Kalau melihat fenomena umat islam sekarang, dengan membaca tulisan dalam buku agama dan membuka internet sungguh ada kemajuan luar biasa. Setiap orang ngotot ingin bicara masalah agama. Setiap orang ingin berkomentar tentang suatu perbuatan dilihat dari perspektif agama. Lebih hebatnya lagi, orang-orang yang baru kemaren belajar agama bisa berdalil langsung dari Al Qur`an dan Sunnah. Karena mereka menisbatkan bahwa mazhabnya adalah al Qur`an dan as Sunnah. Tidak perlu mazhab yang empat. Seolah-olah dengan bermadzhab misalnya madzhab Syafi’i, maka orang ini telah keluar dan melenceng jauh dari al Qur’an dan as Sunnah, sehingga sering keluar dari perkataan mereka bahwa orang yang mengikuti madzhab bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ahlul bid’ah, sesat dan menyesatkan, bodoh dan tidak bermanhaj Salafus Shaleh. Na’udzubillah…
Dengan kenyataan ini, marilah kita sama-sama bertanya dalam hati dan fikir dengan melihat kenyataan yang ada tentang tokoh-tokoh besar, semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad bin Hambal, "Di zaman sekarang ini masih adakah mujtahid mutlaq seperti mereka dan jumlahnya lebih banyak?! Kenapa di masa sahabat, tabi`in, tabi` tabi`in, dan generasi salaf, kok tidak sebanyak itu mujtahid yang ada? Seharusnya di masa mereka lebih banyak, karena mereka paling dekat dengan masa diturunkannya Al Qur`an?!"
Dengan banyaknya para mujtahid baru pada sekarang ini,"Semestinya umat islam tidak akan kebingungan menjalani roda kehidupan, karena banyak yang akan menjelaskan agama dari al Quran dan Sunnah. Semua aspek kehidupan manusia akan berjalan seiring dengan tuntunan Al Qur`an dan Sunnah. Namun ruh agama justru terasa semakin jauh dari kehidupan?!" Fenomena kemunculan para mujtahid tadi menimbulkan kegoncangan di dalam tubuh ummat Islam. Dimana-mana terjadi fitnah! Terjadi perang argumen, adu otot, menghina ulama fulan, menghalalkan darah orang-orang yang berkiblat ke Ka`bah, minimal terjadi perang dingin! Umatpun jadi pecah!
UNTUK APA MELAKUKAN SEMUA INI?!
Kenapa dengan munculnya para mujtahid baru justru realita umat islam semakin buruk, sesama umat islam terpicu perang internal. Seharusnya kehadiran para mujtahid membuat permasalahan agama bisa diselesaikan dengan mudah dan mereka mampu menunjukkan islam yang rahmat kepada umat. Permasalahan-permasalahan agama yang kerap diributkan dewasa ini sebenarnya umumnya sudah diselesaikan oleh ulama beberapa abad lalu. Tinggal memahami apa yang mereka ijtihadkan, mengkritisi ijtihad mereka dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Bila tidak paham atau tidak setuju dengan mereka, kenapa mesti menghina dan menuduh mereka macam-macam?! Kesalahan tidak melekat pada diri ulama, akan tetapi aib ada pada diri mujtahid baru tadi. Ulama itu banyak dan para mujtahid dari dulu banyak yang bermunculan, kenapa tidak memperluas dada untuk mengkaji ijtihad mereka yang memang layak untuk berijtihad?!
Untuk bisa beramal dengan tekstual ayat al Qur`an dan Hadits, minimal seseorang harus menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan :
1. Ilmu riwayat
2. Ilmu tata bahasa arab,
3. Ilmu logika
A. Ilmu riwayat untuk menguji kebenaran sebuah nash
Untuk bisa mengamalkan sebuah nash tentu kita mesti memastikan kesahihan nash, apakah benar bersumber dari Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sampainya nash kepada kita apakah bisa diyakini kebenarannya atau baru sampai kepada tingkat prasangka yang kuat (zhann) bahwa nash bersumber dari Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Apakah nash yang ada, diriwayatkan secara mutawatir atau bagaimana? Karena riwayat mutawatir pada al Qur`an dan Hadits menghasilkan ilmu yaqini. Dipastikan bahwa nash yang sampai kepada kita adalah benar dan wajib diamalkan. Karena berita mutawatir itu disampaikan oleh sejumlah besar umat pada setiap generasi yang tidak mungkin semua mereka untuk berbohong.
Namun demikian kita tidak bisa menutup mata, selain mutawatir ada riwayat dari qiraat yang tidak mutawatir, seperti qiraat syadz. Begitu juga dengan hadits yang lebih dominan diriwayatkan tidak secara mutawatir, apakah hadits yang ada, diriwayatkan secara mutawatir atau ahad? Jikalau permasalahan ini sudah beres, bisa dipastikan bahwa nash yang kita terima adalah benar, sahih dan bisa dijadikan hujjah untuk beramal. Jikalau tidak bisa, maka perlu untuk mengkaji dan membuktikannya. Selengkapnya masalah ini bisa dikaji di dalam ilmu musthalah hadits dan ushul fiqh.
B. Memahami nash secara tatabahasa arab.
Kita yakin dan sepakat bahwa Al Quran diturunkan dalam Bahasa Arab. Bahasa Arab yang dimaksud adalah Bahasa Arab suku Qurays di zaman al Quran diturunkan, 14 abad silam. Di kala itu para pujangga Arab memiliki kemampuan sastra yang sangat luar biasa, akan tetapi mereka tetap takluk dengan mujizat al Qur`an. Bahasa al Qur`an bukanlah Bahasa Arab orang Saudi Arabia sekarang! Bila kita sudah sepakati hal ini, maka kita tentu sepakat bahwa Al Quran mesti dipahami dengan kaidah Bahasa Arab ketika itu, bukan Bahasa Arab orang sekarang! Umat seluruhnya juga telah sepakat tentang keotentikan ayat-ayat al Quran yang sampai kepada kita saat ini, sehingga mereka menyatakan bahwa Al Quran yang diriwayatkan kepada kita adalah qath`i al tsubut (keotentikannya terjamin). Sedangkan dalalah (maksud yang dipahami dari sebuah kalimat) yang ditunjukkan oleh al Qur`an tersebut masih bersifat zhanny al dalalah (masih bersifat prasangka). Oleh karena itu tidak bisa langsung menvonis satu dalalah tertentu dari tekstual ayat, masih ada banyak kemungkinan! Mari kita lihat beberapa bagian kajian ilmu tatabahasa arab berikut.
1. Haqiqah dan Majaz.
Di dalam bahasa arab ada kaidah yang dikenal dengan istilah haqiqah dan majaz. Haqiqah adalah memakai sebuah kalimat sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh orang arab dari peletakan kalimat tersebut, tanpa ada maksud lain. Misal; ketika kita ingin mengatakan "singa" pada kalimat "saya melihat singa", maka yang dimaksud adalah hewan buas, si raja hutan. Karena kalimat "singa" oleh orang Arab digunakan untuk menunjukkan seekor binatang buas, yang kita kenal dengan nama "singa".
Sedangkan majaz, adalah pemakaian sebuah kalimat tidak sesuai dengan makna asal yang dimaksudkan oleh kalimat tersebut. Contoh: ketika kita menggunakan kata "singa" pada kalimat "singa itu sedang menghunus pedang". Ketika memahami susunan kalimat, maka logika kita akan mengatakan tidak mungkin singa bisa menghunus pedang, pasti ada makna kedua yang diinginkan, seperti dimaksudkan untuk pengungkapan kepada "seorang laki-laki yang pemberani".
Sedangkan majaz, adalah pemakaian sebuah kalimat tidak sesuai dengan makna asal yang dimaksudkan oleh kalimat tersebut. Contoh: ketika kita menggunakan kata "singa" pada kalimat "singa itu sedang menghunus pedang". Ketika memahami susunan kalimat, maka logika kita akan mengatakan tidak mungkin singa bisa menghunus pedang, pasti ada makna kedua yang diinginkan, seperti dimaksudkan untuk pengungkapan kepada "seorang laki-laki yang pemberani".
Di dalam al Qur`an banyak terdapat kalimat-kalimat majaz ini, contoh:
إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
Artinya : “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya).” (QS: Al Anfal : 2)
Pada ayat ini kita dapati bahwa yang menambahkan iman seseorang itu adalah "ayat", padahal tidak mungkin ayat yang akan menambahkan iman seseorang, akan tetapi Allah yang akan menambahkannya. Tapi digunakan kalimat "ayat", karena Allah menjadikan "memahami dan mentadabburi ayat" sebagai sebab untuk menambah keimanan seseorang. Allah nisbahkan sebuah pekerjaan yang secara hakikatnya dilakukan oleh Allah kepada ayat.
2. Al isytirak.
Di dalam Bahasa Arab ada lafaz yang bermakna satu makna saja secara haqiqah. Jikalau ada makna lain, berarti adalah dimaksudkan untuk makna kedua atau majaz. Namun ada juga kalimat yang bermakna lebih dari satu makna, secara haqiqah. Contoh: orang Arab menggunakan kalimat lain secara haqiqah untuk pelbagai makna, seperti: matahari, mata manusia, mata air, emas, mata-mata, dll.. Semuanya merupakan makna asal yang dipahami langsung ketika diucapkan, tidak butuh untuk pemahaman lain dan mencari indikasi pendukung. Kalimat yang memiliki banyak makna secara asal ini di dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah "isytirak". Jikalau tidak memahami ini, maka kita akan bisa salah kaprah dalam menafsirkan al Qur`an. Jadinya, tidak nyambung!
3. Al naqlu.
Makna haqiqah yang dipakai awalnya adalah secara bahasa saja (haqiqah lughawiyyah), namun ada yang dipindahkan pemakaiannya menjadi haqiqah dari segi syar`i (haqiqah syar`iyyah) atau `uruf (haqiqah `urfiyyah), yang menjadi pijakan oleh orang untuk memahami hukum. Seperti kalimat shalat secara haqiqah lughawiyyah dipahami dengan makna do`a. Namun kemudian digunakan oleh syariat untuk makna haqiqah syar`iyyah yang bermakna "perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir yang diakhiri dengan salam". Beghitu juga dengan kalimat zakat yang digunakan secara haqiqah lughawiyyah untuk segala sesuatu yang bertambah, kemudian digunakan oleh syariat secara haqiqah syar`iyyah dengan maksud "harta tertentu yang wajib yang dikeluarkan sebagiannya karena adanya pertambahan nilai pada harta tersebut". Sehingganya akan berpengaruh kepada hukum, ketika ada kalimat seperti shalat dan zakat, apakah yang dimaksudkan adalah kalimat biasa ataukah kalimat yang berpengaruh kepada hukum?
4. Idhmar
Di dalam bahasa Arab kita kerap mengenal istilah dhamir yang berarti menyembunyikan pelaku atau objek di dalam mengungkapkan sebuah kalimat. Idhmar yang dimaksud disini adalah lafaz yang disembunyikan karena sudah dipahami dari susunan kalimat dan akal si pembaca teks. Salah satu kelebihan Bahasa Arab adalah balaghahnya yang tinggi. Menurut ulama balaghah, al balaghatu al ijaz, wujud balaghah itu adalah pemaparan dengan singkat, padat dan jelas. Dengan 6236 ayat (menurut sebagian ulama yang lain 6666 ayat), isi al Qur`an sudah mencakup penjelasan segala sesuatu sampai kiamat kelak. Di dalam al Qur`an, contohnya :
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيْرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya : “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.” (QS: Yusuf : 82)
Pada ayat diatas kalimat أهل (penduduk) tidak disebutkan. Karena sudah dipahami secara logika, bahwa manusia tidak akan mungkin bertanya kepada dinding-dinding yang ada di kampung yang tidak bisa melihat, mendengar, berfikir dan berbicara. Pengungkapan seperti ini juga sudah menjadi kebiasaan orang Arab dan dipakai di dalam bahasa arab. Masih banyak contoh-contoh lain di dalam al Qur`an dan hadits.
5. Takhshish
Maksudnya adalah pengkhususan terhadap bagian/objek tertentu dari makna yang disebutkan secara `am (umum). Artinya makna yang diinginkan sebenarnya adalah untuk kelompok tertentu saja, bukan untuk seluruh kelompok yang bisa masuk kedalam lafadz umum berdasarkan tekstual. Takhshish ini boleh jadi dengan menggunakan nash dari al Quran dan hadits, ijma`, qiyas, atau dari dalil-dalil logika lainnya. Seperti:
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS: An Nisa`: 4)
Pada ayat ini dipahami bahwa boleh menikahi seluruh wanita yang disenangi, kemudian kebolehan ini dikhususkan pada ayat yang sama dengan jumlah maksimal 4 orang. Dengan memahami takhshish ini, maka akan jelas maksud yang diinginkan sesungguhnya oleh Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sebuah ayat dan hadits yang berbentuk umum.
Ketika majaz, naqlu, takhshish, isytirak dan idhmar sudah bisa dipahami, selanjutnya perlu diselesaikan, apabila sebuah lafadz mengandung kemungkinan menempati posisi kelima hal tersebut. Apabila hal ini terjadi, mana yang akan didahulukan? Bagaimana cara menentukannya? Kenapa metode tersebut dilakukan? Apa dampaknya terhadap hukum? Jangan dulu tergesa-gesa memutuskan, karena kita dituntut untuk memahami al Qur`an sebagaimana aslinya, bukan membangun pemahaman baru! Jikalau membangun pemahaman baru sesuai dengan keinginan kita, itu artinya kita membuat agama baru, meskipun tidak diumumkan kepada orang lain.
6. Nasakh
Di dalam bahasa Arab dikenal istilah nasakh yang berarti membatalkan atau menghilangkan atau memindahkan. Di dalam istilah para ulama ushul dimaksudkan dengan menjelaskan hukum syar`i, secara syar`i yang datang setelah beberapa rentang waktu selanjutnya. Artinya ada ayat yang telah menjelaskan sebuah hukum yang kemudian dijelaskan ulang dengan cara yang syar`i bahwa ada hukum baru yang menggantikan hukum yang telah dihukumkan ini. Seperti: kiblat kaum muslim selama 16 bulan pertama islam datang adalah ke arah Baitil Maqdis (Masjid Al Aqsha) yang kemudian dipindahkan ke Masjdiil Haram (Ka`bah). Ketika tidak mengetahui nasikh (nash yang menghapuskan) dan mansukh (nash yang dihapuskan), maka seorang mujtahid akan terjebak dengan ayat yang sudah mansukh (dihapuskan)!
B. Mengkaji nash berdasarkan logika, untuk menyelaraskan antara naql dan akal.
B. Mengkaji nash berdasarkan logika, untuk menyelaraskan antara naql dan akal.
Antara akal dan naql (al Qur`an dan sunnah) saling membutuhkan. Karena berdalil dengan naql mesti dengan melakukan nazhar, tadabbur dan berfikir menggunakan akal. Dan dalil-dalil `aqly tidak akan diterima secara syar`i kecuali apabila berpijak kepada naql.
Mesti kita selesaikan pemahaman ayat Al Quran yang akan bertentangan dengan logika/akal sehat manusia. Karena ayat al Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah terbukti kesahihannya tidak akan mungkin bertentangan dengan akal sehat manusia. Jikalau ini terjadi, maka orang Arab Qurays pasti akan menmpermasalahkan. Namun realiata ini tidak terjadi, kecuali mereka yang menentang karena kesombongan dan tidak mau masuk Islam. Jikalau seorang pengkaji naql mendapati ada yang bertentangan, berarti ada kemungkinan naql tidak sahih atau akal yang tidak sehat! Bukan terjadi kontradiktif antara nash dan logika manusia normal. Kalaupun terjadi, itu hanya bersifat zahir dari tekstual yang akan bisa diselesaikan setelah memahami satu bagian dengan bagian yang lain kemudian dicari konklusinya. Kemungkinan yang lainnya adalah akal manusia belum sampai/tidak bisa menangkap makna yang diinginkan oleh ayat. Karena syariat Islam tidak pernah bertentangan dengan logika yang sehat!
Suatu hari seorang Arab badui ditanya, "kenapa anda beriman kepada Muhammad?"
Ia menjawab: "Aku tidak menemukan apabila Muhamamd dalam sebuah urusan berkata, "lakukanlah!" sedangan akal mengatakan "jangan lakukan!" dan apabila ia berkata dalam sebuah urusan, "jangan lakukan!", sedangkan akal mengatakan "lakukanlah!"
Dalam membuat metodologi memahami al Qur`an dan sunnah, ulama berbeda-beda pendapat dalam menetapkan manhaj/metodologi, makanya timbul pelbagai interpretasi yang berbeda. Dari perbedaan itu terbentuklah mazhab, selain di dukung oleh faktor yang lain. Oleh karena itu tidak benar apabila ada yang menuduhkan bahwa mazhab terbentuk karena faktor politik. Nanti kita kaji dalam masalah MADZHAB.
Ia menjawab: "Aku tidak menemukan apabila Muhamamd dalam sebuah urusan berkata, "lakukanlah!" sedangan akal mengatakan "jangan lakukan!" dan apabila ia berkata dalam sebuah urusan, "jangan lakukan!", sedangkan akal mengatakan "lakukanlah!"
Dalam membuat metodologi memahami al Qur`an dan sunnah, ulama berbeda-beda pendapat dalam menetapkan manhaj/metodologi, makanya timbul pelbagai interpretasi yang berbeda. Dari perbedaan itu terbentuklah mazhab, selain di dukung oleh faktor yang lain. Oleh karena itu tidak benar apabila ada yang menuduhkan bahwa mazhab terbentuk karena faktor politik. Nanti kita kaji dalam masalah MADZHAB.
Untuk memahami masalah kajian riwayat, ketatabahasaan dan penyelarasan antara naql dan logika ini dengan benar, maka harus memahaminya dengan ilmu ushul fiqh, yang terbangun dari tiga komponen ilmu; Bahasa Arab, logika, dan furu` syariat. Kita bukan orang Arab yang memahami Bahasa Arab di saat al Qur`an diturunkan, tidak perlu terlalau PD untuk menafsirkan al Qur`an dan hadits jikalau ilmunya belum ada . Bayangkan! Imam Bukhari saja, yang kita ketahui bahwa beliau pakar dalam ilmu hadits, ketika beliau menerangkan/menjelaskan suatu hadits sering berkata,”menurut ashab kami”, maksudnya menurut Imam Syafi’i atau madzhab Syafi’i.
Jika masalah-masalah seperti diatas diselesaikan, maka seorang mujtahid baru bisa menafsirkan ayat al Quran dan hadits dari tekstual yang ada, dengan memperhatikan realita di lapangan. Agar tidak jauh panggang dari api. Sehingganya dalil yang dikemukakan memang ada korelasi dengan realita yang ada di lapangan! Jikalau ada yang menafsirkan al Quran dan sunnah tanpa memahami ilmu ushul fiqh, maka bisa dipastikan orang tersebut satu diantara sekian kemungkinan;
1. Berniat amar makruf nahy mungkar, tapi kurang ilmu dan atau tidak memiliki manhaj dakwah dengan mau`izhah al hasanah.
2. Menelan mentah-mentah kata syaikhnya. Sementara mereka mengaku tidak bertaqlid
3. Menjawab dengan sok tahu. Kenapa merasa perlu untuk mengomentari agama, sementara tidak ada ilmunya, untuk tujuan apa?
4. Berani berbohong atas nama Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adakah dosa yang lebih besar dari ini?
5. Karena ada rasa hasad dan iri dengan penafsiran orang lain. Kenapa harus iri kepada ulama yang merupakan pewaris para Nabi dan Rasul Saw.?!
6. Berniat buruk terhadap islam dan umat islam. Dengan tafsiran-tafsirannya berharap popularitas yang di sisi lain berpotensi memecah belah umat islam.
7. Inilah kenyataan yang kita hadapi saat ini, makanya terjadi fitnah dimana-mana dan umat islam semakin bingung. Andai semua orang mau belajar islam dengan benar, tahu diri dan beradab kepada ulama atau bertanya kepada ulama, insya Allah tidak akan muncul perpecahan di kalangan umat! Walaupun berbeda dalam metodologi/manhaj sehingga berbeda dalam mengeluarkan istimbath hukum, tidak menjadikan untuk saling menyalahkan apalagi sampai menyesatkan dengan orang yang berbeda pendapatnya.
Bukankah ketika sakit, semua orang sepakat untuk berobat kepada para dokter. Ketika ingin membangun, orang-orang sepakat untuk mendatangi para arsitek. Ketika memperbincang ekonomi, orang-orang sepakat mendatangi ekonom? Ketika ada permasalahan agama, kenapa semuanya ngotot untuk angkat bicara, tidak menyerahkannya kepada ulama???
Marilah kita simak bersama kisah berikut :
Kisah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah
(Seorang Ulama Salafy Guru Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Ulama kontemporer yang sangat populer mempunyai seorang guru yang sangat Alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahabi (Salafy), yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa’di, termasuk ulama Wahabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid Al-Haram bersama halaqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan tawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan airnya dengan derasnya.
Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Badwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik.” Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halaqah al-Imam al-Sayyid ‘Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu.
Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu, “Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi badwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid ‘Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tata krama layaknya seorang ulama.
Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?” Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.” Syaikh Ibnu Sa’di berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
Artinya : “Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50:9)
Allah SWT juga berfirman mengenai Ka’bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3:96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.” Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik.Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Sayyidina al-Imam ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
0 komentar:
Posting Komentar