnya. Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali :
1.    Al Qadhi al Mufassir Badr ad-din Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (W 733 H).
2.     Al Qadhi Muhammad ibn al Hariri al Anshari al Hanafi.
3.     Al Qadhi Muhammad ibn Abu Bakar al Maliki
4.      Al Qadhi Ahmad ibn ‘Umar al Maqdisi al-Hanbali. Dengan fatwa empat Qadhi (hakim) dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 762 H. Peristiwa ini diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh karya Ibnu Syakir al-Kutubi, Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi karya Ibn al Mu’allim al Qurasyi.
5.      Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an-Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al-Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
6.      Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al-Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalam Tuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah .
7.      Qadhi al Qudhah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
8.      Qadhi al Qudhah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
9.      Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya .
10.    Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
11.    Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam beberapa karyanya:
- Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
- Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
- Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
- An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
- Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il al-Ayman wa ath-Thalaq
- at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
- Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
12.  Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
13.  Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-I (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
- Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
- Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
14.  Qadhi al Qudhah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (W 762 H).
15.  Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
16.  Al Qadhi Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyahdan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
17.  Al Qadhi Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
18.  Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al-Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau berdebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majlis dan berhasil membungkamnya.
19.  Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
20.  Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
- Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah ath-Thalaq.
- Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
21.   Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah.
22.   Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
23. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
24.  Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya :
- Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab.
- An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
25.  Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al-Bahr al Muhith.
26.  Syeikh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
27.  Al Faqih ar-Rahhalah Ibnu Baththuthah (W 779 H) dalam karyanya Rihlah Ibn Baththuthah.
28.  Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra.
29.  Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764 H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya: ‘Uyun at-Tawarikh.
30.  Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al-Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al-Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
31.  Al Qadhi Muhammad as-Sa’di al Mishri al-Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al-Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az-Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as-Sathi’ah karya Al ’Azami.
32.  Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thala.
33.  Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al-Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.
34.  Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam: Bayan Musykil al Ahadits al-Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
35.  Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya:
- Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah
- Lisan al Mizan
- Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari
- Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
36.  Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
37. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadhi Syuhbah asy-Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadhi Syuhbah.
38. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.
39.  Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
40.  Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syekh al Islam. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-Dlau Al Lami’.
41.  Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W 867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu Taimiyah fi al I’tiqad.
42.  Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W 899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
43.  Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al-I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
44.  Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal dengan Ibnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath ‘Ali ibn Nashir.
45. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W968H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.
46.  Al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
47.  Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin Wa Khulashah Manaqib ash- Shalihin.
48.  Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karya-karyanya;
- Al Fatawi al Haditsiyyah
- Al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr alMu’azhzham- Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj
49.   Syekh Jalal ad-Din ad-Dawwani (W 928 H) dalam Syarh al ‘Adludiyyah.
50.  Syekh ‘Abd an-Nafi’ ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Arraq ad-Dimasyqi (W 962 H) seperti dijelaskan dalam Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm. 32-33, buah karya Ibnu Thulun.
51.   Al Qadhi Abu Abdullah al Muqri dalam Nazm al-La-ali fi Suluk al Amali.
52.   Mulla ‘Ali al Qari al Hanafi (W 1014 H) dalam Syarh asy-Syifa li al Qadli ‘Iyadl.
53.   Syekh Abd ar-Ra-uf al Munawi asy -Syafi’I (W 1031 H) dalam Syarh asy-Syama-il li at-Tirmidzi.
54.   Al Muhaddits Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Illan ash-Shiddiqi al Makki (W 1057 H) dalam risalahnya al Mubrid al Mubki fi ar-Radd ‘ala ash-Sharim al Munki.
55.   Syekh Ahmad al Khafaji al Mishri al Hanafi(W 1069 H) dalam Syarh asy-Syifa li al Qadli ‘Iyadl.
56.   Al Muarrikh Ahmad Abu al ‘Abbas al Muqri (W 1041 H) dalam Azhar ar-Riyadl.
57.   Syekh Ahmad az-Zurqani al Maliki (W 1122H) dalam Syarh al Mawahib al-Ladunniyyah
58.   Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi (W 1143 H) dalam banyak karya-karyanya.
59.  Al Faqih ash-Shufi Muhammad Mahdi ibn ‘Ali ash Shayyadi yang terkenal dengan ar-Rawwas (W1287H)
60. As-Sayyid Muhammad Abu al Huda ash- Shayyadi (W 1328 H) dalam Qiladah al-Jawahir.
61. Al Mufti Musthafa ibn Ahmad asy-Syaththi al-Hanbali ad-Dimasyqi (W 1349 H) dalam karyanya an-Nuqul asy-Syar’iyyah.
62.  Mahmud Khaththab as-Subki (W 1352 H) dalam ad-Din al Khalish atau Irsyad al Khalq Ila ad-Din al-Haqq.
63.  Mufti Madinah asy-Syekh Al Muhaddits Muhammad al Khadlir asy-Syinqithi (W1353H) dalam karyanya Luzum ath-Thalaq ats-Tsalas Daf’uhu Bi Ma La Yastathi’ al ‘Alim Daf’ahu.
64.   Syekh Salamah al ‘Azami asy-Syafi’i (W 1376H) dalam al Barahin as-Sathi’ah fi Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Sya-i’ah dan beberapa makalah dalam surat kabar Mesir Al Muslim
65.  Mufti Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H) dalam karyanya Tathhir al-Fuad Min Danas aI I’tiqad
66.   Wakil Syekh al Islam pada Daulah Utsmaniyyah (Dinasti Bani Utsman) Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari (W 1371 H) dalam beberapa karyanya:
- Maqalat al Kawtsari
- At-Ta’aqqub al Hatsits lima Yanfihi Ibnu Taimiyah mi al Hadits
- Al Buhuts al Wafiyyah fi Mufradat Ibnu Taimiyah
- Al Isyfaq ‘Ala Ahkam ath- Thalaq
67.  Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al Mishri dalam karyanya Nushrah al Imam as-Subki Bi Radd ash-Sharim al Munki.
68. ‘Alim Makkah Muhammad al ‘Arabi at-Tabban (W 1390 H) dalam Bara-ah al-Asy’ariyyin Min ‘Aqa-id al Mukhalifin.
69. Syekh Muhammad Yusuf al Banuri al Bakistani dalam Ma’arif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
70.  Syekh Manshur Muhammad ‘Uwais dalam Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyyan.
71.   Al-Hafizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghummari al Maghribi (W 1380 H) dalam beberapa karyanya, di antaranya:
- Hidayah ash-Shaghra
- Al Qaul al Jaliyy
72.  Asy-Syeikh al Muhaddits Abdullah al Ghammarial Maghribi (W 1413 H) dalam banyak karyanya, di antaranya:
- Itqan ash-Shan-‘ah Fi Tahqiq Ma’na al Bid’ah
- Ash-Shubh as-Safir fi Tahqiq Shalah al Musafir
- Ar-Rasa-il al Ghammariyyah
73.   Al Musnid Abu al Asybal Salim ibn Jindan (W1969 H) dari Jakarta Indonesia dalam karyanya Al Khulashah al Kafiyah fi al Asanid al-‘Aliyah.
74.  Hamdullah al Barajuri, ‘Alim Saharnapur dalam al Bashair Li Munkiri at-Tawassul Bi Ahlal Qubur
75. Syekh Musthafa Abu Sayf al Hamami. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dalam karyanya: Ghawts al ‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad. Buku ini mendapat persetujuan dan rekomendasi dari beberapa ulama besar, di antaranya; Syekh Muhammad Sa’id al ‘Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al Buhairi, Syekh Muhammad Abd al Fattah ‘Inati, Syekh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al ‘Arabi dan Syekh Muhammad Hifni Bilal.
76.   Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri
77.   As-Sayyid Syekh al Faqih Alawi ibn Thahir al-Haddad al Hadlrami.
78.   Mukhtar ibn Ahmad al Muayyad al ‘Adzami (W 1340 H) dalam Jala’ al Awham ‘An Madzahib al A-immah al ‘Izham Wa at-Tawassul Bi Jahi Khair al Anam ‘Alaihi ash-Shalatu Wa as-Salam yang beliau tulis sebagai bantahan terhadap buku Ibnu Taimiyah; Raf’ al Malam.
79.   Syekh Ismail al Azhari dalam Mir-at an-Najdiyyah.
80.   KH. Muhammad Ihsan dari Jampes Kediri Jawa timur dalam Kitabnya Siraj ath-Thalibin
81.  KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (W 1366 H/1947 R), Rais Akbar Nahdlatul Ulama dari Jombang Jawa Timur, dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
82.  KH. Ali Maksum (W 1989 R), Rais ‘am Nahdhatul Ulama IV dari Yogyakarta Jawa Tengah dalam bukunya Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
83.  KH Abu al Fadll bin Abd asy-Syakur, dari Senori Tuban Jawa Timur dalam kitab-kitabnya, di antaranya:
- Al Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq alMusamma Bi Ahlussunnah Wal Jama’ah
- Syarh al Kawakib al-Lamma’ah
84.  KH. Ahmad Abdul Hamid dari Kendal Jawa Tengah dalam Bukunya ’Aqa-id Ahlussunnah Wal Jama’ah
85.   KH Siradjuddin ‘Abbas (W 1401 H/1980 R) dalam banyak karyanya:
-I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah
- 40 Masalah Agama, jilid IV
86.   Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ash-Shaulati (W 1997 R) Ampenan Pancor Lombok NTB dalam bukunya Hizb Nahdhatul Wathan Wa Hizb Nahdhatul Banat.
87. K.H. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari (W 2003 R) dari Bekasi Jawa Barat dalam salah satu surat yang beliau tulis.
88.  Al Habib Syekh al Musawa ibn Ahmad al-Musawa as-Saqqaf; Penasehat Umum Perguruan Tinggi dan Perguruan Islam Az Ziyadah Klender Jakarta Timur.
89. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami Mantan Ketua Umum MUI Propinsi DKI Jakarta 1990-2000 dalam bukunya Taudlih al Adillah.
90. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfudz Sukabumi Jawa Barat dalam Bukunya Hishnu as-Sunnah Wal Jama’ah fi Ma’rifat Firaq Ahl al-Bid’ah.
91. Syekh Abdullah Tha’ah. Beliau membantah Ibnu Taimiyah dalam bukunya al Fatawa al ‘Aliyyah yang beliau tulis pada tahun 1932. Buku ini memuat fatwa para ulama, para Imam, pengajar dan para mufti serta para Qadhi di Makkah, yang sebahagiannya berasal dari Indonesia, Thailand dan lain-lain. Mereka menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat dan menyesatkan. Berikut nama para ulama yang turut menghadiri majlis pernyataan fatwa tersebut serta menandatanganinya : Sayyid Abdullah –Mufti Madzhab Syafi’i di Makkah-,
Syekh Abdullah Siraj –pimpinan para Qadhi dan Kepala para ulama Hijaz-, Syekh Abdullah ibn Ahmad –Qadli Makkah-, Syekh Darwisy –Amin Fatwa Makkah-, Muhammad ‘Abid ibn Husain –Mufti Madzhab Maliki di Makkah-, Syekh Umar ibn Abu Bakr Bajuneid –Wakil Mufti Madzhab Hanbali di Makkah-, Syekh Abdullah ibn Abbas –Wakil Qadli Makkah-, Syekh Muhammad Ali ibn Husein al Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Ahmad al Qari –Qadhi Jeddah-, Syekh Muhammad Husein –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Mahmud Zuhdi ibn Abdur Rahman –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Muhammad Habibullah ibn Maayaabi – Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdul Qadir ibn Shabir al Mandayli (Mandailing-Sumut) –Seorang pengajar di Makkah-,Syekh Mukhtar ibn ‘Atharid al Jawi (asal Jawa) –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Sa’id ibn Muhammad al Yamani –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Syekh Muhammad Jamal ibn Muhammad al Amir al-Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Sayyid ‘Abbas ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Abdullah Zaydan asy-Syinqithi –Seorang pengajar di Makkah-, Syekh Mahmud Fathani (asal Thailand) –Seorang pengajar di Makkah, Syekh Hasanuddin ibn Syekh Muhammad Ma’shum asal Medan Deli-Sumut.
92. Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Seorang Imam Madzhab Syafi’i di Makkah asal Minangkabau Sumatera dalam bukunya al-Khiththah al Mardliyyah.
93. Syekh Muhammad Ali Khathib Minangkabau, Murid Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi, dalam kitabnya Burhan al-Haqq. Beliau juga telah mengumpulkan para ulama di Sumatera untuk membantah Rasyid Ridla penulis al Manar dan para pengikutnya di Indonesia.
94. Syekh Abdul Halim ibn Ahmad Khathib al-Purbawi al Mandayli, Murid Syekh Mushthafa Husein, pendiri Pon-Pes. Al-Mushthafawiyyah, Purba Baru, Sumut dalam risalahnya Kasyf al Ghummah yang beliau tulis tahun 1389 H -12/8/1969.
95. Syekh Abdul Majid Ali (W. 2003) Kepala Kantor Urusan Agama daerah Kubu-Riau, Sumatera, salah seorang ulama kharismatik dan terkenal di daerah tersebut. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan menyatakan bahwa gurunya Syekh Abdul Wahhab Panay-Medan mengkafirkan Ibnu Taimiyah.
96. K.H. Abdul Qadir Lubis, pimpinan Pon.Pes. Dar at-Tauhid, Mandailing-Sumut(W. 2003). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah di sebagian majlisnya.
97. K.H. Muhammad Sya’rani Ahmadi Kudus Jawa Tengah dalam bukunya al Fara-id as-Saniyyah wa ad-Durar al Bahiyyah yang beliau tulis pada tahun 1401 H. Dalam buku ini beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang Musyabbih Mujassim (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim -benda-).
98. K.H. Muhammad Mashduqi Mahfuzh, Ketua Umum MUI Jawa Timur dalam bukunya al-Qawa’id al Asasiyyah li Ahlissunnah WalJama’ah.

Para Ulama’ yang Membantah Muahmmad Ibn abd Al Wahhab rahimahullah.
Para Ulama Telah Membantah Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab; Perintis Gerakan Wahhabi. Banyak sekali kitab-kitab karya para ulama Ahlussunnah yang mereka tulis sebagai bantahan terhadap Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran-ajarannya, baik karya-karya yang secara khusus ditulis untuk itu, atau karya-karya dalam beberapa disiplin ilmu yang di dalamnya dimuat bantahan-bantahan terhadapnya, baik yang masih dalam bentuk manuskrip maupun yang sudah turun cetak. Di antaranya adalah karya-karya berikut ini dengan penulisnya masing-masing:
1.    Ithâf al-Kirâm Fî Jawâz at-Tawassul Wa al-Istighâtsah Bi al-Anbiyâ’ al-Kirâm karya asy-Syaikh Muhammad asy-Syadi. Tulisan manuskripnya berada di al-Khizanah al-Kittaniyyah di Rabath pada nomor 1143.
2.    Ithâf Ahl az-Zamân Bi Akhbâr Mulûk Tûnus Wa ‘Ahd al-Amân karya asy-Syaikh Ahmad ibn Abi adl-Dliyaf, telah diterbitkan.
3. Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
4.  Ajwibah Fî Zayârah al-Qubûr karya asy-Syaikh al-Idrus. Tulisan manuskripnya berada di al-hizanah al-‘Ammah di Rabath pada nomor 4/2577.
5.   al-Ajwibah an-Najdiyyah ‘An al-As-ilah an-Najdiyyah karya Abu al-Aun Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Salim an-Nabulsi al-Hanbali yang dikenal dengan sebutan Ibn as-Sifarayini (w 1188 H).
6.   al-Ajwibah an-Nu’mâniyyah ‘An al-As-ilah al-Hindiyyah Fî al-‘Aqâ-id karya Nu’man ibn Mahmud Khairuddin yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Alusi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1317 H).
7. Ihyâ’ al-Maqbûr Min Adillah Istihbâb Binâ’ al-Masâjid Wa al-Qubab ‘Alâ al-Qubûr karya al-Imâm al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1380 H).
8. Al-Ishâbah Fî Nushrah al-Khulafâ’ ar-Rasyidîn karya asy-Syaikh Hamdi Juwaijati ad-Damasyqi.
9. al-Ushûl al-Arba’ah Fî Tardîd al-Wahhâbiyyah karya Muhammad Hasan Shahib as-Sarhandi al-Mujaddidi (w 1346 H), telah diterbitkan.
10. Izh-hâr al-‘Uqûq Min Man Mana’a at-Tawassul Bi an-Nabiyy Wa al-Walyy ash-Shadûq karya asy-Syaikh al-Musyrifi al-Maliki al-Jaza-iri.
11. al-Aqwâl as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Mudda’i Nushrah as-Sunnah al-Muhammadiyyah disusun oleh Ibrahim Syahatah ash-Shiddiqi dari pelajaran-pelajaran al-Muhaddits as-Sayyid Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari, telah diterbitkan.
12. al-Aqwâl al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya ahli fiqih terkemuka asy-Syaikh Atha al-Kasam ad-Damasyqi al-Hanafi, telah diterbitkan.
13. al-Intishâr Li al-Awliyâ’ al-Abrâr karya al-Muhaddits asy-Syaikh Thahir Sunbul al-Hanafi.
14. al-Awrâq al-Baghdâdiyyah Fî al-Jawâbât an-Najdiyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ar-Rawi al-Baghdadi ar-Rifa’i. Pemimpin tarekat ar-Rifa’iyyah di Baghdad, telah diterbitkan.
15. al-Barâ-ah Min al-Ikhtilâf Fî ar-Radd ‘Alâ Ahl asy-Syiqâq Wa an-Nifâq Wa ar-Radd ‘Alâ al-Firqah al-Wahhâbiyyah adl-Dlâllah karya asy-Syaikh Ali Zain al-Abidin as-Sudani, telah diterbitkan.
16. al-Barâhîn as-Sâthi’ah Fî ar-Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ’i-ah karya asy-Syaikh Salamah al-Uzami (w 1379 H), telah diterbitkan.
17. al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Maqâbir karya asy-Syaikh Hamdullah ad-Dajwi al-Hanafi al-Hindi, telah diterbitkan.
18. Târîkh al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ayyub Shabri Basya ar-Rumi, penulis kitab Mir-âh al-Haramain.
19. Tabarruk ash-Shahâbah Bi Âtsâr Rasulillâh karya asy-Syaikh Muhammad Thahir ibn Abdillah al-Kurdi. Telah diterbitkan.
20. Tabyîn al-Haqq Wa ash-Shawâb Bi ar-Radd ‘Alâ Atbâ’ Ibn Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Taufiq Sauqiyah ad-Damasyqi (w 1380 H), telah diterbitkan di Damaskus.
21. Tajrîd Sayf al-Jihâd Li Mudda’î al-Ijtihâd karya asy-Syaikh Abdullah ibn Abd al-Lathif asy-Syafi’i. Beliau adalah guru dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab sendiri, dan beliau telah membantah seluruh ajaran Wahhabiyyah di saat hidupnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab.
22. Tahdzîr al-Khalaf Min Makhâzî Ad’iyâ’ as-Salaf karya al-Imâm al-Muhaddits asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari.
23. at-Tahrîrât ar-Râ-iqah karya asy-Syaikh Muhammad an-Nafilati al-Hanafi, mufti Quds Palestina, telah diterbitkan.
24. Tahrîdl al-Aghbiyâ ‘Alâ al-Istighâtsah Bi al-Anbiyâ Wa al-Awliyâ karya asy-Syaikh Abdullah al-Mayirghini al-Hanafi, tinggal di wilayah Tha’if.
25. at-Tuhfah al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Dawud ibn Sulaiman al-Baghdadi an-Naqsyabandi al-Hanafi (w 1299 H).
26. Tath-hîr al-Fu-âd Min Danas al-I’tiqâd karya asy-Syaikh Muhammad Bakhith al-Muthi’i al-Hanafi, salah seorang ulama al-Azhar Mesir terkemuka, telah diterbitkan.
27. Taqyîd Hawla at-Ta’alluq Wa at-Tawassul Bi al-Anbiyâ Wa ash-Shâlihîn karya asy-Syaikh Ibn Kairan, Qadli al-Jama’ah di wilayah Maghrib Maroko. Karya manuskrip berada di Khizanah al-Jalawi/Rabath pada nomor 153.
28. Taqyîd Hawla Ziyârah al-Auliyâ Wa at-Tawassul Bihim karya Ibn Kairan, Qadli al-Jama’ah di wilayah Maghrib Maroko. Karya manuskrip berada di Khizanah al-Jalawi/Rabath pada nomor 153.
29. Tahakkum al-Muqallidîn Biman Idda’â Tajddîd ad-Dîn karya asy-Syaikh Muhammad ibn Abd ar-Rahman al-Hanbali. Dalam kitab ini beliau telah membantah seluruh kesasatan Muhammad ibn Abd al-Wahhab secara rinci dan sangat kuat.
30. at-Tawassul karya asy-Syaikh Muhammad Abd al-Qayyum al-Qadiri al-Hazarawi, telah diterbitkan.
31. at-Tawassul Bi al-Anbiyâ’ Wa ash-Shâlihîn karya asy-Syaikh Abu Hamid ibn Marzuq ad-Damasyqi asy-Syami, telah diterbitkan.
32. at-Taudlîh ‘An Tauhîd al-Khilâq Fî Jawâb Ahl al-‘Irâq ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Abdullah Afandi ar-Rawi. Karya Manuskrip di Universitas Cambridge London dengan judul “ar-Radd al-Wahhabiyyah”. Manuskrip serupa juga berada di perpustakaan al-Awqaf Bagdad Irak.
33. Jalâl al-Haqq Fî Kasyf Ahwâl Asyrâr al-Khalq karya asy-Syaikh Ibrahim Hilmi al-Qadiri al-Iskandari, telah diterbitkan.
34. al-Jawâbât Fî az-Ziyârât karya asy-Syaikh Ibn Abd ar-Razzaq al-Hanbali.
asy-Sayyid Alawi ibn al-Haddad berkata: “Saya telah melihat berbagai jawaban (bantahan atas kaum Wahhabiyyah) dari tulisan para ulama terkemuka dari empat madzhab, mereka yang berasal dari dua tanah haram (Mekah dan Madinah), dari al-Ahsa’, dari Basrah, dari Bagdad, dari Halab, dari Yaman, dan dari berbagai negara Islam lainnya. Baik tulisan dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk bait-bait syai’r”.
35. Hâsyiyah ash-Shâwî ‘Alâ Tafsîr al-Jalâlain karya asy-Syaikh Ahmad ash-Shawi al-Maliki.
36. al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandari (w 1362 H).
37. al-Haqâ-iq al-Islâmiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mazâ’im al-Wahhâbiyyah Bi Adillah al-Kitâb Wa as-Sunnah an-Nabawiyyah karya asy-Syaikh Malik ibn asy-Syaikh Mahmud, direktur perguruan al-‘Irfan di wilayah Kutabali Negara Republik Mali Afrika, telah diterbitkan.
38. al-Haqq al-Mubîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyîn karya asy-Syaikh Ahmad Sa’id al-Faruqi as-Sarhandi an-Naqsyabandi (w 1277 H).
39. al-Haqîqah al-Islâmiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Ghani ibn Shaleh Hamadah, telah diterbitkan.
40. ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’i di Mekah (w 1304 H).
41. ad-Dalîl al-Kâfi Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbi karya asy-Syaikh Misbah ibn Ahmad Syibqilu al-Bairuti, telah diterbitkan.
42. ar-Râ-’iyyah ash-Shughrâ Fî Dzamm al-Bid’ah Wa Madh as-Sunnah al-Gharrâ’, bait-bait sya’ir karya asy-Syaikh Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani al-Bairuti, telah diterbitkan.
43. ar-Rihlah al-Hijâziyyah karya asy-Syaikh Abdullah ibn Audah yang dikenal dengan sebutan Shufan al-Qudumi al-Hanbali (w 1331 H), telah diterbitkan.
44. Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr karya asy-Syaikh Muhammad Amin yang dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi ad-Damasyqi, telah diterbitkan.
45. ar-Radd ‘Alâ Ibn ‘Abd al-Wahhâb karya Syaikh al-Islâm di wilayah Tunisia, asy-Syaikh Isma’il at-Tamimi al-Maliki (w 1248 H). Berisi bantahan sangat kuat dan detail atas faham Wahhabiyyah, telah diterbitkan di Tunisia.
46. Radd ‘Alâ Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Ahmad al-Mishri al-Ahsa-i.
47. Radd ‘Alâ Ibn Abd al-Wahhâb karya al-‘Allâmah asy-Syaikh Barakat asy-Syafi’i al-Ahmadi al-Makki.
48. ar-Rudûd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya al-Muhaddits asy-Syaikh Shaleh al-Fulani al-Maghribi. as-Sayyid Alawi ibn al-Haddad dalam mengomentari ar-Rudûd ‘Ala Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya al-Muhaddits asy-Syaikh Shaleh al-Fulani al-Maghribi ini berkata: “Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat beberapa risalah dan berbagai jawaban (bantahan atas kaum Wahhabiyyah) dari semua ulama empat madzhab; ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, Ulama madzhab Syafi’i, dan ulama madzhab Hanbali. Mereka semua dengan sangat bagus telah membantah Muhammad ibn Abd al-Wahhab”.
49. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Shaleh al-Kawasy at-Tunisi. Karya ini dalam bentuk sajak sebagai bantahan atas risalah Muhammad ibn Abd al-Wahhab, telah diterbitkan.
50. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Muhammad Shaleh az-Zamzami asy-Syafi’i, Imam Maqam Ibrahim di Mekah.
51. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ibn Abd al-Qadir ath-Tharabulsi ar-Riyahi at-Tunusi al-Maliki, berasal dari kota Tastur (w 1266 H).
52. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Muhsin al-Asyikri al-Hanbali, mufti kota az-Zubair Basrah Irak.
53. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh al-Makhdum al-Mahdi, mufti wilayah Fas Maroko.
54. ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i. Beliau adalah salah seorang guru dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab sendiri. asy-Syaikh Abu Hamid ibn Marzuq (asy-Syaikh Muhammad ’Arabi at-Tabban) dalam kitab Barâ-ah al-Asyariyyîn Min Aqâ-id al-Mukhâlifîn menuliskan: “Guru Muhammad ibn Abd al-Wahhab (yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi) telah memiliki firasat bahwa muridnya tersebut akan menjadi orang sesat dan menyesatkan. Firasat seperti ini juga dimiliki guru Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang lain, yaitu asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, dan juga dimiliki oleh ayah sendiri, yaitu asy-Syaikh Abd al-Wahhab”.
55. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya Abu Hafsh Umar al-Mahjub. Karya manuskripnya berada di Dar al-Kutub al-Wathaniyyah Tunisia pada nomor 2513. Copy manuskrip ini berada di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah Cairo Mesir dan di perpustakaan al-Kittaniyyah Rabath pada nomor 1325.
56. ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ibn Kairan, Qadli al-Jama’ah di wilayah Maghrib Maroko. Karya manuskrip di perpustakaan al-Kittaniyyah Rabath pada nomor 1325.
57. ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Abdullah al-Qudumi al-Hanbali an-Nabulsi, salah seorang ulama terkemuka pada madzhab Hanbali di wilayah Hijaz dan Syam (w 1331 H). Karya ini berisi pembahasan masalah ziarah dan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang saleh. Dalam karyanya ini penulis menamakan Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya sebagai kaum Khawarij. Penyebutan yang sama juga telah beliau ungkapkan dalam karyanya yang lain berjudul ar-Rihlah al-Hijâziyyah Wa ar-Riyâdl al-Unsiyyah Fî al-Hawâdits Wa al-Masâ-il.
58. Risâlah as-Sunniyyîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mubtadi’în al-Wahhâbiyyîn Wa al-Mustauhibîn karya asy-Syaikh Musthafa al-Karimi ibn Syaikh Ibrahim as-Siyami, telah diterbitkan tahun 1345 H oleh penerbit al-Ma’ahid.
59. Risâlah Fî Ta-yîd Madzhab ash-Shûfiyyah Wa ar-Radd ‘Alâ al-Mu’taridlîn ‘Alayhim karya asy-Syaikh Salamah al-Uzami (w 1379 H), telah diterbitkan.
60. Risâlah Fî Tasharruf al-Auliyâ’ karya asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwa, telah diterbitkan.
61. Risâlah Fî Jawâz at-Tawassul Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya mufti wilayah Fas Maghrib al-‘Allâmah asy-Syaikh Mahdi al-Wazinani.
62. Risâlah Fî Jawâz al-Istigâtsah Wa at-Tawassul karya asy-Syaikh as-Sayyid Yusuf al-Bithah al-Ahdal az-Zabidi, yang menetap di kota Mekah. Dalam karyanya ini beliau mengutip pernyataan seluruh ulama dari empat madzhab dalam bantahan mereka atas kaum Wahhabiyyah, kemudian beliau mengatakan: “Sama sekali tidak dianggap faham yang menyempal dari keyakinan mayoritas umat Islam dan berseberangan dengan mereka, dan siapa melakukan hal itu maka ia adalah seorang ahli bid’ah”.
63. Risâlah Fî Hukm at-Tawassul Bi al-Anbiyâ’ Wa al-Awliyâ’ karya asy-Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf al-Adawi al-Mishri wakil Universitas al-Azhar Cairo Mesir, telah diterbitkan.
64. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Qasim Abu al-Fadl al-Mahjub al-Maliki.
65. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Musthafa ibn asy-Syaikh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali.
66. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ahamd Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
67. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi, mufti madzhab Hanbali di wilayah Damaskus Siria, telah diterbitkan di Bairut tahun 1330 H.
68. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Ali ibn Muhammad karya manuskrip berada di al-Khizanah at-Taimuriyyah.
69. Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Utsman al-Umari al-Uqaili asy-Syafi’i, karya manuskrip berada di al-Khizanah at-Tamuriyyah.
70. ar-Risâlah ar-Raddiyyah ‘Alâ ath-Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Muhammad Atha’ullah yang dikenal dengan sebutan Atha’ ar-Rumi.
71. ar-Risâlah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah karya asy-Syaikh Muhammad as-Sa’di al-Maliki.
72. Raudl al-Majâl Fî ar-Radd ‘Alâ Ahl adl-Dlalâl karya asy-Syaikh Abd ar-Rahman al-Hindi ad-Dalhi al-Hanafi, telah diterbitkan di Jeddah tahun 1327 H.
73. Sabîl an-Najâh Min Bid’ah Ahl az-Zâigh Wa adl-Dlalâlah karya asy-Syaikh al-Qâdlî Abd ar-Rahman Quti.
74. Sa’âdah ad-Dârain Fî ar-Radd ‘Alâ al-Firqatain, al-Wahhâbiyyah Wa Muqallidah azh-Zhâhiriyyah karya asy-Syaikh Ibrahim ibn Utsman ibn Muhammad as-Samnudi al-Manshuri al-Mishri, telah diterbitkan di Mesir tahun 1320 H dalam dua jilid.
75. Sanâ’ al-Islâm Fî A’lâm al-Anâm Bi ‘Aqâ-id Ahl al-Bayt al-Kirâm Raddan ‘Alâ Abd al-Azîz an-Najdi Fî Mâ Irtakabahu Min al-Auhâm karya asy-Syaikh Isma’il ibn Ahmad az-Zaidi, karya manskrip.
76. as-Sayf al-Bâtir Li ‘Unuq al-Munkir ‘Alâ al-Akâbir, karya al-Imâm as-Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Haddad (w 1222 H).
77. as-Suyûf ash-Shiqâl Fî A’nâq Man Ankar ‘Alâ al-Awliyâ’ Ba’da al-Intiqâl karya salah seorang ulama terkemuka di Bait al-Maqdis.
78. as-Suyûf al-Musyriqiyyah Li Qath’ A’nâq al-Qâ-ilîn Bi al-Jihah Wa al-Jismiyyah karya asy-Syaikh Ali ibn Muhammad al-Maili al-Jamali at-Tunisi al-Maghribi al-Maliki.
79. Syarh ar-Risâlah ar-Raddiyyah ‘Alâ Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya Syaikh al-Islâm Muhammmad Atha’ullah ibn Muhammad ibn Ishaq ar-Rumi, (w 1226 H).
80. ash-Shârim al-Hindi Fî ‘Unuq an-Najdi karya asy-Syaikh Atha’ al-Makki.
81. Shidq al-Khabar Fî Khawârij al-Qarn ats-Tsânî ‘Asyar Fî Itsbât Ann al-Wahhâbiyyah Min al-Khawârij karya asy-Syaikh as-Sayyid Abdullah ibn Hasan Basya ibn Fadlal Basya al-Alawi al-Husaini al-Hijazi, telah diterbitkan.
82. Shulh al-Ikhwân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Qâl ‘Alâ al-Muslimîn Bi asy-Syirk Wa al-Kufrân, Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah Li Takfîrihim al-Muslimîn karya asy-Syaikh Dawud ibn Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi al-Hanafi (w 1299 H).
83. ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Sulaiman ibn Abd al-Wahhab. Beliau adalah saudara kandung dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab, telah diterbitkan.
84. ash-Shawâ-iq Wa ar-Rudûd karya asy-Syaikh Afifuddin Abdullah ibn Dawud al-Hanbali. as-Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Haddad menuliskan: “Karya ini (ash-Shawâ-iq Wa ar-Rudûd) telah diberi rekomendasi oleh para ulama terkemuka dari Basrah, Bagdad, Halab, Ahsa’, dan lainnya sebagai pembenaran bagi segala isinya dan pujian terhadapnya”.
85. Dliyâ’ ash-Shudûr Li Munkir at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr karya asy-Syaikh Zhahir Syah Mayan ibn Abd al-Azhim Mayan, telah diterbitkan.
86. al-‘Aqâ-id at-Tis’u karya asy-Syaikh Ahmad ibn Abd al-Ahad al-Faruqi al-Hanafi an-Naqsyabandi, telah diterbitkan.
87. al-‘Aqâ-id ash-Shahîhah Fî Tardîd al-Wahhâbiyyah an-Najdiyyah karya asy-Syaikh Hafizh Muhammad Hasan as-Sarhandi al-Mujaddidi, telah diterbitkan.
88. ‘Iqd Nafîs Fî Radd Syubuhât al-Wahhâbi at-Tâ’is karya sejarawan dan ahli fiqih terkemuka, asy-Syaikh Isma’il Abu al-Fida’ at-Tamimi at-Tunusi.
89. Ghawts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd karya asy-Syaikh Abu Saif Musthafa al-Hamami al-Mishri, telah diterbitkan.
90. Fitnah al-Wahhâbiyyah karya as-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, (w 1304 H), mufti Madzhab Syafi’i di dua tanah haram; Mekah dan Madinah, dan salah seorang ulama terkemuka yang mengajar di Masjid al-Haram. Fitnah al-Wahhâbiyyah ini adalah bagian dari karya beliau dengan judul al-Futûhât al-Islâmiyyah, telah diterbitkan di Mesir tahun 1353 H.
91. Furqân al-Qur’ân Fî Tamyîz al-Khâliq Min al-Akwân karya asy-Syaikh Salamah al-Azami al-Qudla’i asy-Syafi’i al-Mishri. Kitab berisi bantahan atas pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah benda yang memiki bentuk dan ukuran. Termasuk di dalamnya bantahan atas Ibn Taimiyah dan faham Wahhabiyyah yang berkeyakinan demikian. Telah diterbitkan.
92. Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Sulaiman ibn Abd al-Wahhab, saudara kandung dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab sendiri. Ini adalah kitab yang pertama kali ditulis sebagai bantahan atas segala kesesatan Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran-ajaran Wahhabiyyah.
93. Fashl al-Khithâb Fi Radd Dlalâlât Ibn ’Abd al-Wahhâb karya asy-Syaikh Ahmad ibn Ali al-Bashri yang dikenal dengan sebutan al-Qubbani asy-Syafi’i.
94. al-Fuyûdlât al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ ath-Thâ-ifah al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd as-Salam al-Banani al-Maghribi.
95. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ ash-Shan’âni Fî Madh Ibn ’Abd al-Wahhâb, bait-bait sya’ir karya asy-Syaikh Ibn Ghalbun al-Laibi, sebanyak 40 bait.
96. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ ash-Shan’âni al-Ladzî Madaha Ibn ’Abd al-Wahhâb, bait-bait sya’ir karya as-Sayyid Musthafa al-Mishri al-Bulaqi, sebanyak 126 bait.
97. Qashîdah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, bait-bait sya’ir karya asy-Syaikh Abd al-Aziz Qurasyi al-‘Ilji al-Maliki al-Ahsa’i. Sebanyak 95 bait.
98. Qam’u Ahl az-Zâigh Wa al-Ilhâd ‘An ath-Tha’ni Fî Taqlîd A’immah all-Ijtihâd karya mufti kota Madinah al-Muhaddits asy-Syaikh Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).
99. Kasyf al-Hijâb ‘An Dlalâlah Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb karya manuskrip berada di al-Khizanah at-Taimuriyyah.
100. Muhiqq at-Taqawwul Fî Mas-alah at-Tawassul karya al-Imâm al-Muhaddits Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari.
101. al-Madârij as-Saniyyah Fî Radd al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Amir al-Qadiri, salah seorang staf pengajar pada perguruan Dar al-‘Ulum al-Qadiriyyah, Karatci Pakistan, telah diterbitkan.
102. Mishbâh al-Anâm Wa Jalâ’ azh-Zhalâm Fî Radd Syubah al-Bid’i an-Najdi al-Latî Adlalla Bihâ al-‘Awâmm karya as-Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Haddad, (w 1222 H), telah diterbitkan tahun 1325 H di penerbit al-‘Amirah.
103. al-Maqâlât karya asy-Syaikh Yusuf Ahmad ad-Dajwi, salah seorang ulama terkemuka al-Azhar Cairo Mesir (w 1365 H).
104. al-Maqâlât al-Wafiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Hasan Quzbik, telah diterbitkan dengan rekomendasi dari asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi
105. al-Minah al-Ilâhiyyah Fî Thams adl-Dlalâlah al-Wahhâbiyyah karya al-Qâdlî Isma’il at-Tamimi at-Tunusi (w 1248 H). Karya manuskrip berada di Dar al-Kutub al-Wathaniyyah Tunisia pada nnomor 2780. Copy manuskrip ini berada di Ma’had al-Makhthuthat al-‘Arabiyyah Cairo Mesir. Sekarang telah diterbitkan.
106. Minhah Dzî al-Jalâl Fî ar-Radd ‘Alâ Man Thaghâ Wa Ahalla adl-Dlalâl karya asy-Syaikh Hasan Abd ar-Rahman. Berisi bantahan atas ajaran Wahhabiyyah tentang masalah ziarah dan tawassul. Telah diterbitkan tahun 1321 H oleh penerbit al-Hamidiyyah.
107. al-Minhah al-Wahbiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhabiyyah karya asy-Syaikh Dawud ibn Sulaiman an-Naqsyabandi al-Baghdadi (w 1299 H), telah diterbitkan di Bombay tahun 1305 H.
108. al-Manhal as-Sayyâl Fî al-Harâm Wa al-Halâl karya as-Sayyid Musthafa al-Mishri al-Bulaqi.
109. an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh asy-Syaikh ath-Thayyib karya asy-Syaikh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi (w 1272 H).
110. Nashîhah Jalîlah Li al-Wahhâbiyyah karya as-Sayyid Muhammad Thahir Al-Mulla al-Kayyali ar-Rifa’i, pemimpin keturunan Rasulullah (al-Asyraf/al-Haba-ib) di wilayah Idlib. Karya berisi nasehat ini telah dikirimkan kepada kaum Wahhabiyyah, telah diterbitkan di Idlib Lebanon.
111. an-Nafhah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandari (w 1362 H).
112. an-Nuqûl asy-Syar’iyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah karya asy-Syaikh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi, telah diterbitkan tahun 1406 di Istanbul Turki.
113. Nûr al-Yaqîn Fî Mabhats at-Talqîn; Risâlah as-Sunniyyîn Fî ar-Radd ‘Alâ al-Mubtadi’în al-Wahhâbiyyîn Wa al-Mustauhibîn.
114. Yahûdan Lâ Hanâbilatan karya asy-Syaikh al-Ahmadi azh-Zhawahir, salah seorang Syaikh al-Azhar Cairo Mesir.
Para Ulama yang Membantah Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
Syeikh Nashiruddin Al-Albani merupakan seorang ulama Hadits yang proaktif di zaman ini. Namun, pendapat-pendapat dan cara pemikiran beliau agak radikal terhadap tradisi ulama muhadditsin sehingga banyak mengkritik ulama-ulama hadits terdahulu tanpa adab dan hormat di samping mengeluarkan pandangan-pandangan yang ganjil dan ekstreem. Dengan latar belakang pendidikan hadits yang tidak begitu jelas, yang lebih kurang sama seperti metodologi Ibn Taimiyyah, yakni kurang berguru, ketokohan dan kredibilitas beliau amat diragui, bahkan jauh lagi dari Shaikh Ibn Taymiyyah rahimahullah yang paling tidak pun adalah hafidz al-Hadits.
Terdapat banyak di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyusun kitab, untuk membantah pemikiran Syeikh Albani, yang dimuat di dalam karya-karya mereka seperti:
1.       Habib al-Rahman al-‘Azami di dalam Shudhudhuhu wa akhta’uhu.
2.       Shaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti di dalam al-Lamadhhabiyyah akhtaru bid’ah al-shari’ah al-Islamiyyah dan juga al-Salafiyyah marhalatun zamaniyyatun mubarakah la madzhabun Islami.
3.       Al-Muhaddits Shaikh ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari di dalam Bayan nakth al-nakhit al-mu’tadi.
4.       Al-Marhum Shaikh ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah di dalam Radd ‘ala abatil wa iftira’at al-Albani wa sahibihi sabiqan Zuhayr al-Shawish wa mu’azirihima.
5.       Al-Muhaddits Shaikh Muhammad ‘Awwama di dalam Adab al-ikhtilaf.
6.       Al-Shaikh al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh di dalamWushul al-Tahani bi Ithbat sunniyat al-subha wa al-radd ‘ala al-Albani dan juga Tanbih al-Muslim ila ta’addi al-Albani ‘ala Shahih Muslim.
7.       Al-Muhaddits Isma’il ibn Muhammad al-Ansar di dalamTa’aqqubat ‘ala "Silsilat al-Ahadits al-Da`ifa wa al-Mawdu`a" li al-AlbaniTashih Shalat al-Tarawih `Ishrina Rak`atan wa al-Radd `ala al-Albani fi Tad`ifih, dan Ibahat al-Tahalli bi al-Dhahab al-Muhallaq li al-Nisa' wa al-Radd `ala al-Albani fi Tahrimih.
8.       Shaikh Badr al-Din Hasan Diab di dalam Anwar al-Masabih `ala Zulumat al-Albani fi Shalat al-Tarawih.
9.       Shaikh `Isa ibn `Abd Allah ibn Mani` al-Himyari di dalam al-I`lam bi Istihbab Shadd al-Rihal li Ziyarati Qabri Khayr al-Anam dan al-Bid`a al-Hasana Aslun Min Usul al-Tashri’.
10.   Menteri Hal Ehwal Islam UAE, Shaikh Muhammad ibn Ahmad al-Khazraji di dalam artikelnya, al-Albani: Tatarrufatuhu.
11.   Shaikh Firas Muhammad Walid Ways dalam syarah kepada karya Ibn al-Mulaqqin, Sunniyyat al-Jumu`a al-Qabliyya.
12.   Shaikh Samer Islambuli di dalam al-Ahad, al-Ijma’, al-Naskh.
13.   Shaikh As`ad Salim Tayyim di dalam Bayan Awham al-Albani fi Tahqiqihi li Kitab Fadl al-shalat `ala al-Nabi.
14.   Shyaikh Hasan `Ali al-Saqqaf di dalam :
-          Tanaqudat al-Albani al-Wadiha fi ma Waqa`a fi Tashih al-Ahadith wa Tad`ifiha min Akhta' wa Ghaltat
-          Ihtijaj al-Kha'ib bi `Ibarat man Idda`a al-Ijma` fa Huwa Kadhib
-          al-Qawl al-Thabtu fi Siyami Yawm al-Sabt, al-Lajif al-Dhu`af li al-Mutala`ib bi Ahkam al-I`tikaf,
-          Sahih Sifat Salat al-Nabi Sallallahu `alayhi wa Sallam, I`lam al-Kha'id bi Tahrim al-Qur'an `ala al-Junub wa al-Ha'id,
-          Talqih al-Fuhum al-`Aliya,
-          Sahih Sharh al-`Aqida al-Tahawiyya.
Dan yang lainnya….