BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 08 April 2011

18. Penjelasan Tuntas “Kullu Bid’atin Dhalalah”


Seperti yang telah kemukakan sebelumnya bahwa sebagian golongan mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Golongan ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual dan sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :

 كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah 
adalah sesat’.
Juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni  dhalalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bi’dah dhalalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam shalat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’,  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar, namun akhirnya batil atau awalnya shahih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau salafus shalih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau salafus shalih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menanggapinya. Penanggapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam bila tidak ada dalil dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam!
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishahihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shahih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya. Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya :‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya :‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka berhentilah mengerja kannya)’.
Juga dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Bukhari:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
Artinya : ‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
Artinya : ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah subhanahu wa ta’ala (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, contohnya yang mudah ialah:
Sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan shalat dengan satu sujud saja; Melakukan shalat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ, وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ.   (رواه البخاري)
Artinya : “…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
1.                   Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Kahfi: 79, bercerita mengenai kisah Nabi Musa alaihis salam dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut :
أَمَّاالسَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُمْ مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
Artinya :“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.

2.                   Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman  
تُدَمِّرُ كُلَّ شّيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا.........
Artinya : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu  atas perintah Tuhannya..”  Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
3.                   Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman  
........وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ..........
Artinya : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman ‘alahis salam.
4.                   Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَاسَعَى 
Artinya : “Bahwasanya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha- kannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai karena banyak sekali hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang lain seperti shalat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
5.                   Dalam surat Thaha ayat 15 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
..........لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
Artinya :  “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala  tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
6.                   Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
.......إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْالَكُمْ..........
Artinya : “Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
7.                   Dalam surat Al-Anbiya : 98 Allah berfirman :
إِنَّكُمْ وَمَاتَعْبُدُوْنً مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ .................
Artinya : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa ‘alahis salam dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menjadi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
8.                   Dalam surat Aali ‘Imran : 159  Allah berfirman :
..........وَشَاوِرْهُمْ فِى اْلأَمْرِ...............
Artinya : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
9.                   Dalam surat Al-An’am : 44 Allah berfirman :
..............فَتَحْنَاعَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ.............
Artinya : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
10.                   Dalam surat Al-Isra : 70 Allah berfirman :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ..............
Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman dalam ayat lain, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak,bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan shalat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan shoalat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoal- an harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan’.
Dalam shahih Bukhari dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rahimahullah. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi  ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dhalalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan meridhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masalh Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.

Qadha (penggantian) Shalat yang Ketinggalan
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/ membatalkan mengqadha/mengganti shalat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan shalat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu shalat lainnya, mereka harus menambah shalat-shalat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan shalat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha shalat berikut ini :
1). HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu shalat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II : 71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha shalat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan shalat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi orang yang ketinggalan shalat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk shalat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa shalat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan shalat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan shalat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.

2). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah shalat Dhuhur tidak sempat shalat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan shalat Ashar. Setelah shalat Ashar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha shalat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).

3). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah Rasulullah shalat sunnah muakkad setelah dhuhur yang tidak sempat dikerjakan diganti/diqadha oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu setelah shalat Ashar, maka shalat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti daripada shalat-shalat sunnah ini. Demikian juga shalat witir dan shalat malam yang tidak dapat dikerjakan pada waktunya karena tidak bangun pada malam harinya dan sudah istiqamah dikerjakan, maka boleh diganti pada waktu pagi/siang hari.
5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggangan kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dan Bilal adzan utk melaksanakan shalat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat sunnah sebelum shubuh kemudian shalat shubuh setelah selesai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-shalah)? Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) shalat sampai datang lagi waktu shalat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhari dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/menggampangkan shalat ialah bila meninggalkan shalat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha shalat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha shalat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha shalat !
6). Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhumeriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah, aku masih melakukan shalat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan shalat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu untuk (melaksanakan) shalat dan kami pun berwudhu untuk melakukannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (melakukan) shalat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat Maghrib. (HR.Bukhari dalam Bab ‘orang yg melakukan shalat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II : 68, dan pada bab ‘menggadha shalat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 shalat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/ menggadhanya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Shalat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan shalat itu berdosa dan ia tetap wajib menggadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha shalat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas shalat yang sengaja ditinggalkan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur).
Kesimpulan :
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha shalat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/menggantikan shalat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.

Shalat Sunnah Qabliyah (sebelum) Shalat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan shalat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnyabaik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnahnya shalat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat sunnah diantaranya :
 Hadits riwayat Bukhari dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshahihannya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhari -Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan shalat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini shalat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
 Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan shalat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhahir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
 Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukan hal yang demikian”. (Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah: Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shahih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shahih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shahih menurut persyaratan Imam Bukhari. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya’.
 Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah berkhutbah (khutbah jum’at)Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairah berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin shalat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilakukan diluar masjid, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (waktu itu) bertanya ; Apakah engkau sudah shalat sebelum (dirumahnya/dimana saja) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairah 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa shalat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan shalat sunnah tahiyyatul masjid“. (Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shahih’.
 Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum shalat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shahih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shahih’.Sedangkan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegangan dalam hal disyariatkannya shalat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shahih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits yang shahih diatas sebagai dalil disunnahkannya shalat qabliyyah jum’at. Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum shalat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 : “Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 : “Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah shalat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 : “Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur. Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi : “Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya shalat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amin

Keterangan singkat mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits :
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata : ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya diizinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummatku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan pengingkar jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, katanya  “Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika kamu meminta kepada Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam“Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu menuturkan : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.

Menyebut Nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan awalan kata Sayyidina/Maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau, baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah subhanahu wa ta’ala. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan  Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhari juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulullah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah mengajarkan kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Yaa Ayyuhal Rasul (Wahai Rasul) atau Yaa Ayyuhan Nabii (Wahai Nabi).
Firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Menyebut nama beliau tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran : 39, Allah subhanahu wa ta’ala menyebut Nabi Yahya ‘alaihis salam dengan predikat sayyid : “…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang shaleh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya : “Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (QS. Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25 : “Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman : “…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah, Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shahih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah : “Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangganya)”. (HR Bukhari dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw.  tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah subhanahu wa ta’ala akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad) sayyid didalam shalat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanahmenegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ;“Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengatakan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau sebagai hadits beliau, jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhumengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah radhiyallahu anhu mengatakan, bahwa Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :“Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali(pada hari kiamat)”.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shahih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu yang mengatakan sebagai berikut : “Pada suatu hari kulihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid.Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalamMusnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah radhiyallahu anha“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
Dalam shahih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman)atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada puterinya (Siti Fathimah radhiyallahu anha) : “Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhari dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shahih bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya,  “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Ketika Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu anhu diangkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya :“Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah subhanahu wa ta’ala, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beriman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepada kita semua. Amin
Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa shalawat itu akan disampaikan kepada beliau, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shahih, bahwa “Abu Hurairah radhiyallahu anhu dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu anhu selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal shalawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bershalawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca shalawat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyidapakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !

Penggunaan Tasbih bukanlah Bid’ah Sesat.
Sering yang kita dengar dari sebagian kaum muslimin yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu  sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluknya  untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau.” Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata: “Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
PerhatikanlahAnjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shafiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shafiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shafiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shafiyyah menyahut; ‘Ya Rasulullah, ajarilah aku’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shahih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu yang mengatakan: “Bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut : ‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi  ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ .Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Shafiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau tidakmelarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu ! Beliau malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum salaf yang shaleh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
 Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shafiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah;  ”‘bahwa Abu Shafiyyah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai shalat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
 Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah radhiyallahu anhu mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
 Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
 Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhudmengemukakan; ‘bahwa Abu Darda radhiyallahu anhu mempunyai sejumlah biji kurmayang disimpan dalam kantong. Usai shalat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
 Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
 Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain radhiyallahu anha mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.
 Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan;  “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at shalat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
 Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malahlebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitungjumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dhalalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka menggunakan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah subhanahu wa ta’ala melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dhalalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan ini kita bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan, merendahkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita. Semoga kita menjadi orang yang sukses, bahagia dunia dan akhirat. Amin......Itulah harapan setiap insan....... 

0 komentar: