Berbicara mengenai bid’ah ini, sangat erat hubungannya dengan masalah madzhab. Isu bid’ah dimunculkan oleh sebuah aliran yang menyerukan agar ummat Islam berlepas diri dari seluruh madzhab dan tidak berpegang dengan salah satu madzhab apapun, terutama dalam masalah Fikih. Mereka menyerukan agar ummat Islam berpegang pada Quran dan Sunnah saja dengan pemahaman para sahabat dan salafus shalih. Lalu mereka menyebut hal itu sebagai berpegang teguh terhadap madzhab Rasulullah. Aliran ini pun kemudian mencatut nama salafus shalih untuk dijadikan nama mereka. Karena itulah ada yang menamakan MADZHAB “ANTI MADZHAB”
Jika kita amati sepintas, seruan ini tampak sangat indah dan memukau. Bagaimana tidak, siapa yang ingin menandingi Rasulullah, Nabi yang maksum (steril dari kesalahan), dengan mengikuti para imam atau ulama yang tidak maksum? Siapa yang ingin mengikuti pendapat para imam atau ulama dengan meninggalkan hadits-hadits shahih, padahal mereka semua mengatakan, "Jika hadits shahih, itulah madzhabku." Maka, secara tidak langsung jika kita mengikuti hadits shahih, berarti kita telah melaksanakan wasiat para imam itu sendiri. Sebaliknya, jika kita mengikuti pendapat mereka dengan meninggalkan haditts shahih, berarti kita telah menyelisih madzhab mereka. Benarkah demikian?
Semenjak wafatnya Rasulullah, para ulama –yang merupakan pewaris para Nabi, melanjutkan perjuangan Islam dengan mentransfer ajaran-ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Perjuangan ini dipelopori oleh para sahabat Nabi, dilanjutkan dengan para pengikutnya (tabiin), pengikut pengikutnya (atba' tabiin) dan seterusnya hingga sekarang.
Semenjak wafatnya Rasulullah, para ulama –yang merupakan pewaris para Nabi, melanjutkan perjuangan Islam dengan mentransfer ajaran-ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Perjuangan ini dipelopori oleh para sahabat Nabi, dilanjutkan dengan para pengikutnya (tabiin), pengikut pengikutnya (atba' tabiin) dan seterusnya hingga sekarang.
Sebagaimana telah menjadi sunnatullah bahwa seiring berlalunya zaman, dinamika persoalan yang muncul dalam kehidupan manusia semakin bertambah dan kompleks. Banyak permasalahan baru dihadapi oleh umat Islam yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, terutama di zaman Nabi. Keadaan itu memaksa tokoh-tokoh Islam yang diwakili oleh para ulama mujtahidin untuk membahasnya secara intensif dan mencari solusinya dalam syariat Islam. Mereka tertuntut untuk memberikan jawaban dari setiap permasalahan yang terjadi dengan merujuk pada sumber-sumber resmi dalam syariat. Lalu bagaimana mereka menjawab tantangan zaman yang selalu bertambah dan tidak pernah berkurang itu dengan sumber syariat berupa teks-teks Quran dan hadis yang jumlahnya sangat terbatas?
Sejarah Lahirnya Fikih
Pada masa Nabi, seluruh sahabat dapat merujuk langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku pemilik tunggal otoritas membuat hukum (tasyri') yang mewakili Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga setiap permasalahan dapat terselesaikan dengan pengawasan Allah secara langsung. Namun sepeninggal beliau, para sahabat yang pernah hidup semasa dengan beliau menggunakan Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai dasar mengambil hukum. Jika tidak menemukan, maka mereka berijtihad sekuat tenaga dengan akal mereka, baik dengan membandingkan persoalan serupa yang telah ditetapkan hukumnya melalui teks-teks (metode Qiyas) ataupun mengembalikannya pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana yang telah mereka pahami selama bersahabat dengan Nabi. Sebagian hukum itu akhirnya dibukukan oleh orang-orang setelahnya dan dinamakan hukum Fikih.
Fikih ibarat bangunan megah yang telah dibangun oleh para ulama sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang. Fikih mencerminkan kekayaan hukum Islam. Di dalamnya kita akan mendapati ribuan bahkan jutaan permasalahan yang dibahas oleh para fuqaha. Sebagian permasalahan itu telah menjadi kesepakatan (ijma' atau ittifaq) seluruh ulama, sebagian lain merupakan pendapat mayoritas (jumhur), dan selebihnya adalah permasalahan yang masih dipersilihkan (ikhtilaf).
Di dalam kitab-kitab Fikih, kita mendapati penjelasan para ulama mengenai hukum-hukum Islam dengan bahasa yang komunikatif. Sebagian kitab, di samping menjelaskan hukum-hukum juga menyertakan dalil-dalilnya, sementara sebagian lain hanya menyebutkan hukum-hukumnya saja tanpa dalil. Alasan tidak disertakannya dalil bisa bermacam-macam, di antaranya karena dalil itu sudah sangat populer (masyhur) sehingga tidak perlu disebutkan lagi, atau kadangkala dalil itu bukan berupa teks yang dzhahir dan sharih, melainkan penafsiran yang diambil dari teks, baik melalui metode mafhum muwafawah ataupu mukhalafah sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fikih. Atau bisa juga untuk meringkas kitab supaya tidak terlalu panjang dan bertele-tele sehingga menyulitan para murid dan membuat mereka bosan. Itulah wujud kekayaan hukum Islam yang tidak meninggalkan satu permasalahan pun kecuali para fuqaha telah membahasnya secara detail, tentu saja sesuai dengan kondisi pada zaman mereka.
Jika ayat dan hadits kita ibaratkan sebagai bahan-bahan pokok, maka Fikih merupakan produk yang sudah siap pakai. Umat Islam tidak perlu repot-repot membolak-balik kitab Qur’an atau kitab-kitab hadits lalu membaca satu-persatu ayat dan hadits yang jumlahnya mencapai ribuan untuk mengetahui bagaimana tatacara shalat yang benar, atau puasa yang benar, dan sebagainya. Mereka cukup mencarinya dalam kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama yang telah mereka sarikan dari sumber-sumber resmi dalam syariat Islam dengan metode atau kaidah yang telah diketahui dalam Ushul Fikih. Tujuan para ulama membukukan hukum-hukum itu adalah untuk mempermudah seorang murid dalam mencari hukum-hukum dalam permasalahan-permasalahan tertetu.
Jika ayat dan hadits kita ibaratkan sebagai bahan-bahan pokok, maka Fikih merupakan produk yang sudah siap pakai. Umat Islam tidak perlu repot-repot membolak-balik kitab Qur’an atau kitab-kitab hadits lalu membaca satu-persatu ayat dan hadits yang jumlahnya mencapai ribuan untuk mengetahui bagaimana tatacara shalat yang benar, atau puasa yang benar, dan sebagainya. Mereka cukup mencarinya dalam kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama yang telah mereka sarikan dari sumber-sumber resmi dalam syariat Islam dengan metode atau kaidah yang telah diketahui dalam Ushul Fikih. Tujuan para ulama membukukan hukum-hukum itu adalah untuk mempermudah seorang murid dalam mencari hukum-hukum dalam permasalahan-permasalahan tertetu.
Orang-orang yang menyerukan agar ummat Islam meninggalkan kitab-kitab Fikih ibarat ingin meruntuhkan istana yang sudah dirintis oleh para ulama sejak dahulu dan mengajak ummat Islam untuk membangun kembali istana baru dari awal dengan berbekalkan bahan-bahan pokok yang (sangat boleh jadi) tidak semua ummat Islam mengerti tentangnya. Memang slogan kembali kepada Quran dan Sunnah mudah diucapkan, namun prakteknya tak semudah pengucapannya.
Seharusnya, sebelum mereka menyerukan hal itu, mereka harus menawarkan terlebih dahulu rancangan atau desain bangunan seperti apa yang akan mereka buat, bagaimana bentuknya, apa saja alat-alatnya, bagaimana cara membuatnya, dan seterusnya. Itulah yang dinamakan dengan Ushul Fikih, yaitu pondasi Fikih. Tak mungkin sebuah bangunan dapat berdiri tanpa pondasi. Tanpa itu semua, ibarat berteriak-teriak dengan tangan kosong. Karena seruan itu sama saja mendeklarasikan ummat Islam agar meninggalkan madzhab yang ada dengan membangun madzhab baru yang independen.
Memang, bangunan Fikih dibuat dengan bahan-bahan ayat dan hadits, selebihnya disusun dengan akal atau ijtihad. Namun permasalahannya, tidak semua lapisan ummat Islam dapat melakukan hal itu. Para pakar Ushul Fikih telah membagi ummat Islam menjadi dua: mujtahid dan muqallid. Para mujtahid adalah mereka yang memiliki kapabilitas dan kompetensi di bidang penyimpulan hukum (istimbathul ahkam) secara langsung dari dalil-dalil yang terperinci (al-adillatut tafshiliyyah), sementara para muqallid yang diwakili oleh kalangan awam umat Islam adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan itu. Maka sangat keliru jika menyamakan seluruh lapisan umat Islam dan mengajak mereka untuk berijtihad secara langsung dengan mengambil dalil-dalil dari Quran dan Sunnah lalu menyusunnya menjadi sebuah hukum syar'i. Bagaimana kita ingin mengajak orang-orang yang tidak mengerti tentang kaidah-kaidah pengambilan hukum secara resmi untuk menyimpulkan hukum secara langsung dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah, sementara sebagian di antara mereka (boleh jadi) membaca Quran saja masih belum benar? Ungkapan kembali kepada Quran dan Sunnah akan menjadi tepat jika dipandu dengan pemahaman yang benar dan kemampuan yang mumpuni, bukan ditujukan kepada orang awam yang mungkin bahasa Arab saja tidak tahu.
Adapun pendapat sebagian orang yang menyisipkan kategori muttabi' di antara dua kategori di atas, tidaklah merubah substansi pembagian tersebut. Muttabi' pada dasarnya bukanlah mujtahid karena belum sampai derajat ijtihad. Jadi membebani muttabi' untuk berijtihad juga kurang tepat.
Ushul Fikih
Imam Syafii (w. 205 H) adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar dan pondasi untuk melakukan sebuah ijtihad. Dalam kitabnya yang sangat menumental, Ar-Risalah, beliau menjelaskan kepada ummat Islam bagaimana tatacara pengambilan hukum secara benar. Kitab itu kemudian dinobatkan oleh seluruh ulama sebagai kitab pertama dalam bidang Ushul Fikih. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis tentang tema yang sama dan mengembangan apa yang pernah beliau tulis.
Selain dikenal sebagai seorang ahli Fikih dan ushul, beliau ternyata juga seorang pakar hadits. Namun demikian, beliau tidak serta merta memerintahkan seluruh elemen ummat Islam untuk berijtihad hanya bermodalkan hadits shahih saja, apalagi tanpa menjelaskan metode pengambilan hukum. Dalam catatan sejarah, berapa banyak para perawi hadits yang dhabith tapi tidak faqih? Oleh karena itu, berbekal hadits saja tidak cukup untuk membangun sebuah bangunan Fikih. Jika tidak, mengapa ada pembahasan tentang nasikh-mansukh, 'am-khas, mutlaq-muqayad dan lain sebagainya dalam kajian Ushul Fikih? Bahkan Imam Syafii menulis sebuah kitab khusus berjudul Ikhtilaful Hadits yang berisi tentang ayat-ayat atau hadits-hadits shahih yang secara kasat mata tampak saling kontradiksi (ta'arudh). Ternyata diperlukan otak-otak mujtahid untuk melakukan itu semua. Para imam Madzhab Empat-lah yang telah sampai pada derajat itu, di samping beberapa mujtahid mutlak lainnya tentunya, baik yang sezaman dengan mereka maupun yang sebelumnya atau setelahnya.
Selain dikenal sebagai seorang ahli Fikih dan ushul, beliau ternyata juga seorang pakar hadits. Namun demikian, beliau tidak serta merta memerintahkan seluruh elemen ummat Islam untuk berijtihad hanya bermodalkan hadits shahih saja, apalagi tanpa menjelaskan metode pengambilan hukum. Dalam catatan sejarah, berapa banyak para perawi hadits yang dhabith tapi tidak faqih? Oleh karena itu, berbekal hadits saja tidak cukup untuk membangun sebuah bangunan Fikih. Jika tidak, mengapa ada pembahasan tentang nasikh-mansukh, 'am-khas, mutlaq-muqayad dan lain sebagainya dalam kajian Ushul Fikih? Bahkan Imam Syafii menulis sebuah kitab khusus berjudul Ikhtilaful Hadits yang berisi tentang ayat-ayat atau hadits-hadits shahih yang secara kasat mata tampak saling kontradiksi (ta'arudh). Ternyata diperlukan otak-otak mujtahid untuk melakukan itu semua. Para imam Madzhab Empat-lah yang telah sampai pada derajat itu, di samping beberapa mujtahid mutlak lainnya tentunya, baik yang sezaman dengan mereka maupun yang sebelumnya atau setelahnya.
Madzhab
Kata madzhab berasal dari bahasa Arab (dza-ha-ba) yang berarti tempat (arah) pergi. Jika seseorang sedang pergi ke arah utara maka dikatakan, "Mazhabnya adalah utara." Kata ini kemudian digunakan untuk menyatakan pendapat-pendapat para ulama karena perbedaan pendapat di antara mereka seperti perbedaan arah mereka pergi. Jika seorang ulama berpendapat mengenai suatu permasalahan, maka pendapat tersebut disebut madzhabnya. Madzhab juga berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. (Sumber rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, oleh DR. Umar Sulaiman Al Asyqar).
Sedangkan madzhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian madzhab secara umum, bukan suatu madzhab khusus.
Madzhab Selain Empat Mazhab
Suatu kenyataan yang ada setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mulai timbul madzhab. Pada waktu itu madzhab-madzhab ini walaupun banyak bukanlah bermakna ianya mengecilkan Islam dalam aliran tertentu dan bukan juga suatu proses mewujudkan Syari’at baru. Namun ia merupakan manhaj atau metode untuk memahami syari’at, cara-cara menafsirkan nash-nash dan mengambil hukum dari sumber-sumbernya.
Madzhab-madzhab ini dapat dibagi menjadi tiga bagian:
• Madzhab yang tidak berkembang lama
• Madzhab Syi’ah dan Khawarij
• Madzhab fiqh yang paling masyhur bagi imam-imam Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
Madzhab yang Tidak Berkembang.
Para mujtahid pada zaman ini sebenarnya cukup banyak, terdiri daripada tabi’in atau tabi’i al-tabi’in atau mereka yang berikutnya, tetapi kebanyakan mereka ini tidak ada orang yang mengumpul dan menyebarkan madzhab mereka di kalangan orang Islam dan mamfatwakannya. Akhirnya madzhab ini makin lama makin mengecil, hampir pupus dan hilang fiqhnya, kecuali pandangan mereka yang ditemui bertaburan di dalam kebanyakan kitab tafsir bil ma’tsur, syarah-syarah hadits dan kitab-kitab fiqh madzhab yang kekal.
Di antara tokoh-tokoh mujtahid ini ialah seperti ‘Ata’ bin Abi Rabah, Sa’id bin al-Musayyib, Ibrahim al- Nakha’iy, Sufyan al-Thauri. al-Imamal-Auza’iy, Ibn Jarir al-Tabari, Daud al-Dzahiri dan lain-lain lagi.
Madzhab Syi’ah dan Khawarij.
Terdapat beberapa madzhab lain yang masih hidup, kekal, berkembang dan diberi perhatian. Namun begitu ijtihad pendukungnya telah keluar dari lingkungan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah dari segi Ushul (prinsip) dan Furu’. Madzhab yang terpenting sekali ialah Syi’ah dan Khawarij, kemudian yang paling masyhur sekali ialah:
• Madzhab al-Ibadiyyah dari golongan al-Khawarij
• Madzhab al-Imamiyyah dari Syi’ah
• Madzhab al-Zaydiyyah dari Syi’ah juga tetapi ia lebih dikenali sebagai madzhab yang sedehana dan lebih dekat kepada Ahlusal-Sunnah wa al-Jama’ah
Madzhab Fiqih Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Madzhab fiqh yang termasyhur dari kalangan imam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah yang masih terus menerus memberi khidmat dan mempunyai pengikut setia yang banyak berkembang, menyebar, mengajar seterusnya dipelajari ialah empat mazhab yang terkenal seperti berikut:
1. Imam Abu Hanifah (80-150H)
2. Imam Malik bin Anas (93-179H)
3. Imam al-Syafi’i (150-204H)
4. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
Mungkin kita bertanya, "Bukankah di sana ada banyak mujtahid mutlak, baik yang sezaman dengan para imam Madzhab Empat maupun sebelumnya atau setelahnya, lalu mengapa hanya berpegang pada Imam Empat saja?" Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak ada madzhab yang di-service secara istimewa oleh para pengikutnya kecuali hanya empat madzhab itu. Kita ambil contoh Madzhab Auza'i, madzhab yang dinisbatkan kepada seorang imam besar bernama Al-Auza'i, meskipun beliau dahulu adalah seorang imam besar yang boleh jadi secara keilmuan menandingi Imam Empat, namun madzhab beliau tidak sampai kepada kita secara mutawatir alias hilang begitu saja ditelan waktu. Yang tersisa hanya nukilan-nukilan perkataan beliau yang dimuat dalam kitab-kitab hadits maupun Fikih, itupun di antara sebagian nukilan itu ada yang benar dan ada yang tidak. Entah ke mana para pengikut yang dahulu mengikuti madzhab beliau? Yang pasti, madzhab beliau tidak terkodifikasi sebagaimana Madzhab Empat. Begitu juga halnya dengan madzhab-madzhab lainnya yang lenyap bersama zaman, seperti madzhab Ibnul Mubarak, madzhab Sufyan Ats-Tsauri, madzhab Ibnu 'Uyaynah, madzhab Al-Layts dan lain-lain.
Bandingkan dengan Madzhab Empat yang tetap eksis dan mendapatkan pelayanan istimewa dari para pengikutnya hingga detik ini dan hingga hari kiamat nanti (atas seizin Allah). Madzhab Hanafi misalnya, yang mendapatkan pelayanan luar biasa dari para pengikutnya sehingga sebagian besar (untuk tidak mengatakan semua) fatwa Imam Abu Hanifah telah terekam secara detail dalam kitab-kitab para muridnya, yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Begitu juga dengan madzhab Maliki, Syafii dan Hambali. Perpustakaan takkan lengkap tanpa kitab-kitab karangan mereka.
Kedua, tak terhitung jumlah para ulama yang menjadi pengikut Madzhab Empat, bahkan di antara mereka adalah para ahli hadits. Sebut saja Imam Nawawi, Ibu Hajar Asqalani, bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun. Sangat sulit diterima oleh akal bahwa mereka semua tidak memiliki kemampuan untuk menyaring hadits-hadits shahih dalam madzhab mereka. Jika memang keberadaan madzhab-madzhab itu telah menyimpang dari rel syariat Islam –sebagaimana tuduhan kalangan anti-mazhab, pastilah mereka menjadi orang pertama yang menyerukan kepada ummat Islam untuk meninggalkan semua madzhab yang ada.
Ketiga, tak satupun di antara keempat madzhab itu yang dibangun tanpa dasar atau pondasi (ushul). Setiap madzhab memiliki ushulnya masing-masing. Maka, jika memang kalangan yang ingin berlepas diri dari madzhab-madzhab itu konsisten dengan seruan mereka sendiri, seharusnya mereka menawarkan kepada ummat Islam konsep madzhab baru seperti apa yang ingin dibangun. Tentu saja slogan "Jika hadits shahih, itulah mazhabku" saja tidak cukup sebagaimana telah kita bahas di atas.
Mungkin kita bertanya lagi, "Bukankah madzhab-madzhab itu lahir sebelum zaman kodifikasi (tadwin) hadits, jadi ada kemungkinan sebagian hadits shahih tidak sampai kepada sebagian imam?"
Perlu diingat bahwa Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Artinya, jarak antara kelahiran beliau dengan wafat Rasulullah hanya beberapa puluh tahun saja. Sebagian di antara guru-guru beliau merupakan para pembesar tabiin seperti Al-A'raj, Ikrimah, 'Alqamah dan lain-lain. Begitu juga dengan Imam Malik yang lahir pada tahun 93 H. Dalam kitab Shahih Bukhari atau kitab-kitab hadits lainnya kita sering menjumpai hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya, antara Imam Malik dengan Rasulullah hanya melewati dua orang perawi saja. Lalu bagaimana dengan Imam Abu Hanifah yang masa hidupnya paling mendekati Rasulullah di antara Imam Empat yang ada? Bagaimana dengan Abdullah Ibnul Mubarak, seorang muhaddits besar yang sering hadir dalam majelis Imam Abu Hanifah? Begitu juga dengan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Memang, masih terbuka kemungkinan secara akal bahwa sebagian hadits shahih tidak sampai kepada para imam. Namun, apakah logis mengatakan bahwa seluruh ulama pakar hadits pengikut madzhab itu tidak mengetahui keberadaan hadits-hadits itu?
Jadi, menggunakan logika sebagian hadits tidak sampai kepada para imam tidak bisa dijadikan dalil untuk meruntuhkan madzhab mereka. Madzhab fikih itu telah eksis dibangun sebelum adanya kitab-kitab hadits dan diikuti oleh para ulama, bahkan termasuk para muhadditsin, baik mutaqadimin (klasik) maupun mutaakhirin (kontemporer). Lalu bagaimana mungkin orang yang datang belakangan (di zaman ini) melontarkan kemungkinan bahwa sebagian hadits tidak sampai kepada sebagian imam?
Aliran yang mengajak ummat Islam untuk meninggalkan madzhab pada hakikatnya adalah mengajak untuk mengikuti madzhab mereka. Jadi, aliran anti-madzhab pun sebenarnya merupakan madzhab baru. Dalam masalah gerakan anti madzhab, lalu mereka menyerang para imam madzhab dan yang mengikutinya, jelas itu adalah perbuatan yang tidak terpuji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah mengkritik para penggiat anti madzhab ini dengan menyusun kitab: Raf’ul malam an a’immatil a’lam. Beliau telah melucuti pihak-pihak yang telah berlaku kasar dan sombong terhadap para imam-imam madzhab, dan Beliau telah berhasil mengembalikan madzhab dan para pendirinya pada kedudukan yang seharusnya mereka terima.
Sejak dahulu hingga kini selalu ada golongan yang selalu menyerukan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Seruan ini baik dan patut didukung, tetapi ternyata dibalik mulia seruan ini ada azab di dalamnya. Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu,“Kalimatul haq yuradu bihal baathil.” Kalimat yang benar untuk dimaksudkan pada hal yang batil. Dibalik seruan ini mereka hendak mengubur dalam-dalam warisan pemikiran para imam kaum muslimin, dengan slogan “Cukup Al Quran dan As Sunnah,” dan lemparlah ke tong sampah pemikiran Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka hanya mengambil pendapat imam-imam sesuai selera menurut manhajnya. Inilah golongan Hasyawiyah yang selalu ada setiap zaman, mereka hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang, mengkaji, dan menganalisa, dari istimbath para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!” Mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.”
Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama masa lalu menyiapkan kaidah ilmu dan tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka. Namun, di mata orang yang picik, para imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada mereka. Wallahul Musta’an!
Di sisi lain, ada pula golongan lain yang menjadi lawannya. Mereka bersikap ekstrim pula dalam mengkultuskan pendapat madzhab. Mereka begitu fanatik dengan pendapat madzhabnya dan mengingkari pendapat madzhab lain. Akhirnya, mereka menjadi junudul madzhab (tentara-tentara madzhab) bukan junudullah (tentara-tentara Allah). Marahnya mereka karena madzhab, ridha pun karena madzhab. Pedang mereka siap terhunus dan taring mereka siap menerkam siapa-siapa saja yang mengkritik pendapat imam madzhabnya. Kuat lemahnya hujjah tidak lagi menjadi ukuran, tapi ukuran itu dilihat dari“Setiap orang yang berbeda dengan madzhab kami maka dia sesat dan menempuh bukan jalan kaum beriman.”
Sikap ini juga tidak benar dan tercela, bahkan sama sekali bukan cerminan akhlak dari para imam madzhab, tidak Hanafi, tidak Maliki, tidak Syafi’i, dan tidak pula Hambali. Para bintang dunia ini, tidak pernah mengajak orang lain untuk selalu mengkultuskan pendapatnya, salah dan benar harus diikuti.
Maka, sikap anti madzhab di satu sisi dan kultus madzhab di sisi lain, keduanya sama-sama keliru dan berbahaya. Bahkan para imam dan tokoh madzhab seperti Imam Abu Yusuf (Hanafi), Imam Al Ghazali (Syafi’i), Imam An Nawawi (syafi’i), Imam Ibnul ‘Arabi (Maliki), Imam Ibnu Taimiyah (Hambali), mereka adalah sebaik-baiknya imam pengikut madzhab, terbuka dengan pihak lain, tidak fanatik, dan berjalan bersama dalil-dalil.
Allah Ta’ala mengajarkan kita untuk menempuh jalan tengah, adil, dan seimbang:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا….
Artinya : “Dan demikianlah Kami jadikan kamu ummat pertengahan ..” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Ayat lain:
أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya : “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. “(QS. Ar Rahman (55): 8-9)
Jika saat ini ada orang mengatakan bahwa dia mengambil hukum dari Qur’an dan Sunnah, tetap dia berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Qur’an dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Qur’an dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.
Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?” Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.
Konsep Ikhtilaf atau Khilaf.
Ikhtilaf dalam bahasa Arab artinya tidak sependapat atas sesuatu perkara, maksudnya setiap orang mengambil jalan yang berbeda dalam perkataan maupun pendapat. Ikhtilaf juga memberi arti tidak sama, oleh karena itu setiap yang tidak sama dikatakan ikhtilaf. Sementara khilaf ialah pertentangan atau berlawanan “ ”مضادة (mudhadah), jadi artinya sama dengan ikhtilaf, walaupun maknanya lebih umum. (Karena khilaf itu sebagian dari (al-dhid) dan tidak semestinya setiap dua benda yang berbeda itu berlawanan, walaupun dua benda yang berlawanan itu berbeda. Lihat Ibn Manzur (t.t) “Lisan al-Arab”, Matba’ah al-Dar al-Arabiyyah Lial-Ta’lif wa al-Tarjamah. Kah. jld :1, hal : 430)
Ikhtilaf menurut istilah fuqaha’ berarti berbeda pendapat tentang agama, jalan-jalan dalam agama dan kepercayaan terhadap sesuatu yang bisa membawa kebahagiaan atau kecelakaan kepada manusia di dunia dan akhirat. (Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnati (t.t), “al-Muwafaqat”, Kah. Matba’ah ‘Ali Subaih Wa Auladihi. jld : 4, hal : 110). Perbedaan antara Ikhtilaf dan Khilaf yang dikatakan oleh al-Syatibi itu hanyalah istilah saja yang dilihat tidak ada kekuatan sandarannya, karena para fuqaha’ telah menggunakan al-khilaf dan al-ikhtilaf dengan makna yang sama saja yaitu “Sesuatu yang tidak disepakati para fuqaha’ dalam masalah-masalah ijtihad tanpa memandang betul atau salah atau ganjil pendapat yang diperkatakan itu”.
Larangan Ikhtilaf dalam Islam.
Islam memerintahkan supaya bersatu dan bermufakat serta melarang berpecah belah dan berselisih pendapat. Dari sini dapat difahami beberapa perkara berikut:
• Pertama : Ikhtilaf adalah sesuatu yang boleh terjadi di kalangan manusia, karena jika ia mustahil berlaku pasti syara’ tidak akan melarangnya dan tidak menuntut mukallaf meninggalkannya, karena melarang dari melakukan sesuatu yang mustahil adalah sia-sia.
• Kedua : Apabila ikhtilaf itu sesuatu yang boleh dilakukan oleh manusia, maka ia juga bisa dicegah dan boleh dihasilkan lawannya yaitu bersatu dan bersepakat, karena salah satu prinsip syara’ “Tidak ada taklif melainkan terhadap sesuatu yang mampu dilakukannya”, atau “Tiada taklif terhadap sesuatu yang mustahil”.
• Ketiga : Apabila Ikhtilaf itu sesuatu yang dilarang dalam Syariat Islam, maka sudah tentu ia madzmum (dicela). Hal ini karena pada dasarnya yang dicela itu dilarang melakukannya.
• Keempat: Apabila ikhtilaf dilarang atau dicela, maka siapa saja yang terlibat melakukannya akan dikenakan balasan siksa.
Oleh karena itu timbul persoalan, yaitu sejauh manakah boleh terjadi ikhtilaf di antara manusia, dalam istilah lain adakah ia suatu yang jarang atau sering terjadi, atau sampai kepada tahap harus terjadi? Adakah orang Islam dikecualikan harus terjadi khilaf di kalangan mereka atau tidak? Adakah khilaf itu satu jenis saja atau bisa banyak? Adakah celaan itu terhadap semua jenis khilaf atau sebagian saja? Apakah faktor-faktor yang menyebabkan khilaf dan bagaimana menanganinya? Apakah balasan siksaan akan dikenakan ke atas semua orang yang berkhilaf dan lain-lain persoalan yang boleh dibangkitkan.
Sebenarnya perbincangan ini amat luas, tidak mungkin diperkatakan semuanya dalam pembahasan yang ringkas ini. Disini hanya bertumpu kepada jenis-jenis khilaf,kaidah-kaidah menangani masalah khilafiyyah dan adab al-Khilaf.
Perkembangan Khilaf.
Sebelum berbicara mengenai sebab-sebab khilaf antara fuqaha’ ini, khilaf itu sendiri terbahagi kepada tiga bahagian: (Umar Sulaiman al-Asyqar dan Muhammad Othman Syabir (1996), al-Urdun. Dar al-Nafais, “Masail fi al-Fiqh al-Muqarin”)
1. Khilaf Yang Diterima.
Perbedaan yang terjadi dalam perkara-perkara yang disyariatkan itu bermacam-macam, cuma ulama’ berbeda pendapat tentang yang lebih afdhal dan patut diutamakan saja seperti haji Qiran, Tamatu’ dan Ifrad. Setiap jenis haji ini sah dilakukan walaupun mereka berselisih pendapat tentang yang lebih afdhal. Demikian juga membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah dalam shalat berjamaah Maghrib, Isya dan Subuh, dengan suara keras atau pelan, kedua-duanya harus yakin tidak membatalkan shalat walaupun sebagian ulama’ mengatakan sunnat membaca nyaring dan sebagian ulama’ lain menganggapnya makruh.
2. Khilaf Yang Dicela.
Terdapat khilaf yang dicela. Ini disebabkan karena empat sebab:
• Kejahilan
• Kedzaliman dan pendurhakaan
• Mengikut hawa nafsu
• Menyalahi manhaj nabawi dalam penerimaan hukum Syara’ dan cara mengamalkannya
3. Ikhtilaf Yang Harus Dan Dapat Diterima Akal
Khilaf ini ialah perbedaan yang terjadi di kalangan ulama’ mujtahidin dalam masalah ijtihadiyyah yaitu masalah yang tidak terdapat nas qat’iy. Namun demikian khilaf ini dapat diterima dengan syarat-syarat berikut:
a. Hendaklah khilaf itu berlaku di kalangan ulama’ fiqh dan orang yang berkelayakan dalam agama
b. Hendaklah ijtihad dan khilaf mereka itu dalam masalah far’iyyah yang tiada dalil-dalil qat’iy berhubung dengan hukumnya
c. Hendaklah tujuan masing-masing untuk mencapai kebenaran dan yang betul
d. Setiap orang faqih itu telah mencurahkan seluruh tenaganya bagi mencapai kebenaran Khilaf seperti ini juga berlaku di kalangan para sahabat dan tabi’in, namun demikian tidak ada seorang pun dikalangan mereka dicela karena perbedaan yang terjadi Hal ini disebabkan masing-masing bekerja unutk mencari kebenaran, kalau ada yang tersalah ketika menuntut dan mencari kebenaran itu mereka tidak dipersalahkan bahkan dimaafkan. Ini jelas daripada sabda baginda shallallahu 'alaihi wasallam :
“ إذا حكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران ، واذا حكم فاجتهد ثم أخطاء فله أجر “ ﴿حديث رواه البخارى مسلم﴾
Artinya : “Apabila seorang hakim hendak menjatuhkan hukuman, lalu ia berijtihad dan betul ijtihadnya, maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila tersalah dalam ijtihadnya maka ia mendapat satu pahala”.
Sebab-sebab Khilaf.
Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mujtahidin dan masing-masing menjelaskan hujjah yang menjadi sandaran kepada setiap masalah yang dihasilkan oleh ijtihad mereka, tetapi perbedaan itu tidak sedikitpun membawa kepada golongan yang saling membenci diantara mereka dan tanpa membawa gesekan yang berarti diantara mereka dan ini terbukti berjalan sampai ribuan tahun. Dalam pada itu mereka saling hormat menghormati antara satu sama lain dan berlapang dada serta saling menyadari perbedaan itu yang tidak mungkin bisa disatukan. Ini disebabkan tabiat masalah-masalah yang dalilnya tidak qat’iy, maka pasti akan berlaku khilaf.
Faktor-faktor khilafiyyah adalah seperti berikut:
Pertama :
التفاوت فى العقل والفهم ولقدرة على تحصيل العلم
Artinya : “Kemampuan Menguasai Ilmu Tidak Sama Dari Segi Akal Fikiran Dan Kefahaman”
Manusia berbeda sesama mereka dari segi paras rupa dan warna kulit dengan perbedaan yang nyata dan kentara. Mustahil terdapat dua orang yang serupa seratus persen dalam semua keadaan walaupun mereka itu adalah sepasang adik-beradik kembar. Perbezaan ini sebenarnya adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah s.w.t sepertimana firmanNya:
ومن ءايته خلق السموات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم، إن فى ذلك لأيت للعالمين. ﴿سورة الروم : ٢٢(
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaanNya dan kebijaksanaanNya ialah kejadian langit dan bumi, dan perbedaan bahasa kamu” dan warna kulit kamu. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan bagi orang-orang yang berpengetahuan”.
Perbedaan sesama manusia tidaklah hanya pada rupa dan warna kulit saja bahkan perbedaan itu menjangkau jauh lebih daripada itu kepada bakat, lingkungan, kecenderungan, aliran, akal, kecerdikan, kepintaran, tabiat, naluri dan lain-lain sifat yang membentuk hakikat bathin manusia.
Perbedaan sesama manusia tidaklah hanya pada rupa dan warna kulit saja bahkan perbedaan itu menjangkau jauh lebih daripada itu kepada bakat, lingkungan, kecenderungan, aliran, akal, kecerdikan, kepintaran, tabiat, naluri dan lain-lain sifat yang membentuk hakikat bathin manusia.
Perbedaan-perbedaan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap khilaf fuqaha’. Sebagian fuqaha’ mempunyai kemampuan yang tinggi dari segi hafalan dan kefahaman, ada di antara mereka yang hafalannya lebih baik daripada kefahamannya. Sementara yang lain pula kefahamannya lebih baik daripada hafalannya.
Kedua :
التفاوت فى الحصيلة العلمية
Artinya : “Perbedaan Dalam Pencapaian Ilmu.”
Di antara faktor besar yang menyumbangkan khilaf fuqaha’ ialah perbedaan mereka dalam pencapaian ilmu, khususnya tentang al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila seorang faqih lebih pengetahuannya tentang al-Qur’an dan al-Sunnah, maka hukumnya lebih dekat kepada hakikat kebenaran.
Sementara itu ayat-ayat al-Quran terbatas bilangannya dapat dihafal sedangkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat banyak dan tentu sukar dikuasai dan dihafalnya. Ini adalah karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperkatakan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan tidak semua sahabat mendengar atau melihat apa yang baginda lakukan atau perkatakan. Maka apabila baginda wafat, sunnahnya tersimpan kepada segolongan sahabat dan tidak semua sahabat yang menghimpun sunnah itu di dalam dada atau buku masing-masing.
Para sahabat ada yang berlebih dan berkurang tentang menghafal al-Sunnah, ada di antara mereka yang menghafal dua atau tiga hadits saja, sementara yang lain ada yang menghafal beribu-ribu dan ada yang sederhana saja hafalannya. Banyak sahabat bertebaran di beberapa wilayah Islam, masing-masing menyebarkan sunnah yang dihafalnya kepada penduduk tempatan. Begitulah caranya ilmu dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebar luas di seluruh wilayah Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan untuk ummat ini beberapa tokoh yang mempunyai cita-cita yang tinggi, azam yang kuat dan niat yang bersih, mereka menjelajah seluruh dunia Islam merentasi timur dan barat bagi mengumpulkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyusunnya dalam kitab-kitab al-Sihah, al-Masanid dan al-Ma’ajim. Sebagian masyhur dan dikenal banyak orang dan sebagian lagi tidak masyhur, dan semuanya ini memudahkan untuk mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi untuk menguasai semua sunnah itu amat sulit bahkan mustahil, karena himpunan hadits begitu banyak. Lebih-lebih lagi arah pandangan ulama’ berbeda dalam menghukum sebagian hadits, karena sebagian ulama’ berpendapat beberapa hadits itu sahih sedangkan yang lain berpendapat hadits itu daif. Ini adalah satu bab yang luas perbincangannya sehingga membawa kepada berlakunya khilaf di kalangan ulama’.
Ketiga :
التفاوت فى الاحاطة بعلوم اللغة العربية
Artinya : “Perbedaan Dalam Penguasaan Ilmu-ilmu Bahasa Arab.”
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan al-Quran dalam bahasa Arab. Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Taha ayat 113 :
وكذلك أنزلنه قرءانا عربيا.....
Artinya : “Dan demikianlah Kami telah menurunkan al-Quran sebagai bacaan dalam bahasa ‘Arab.....”.
Allah subhanahu wa ta’ala memilih Rasul yang terakhir berbangsa Arab bahkan baginda seorang Arab yang paling fasih bahasa Arabnya. Ulama’ tidak dapat memahami al-Quran al-Karim dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selagi mereka tidak memahami bahasa Arab.
Perbedaan yang nyata di kalangan ulama’ dalam memahami hukum-hukum Syara’ disebabkan perbedaan mereka memahami Lisan al-Arab, penguasaan terhadap rahasia-rahasia bahasa Arab. Dari sinilah juga akan menyumbangkan khilaf di antara ulama.
Keempat :
الاختلاف فى مدى حجية بعض المصادر الفقهية
Artinya : “Perbedaan Tentang Kehujjahan Beberapa Sumber Hukum.”
Khilaf ulama’ dalam hukum-hukum furu’, antara faktornya ialah berlaku khilaf di antara mereka tentang kehujjahan sebahagian sumber-sumber yang menjadi sandaran kepada hukum-hukum furu’. Contohnya fuqaha’ telah khilaf tentang kehujahan al-Hadits al-Mursal, al-Qiyas, al-Ijma’, al-’Urf, al-Masalih al-Mursalah, al-Istihsan dan Syar’u Man Qablana.
Setiap mereka yang berpendapat satu-satu sumber itu hujjah akan mengamalkannya dalam mentsabitkan sebagian hukum Syara’. Sementara bagi mereka yang tidak menganggapnya sebagai hujjah akan menolak dan membatalkannya serta hukum-hukum yang dibina ke atasnya selagimana tidak ada dalil yang lain.
Kelima :
الاختلاف فى الشروط التى يجب توافرها فى الحديث الصحيح الذى يجوز الاحتجاج به
Artinya : “Perbedaan Tentang Syarat-syarat Yang Wajib Dipenuhi Pada Hadits Sahih Yang Boleh Dijadikan Hujjah.”
Al-Hanafiyyah telah meletakkan syarat bagi beramal dengan Hadith Ahad; hendaklah perawi itu tidak beramal menyalahi apa yang diriwayatkannya, tajuk hadits itu bukan daripada perkara yang umum dan hendaklah hadits itu tidak menyalahi konsep al-qiyas dan dasar-dasar umum dalam Islam khususnya apabila perawi itu bukan seorang yang faqih.
Sementara al-Malikiyyah mensyaratkan Khabar Ahad itu hendaklah selaras dengan amal ahl al-Madinah, karena ianya sama seperti periwayatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan riwayat orang banyak lebih berhak diamalkannya daripada riwayat seorang saja. Dan penduduk Madinah lebih mengetahui yang terakhir warid daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jumhur fuqaha’ yang terdiri daripada al-Syafi’iyyah, al-Hanabilah, al-Zahiriyyah, al-saja’fariyyah dan sebagian fuqaha’ madzhab lain berpendapat yang pentingnya wajib beramal dengan hadits Ahad itu apabila riwayatnya itu shahih dan berhubung sanadnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hendaklah diistinbatkan hukum daripadanya serta dijadikan sebagai sumber perundangan Islam.
Sekiranya sanad hadits itu tidak berhubung dengan Rasulullah, atau haditsnya mursal, maka madzhab Syafi’i menerima hadits itu dengan syarat ianya hadits mursal dari tabi’in seperti perawinya Sa’id bin al-Musayyab dan mempunyai sanad dari riwayat lain atau hadits itu selaras dengan kata-kata sahabat atau difatwakannya oleh kebanyakan sahabat. Namun Madzhab Ahmad bin Hanbal, hadits mursal tetap diambil dan diterima/dipakai apabila tidak ada pada bab yang berkenaan hadits yang berhubung sanadnya.
Keenam :
الاختلاف فى القواعد الأصولية
Artinya : “Perbedaan Tentang Beberapa Qawa’id Ushuliyyah.”
Qawa’id Ushuliyyah ialah prinsip-prinsip, metode, manhaj, cara dan kaidah-kaidah yang pakai oleh para mujtahidin sebagai panduan untuk melakukan istinbat hukum-hukum Syara’. Para ulama’ fiqh akan iltizam dengannya dalam mengambil hukum-hukum Syara’ daripada dalil-dalilnya yang tafsili. Khilaf dalam Qawa’id Ushuliyyah adalah di antara faktor-faktor yang menyumbangkan khilaf dalam hukum-hukum furu’. Qawa’id Ushuliyyah ini sebagian merujuk kepada bahasa Arab dan sebagian yang lain merujuk kepada akal. Di antara contoh-contoh khilaf tentang Qawa’id Ushuliyyah adalah seperti berikut:
١. الاختلاف فى تحديد معنى اللفظ المشترك
٢. الاختلاف فى حمل الأمر على الوجوب أو على الندب
٣. الاختلاف فى حمل النهي على التحريم أو الكراهة
الاختلاف فى دلالة النص على مفهومه المخالف
Ketujuh :
الاختلاف فى القراءت فى القرآن الكريم
Artinya : “Khilaf Tentang Qiraat Dalam al-Quran al-Karim.”
Kedelapan :
الاختلاف بسبب تعارض الادلة
Artinya : “Khilaf Disebabkan Pertentangan Dalil-dalil.”
Kaidah Menyelesaikan MasalahKhilafiyyah.
Suatu perkara yang perlu diketahui bahwa hukum-hukum fiqh ada yang disepakati para imam mujtahidin, ada yang hanya disepakati dikalangan ulama’-ulama’ madzhab saja, ada yang berlaku khilaf di antara imam-imam mujtahidin dan ada juga berlaku khilaf dikalangan ulama’-ulama’ dalam madzhab yang sama. Oleh karena itu, ummat Islam harus menerima kenyataan di atas karena khilaf dalam perkara ijtihad dan hukum yang berasaskan pada dalil-dalil dzanni adalah suatu perkara yang tabi’iy bahkan pasti berlaku sebagaimana yang dinyatakan dalam sebab-sebab khilaf sebelum ini.
Seruan untuk menyatukan madzhab-madzhab fiqh adalah suatu yang lucu, justru memaksa orang lain meleburkan atau mengorbankan pandangan ijtihadnya untuk berada dalam satu madzhab saja. Ini tidak mungkin bahkan ianya bertentangan dengan konsep dan tuntutan ijtihad karena seorang yang mampu berijtihad dan beramal dengan hukum yang dihasilkan oleh ijtihadnya bahkan tidak harus ia bertaqlid atau berpaling dari madzhabnya kepada pendapat orang lain. Sementara orang awam wajib bertaqlid kepada mazhab dan pendapat ulama’ mujtahidin yang menjadi pilihannya.
0 komentar:
Posting Komentar