Di antara perkara bid’ah yang dianggap buruk, oleh mereka yang sangat bergairah mendakwa memperjuangkan sunnah, tauhid dan pembaharuan (tajdid) yaitu keterlaluan mengkritik hadits-hadits dhoif sebagai batil dan dusta. Mereka menyebar luaskan melalui perkataan dan tulisan mereka di buku-buku baru dan internet. Mereka menganggap beramal dengan hadits dhoif sebagai keji dan fasik atau sekurang-kurangnya sebagai kejahilan dan melampaui batas syaria’t.
Padahal displin keilmuan tidaklah beranggapan seperti itu karena hadits dhoif mendapat tempat di sisi syariat dan ia berperanan di dalamnya. Hadits dhoif juga mempunyai peranan yang asas dalam agama Islam. Sebagian daripada kezaliman terhadap ilmu dan agama yaitu menganggap dan menghukumi hadits dhoif dengan hukuman dusta (yaitu disamakan dengan hadits maudhu’). Hadits dhoif adalah hadits yang mempunyai asal juga dari Rasulullah, tetapi tidak sempurna padanya syarat-syarat hadits shahih. Hal ini bermakna bahwa hadits dhoif terdapat di sisinya keshahihan pada suatu sudut, dan sebagian syarat-syarat makbul hadits, tetapi sifat-sifat tersebut tidak sempurna sebagaimana yang berlakunya pada hadits shahih . Para ulama’ hadits telah memasukkan hadits dhoif termasuk dalam bagian hadits yang makbul (yang diterima), teristimewa pada fadhoil a’mal atau perkara yang bukan hukum agama.
Hadits dhoif tidaklah dimasukkan sebagai hadits yang tertolak dari segenap sudut. Lantaran itu, sebagian ulama’ menganggap sunnat beramal dengan hadits-hadits dhoif pada tempat yang layak, karena hadits dhoif ini mempunyai asal, tetapi tidak sempurna padanya syarat-syarat hadits shahih.
1. Kitab-Kitab yang Memuat Hadits Shahih.
Kitab-kitab yang memuat hadits shahih amat banyak. Hadits shahih ini bukanlah semata-mata hadits yang dikumpulkan oleh Imam al-Bukhari atau Imam Muslim saja. Tidak dijumpai adanya Nas dalam agama Allah ataupun Isyarat yang menunjukkan pembatasan hadits shahih terhadap kitab-kitab ini saja. Membataskan penerimaan Hadits shahih terhadap kedua kitab ini saja merupakan satu bentuk kefanatikan dan keraguan terhadap ilmu tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam kitab Huda al-Abrar ‘ala Tol’ati al-Anwar dan kitab Idha’atul Halik yang ditulis oleh Imam Ibn a-Hajj al-‘Alawi, kitab al-Jami’ oleh Safiyuddin al-Hindi dan kitab al-Manhal al-Latif serta kitab-kitab lainnya menyebutkan : Kitab-kitab yang di dalamnya dinisbatkan sebagai hadits shahih menurut kesepakatan jumhur ahli hadits, yang mendapatkan kritikan para ulama’ adalah:
1. Shahih Al-Bukhari ( Al- Jaami’ Al- Shahih).
2. Sohih Muslim.
3. Al-Muntaqa oleh Ibn al-Jarud (melainkan hadis yang beliau telah Mursalkan).
4. Sohih Ibn Khuzaimah.
5. Sohih Ibn Abi ‘Awanah.
6. Sohih Ibn al-Sakan.
7. Sohih Ibn Hibban.
8. Mustadrak al-Hakim (setelah dibuat pengesahan melalui hafalan semua oleh al-Dzahabi dan al-Iraqi sekalipun pengesahan al-Dzahabi lebih mendasar dan lebih keras). Sebagian mereka turut memasukkan Musnad Ahmad, karena dhoif dalam Musnad Ahmad adalah Hasan.
9. Al- Muwata Imam Malik yang lebih berhak dimana semua mursal yang berada didalam al-Muwata telah diwasalkan oleh Imam-imam hadits dalam karangan-karangan mereka dari thuruq yang lain.
10. Kemudian (Al-Mustakhrajat) yaitu kitab-kitab yang mentakhrij hadits-hadits yang masyhur dikalangan para ulama’.
Semua kitab ini telah diakui di kalangan ulama’ hanya memuat hadits shahih baik dipandang dari sudut ilmiyah dan ilmu hadits. Selain dari kitab ini, disamping memuat hadits shahih, juga bercampur dengan hadits hasan dan dhoif.
ألا يقدم أحد على البخارى فى العزو وان كان الحديث فيه وفى مسلم ساقوا لفظ مسلم لمبالغته فى تحرى اللفظ النبوى
Menurut kaidah ahli hadits, artinya : Tidak boleh mendahulukan nama selain Bukhari (jika hadits terbabit dan diriwayatkan oleh Bukhari) dalam menisbahkan sesuatu hadits kepada perawinya. Dan pada Muslim (jika suatu hadits itu juga diriwayatkan oleh keduanya) mereka turut menyebutkan namanya (bersama-sama Bukhari) disebabkan ketelitian Muslim dalam menyaring lafadz yang benar-benar diucapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Oleh karena itu pandangan yang mengharuskan berpegang dengan hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim semata-mata dengan anggapan hanya kedua kitab ini saja yang memuat hadits yang shahih, merupakan pandangan yang tidak bersandarkan kepada ilmu dan tidak pula pada agama.
Ketika ada beberapa dalil hadits yang berbicara pada tema yang sama namun isinya saling berbeda, maka ada beberapa cara yang bisa diterapkan, antara lain :
Thariqatul Jam'i, yaitu menggabungkan keduanya sesuai dengan esensi masing-masing dalil.
Nasikh mansukh, yaitu melihat ke masa disampaikannya masing-masing dalil, di mana yang datang belakangan lebih kuat dari yang datang lebih dahulu.
Nasikh mansukh, yaitu melihat ke masa disampaikannya masing-masing dalil, di mana yang datang belakangan lebih kuat dari yang datang lebih dahulu.
Al-'aam wal khash, yaitu mendahulukan hadits yang lebih erat kaitannya dengan suatu masalah (lebih khusus) dari pada hadits yang bersifat umum.
Ar-riwayah, yaitu melihat riwayat untuk menilai derajat keshahihan masing-masing hadits itu. Namun penilaian derajat keshahihan suatu hadits bisa saja berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Khusus masalah yang keempat ini bisa kita perjelas dengan keterangan berikut ini: Hadits berbeda dengan Al-Quran yang sudah pasti shahih 100% dan diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak orang) dalam setiap level (thabaqat)-nya. Sedangkan hadits, sebagiannya mutawatir dan selebihnya tidak (hadits ahad). Tapi baik yang mutawatir maupun yang ahad, bisa saja sama-sama shahih. Karena keshahihan suatu hadits tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah periwayat, melainkan oleh kualitas periwayatnya itu sendiri. Bisa saja suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang saja pada satu thabaqat, tapi kualitasnya shahih. Tetapi penting juga untuk dipahami bahwa status keshahihan suatu hadits punya standar yang variatif. Seorang ahli hadits (muhaddits) bisa saja punya standar yang berbeda dengan ahli hadits lainnya. Misalnya, Al-Bukhari seringkali berbeda dalam penetapan keshahihan suatu hadits dengan Imam Muslim. Terkadang mereka sepakat menshahihkan suatu hadits, tapi seringkali mereka berbeda pendapat.
Ada banyak hadits yang dianggap shahih oleh Al-Bukhari tapi Imam Muslim mengatakannya tidak shahih. Sebaliknya, banyak juga yang dishahihkan oleh Imam Muslim tapi Al-Bukhari tidak menshahihkannya. Kalau kebetulan keduanya sepakat, dinamakan hadits muttafaqun 'alihi.
Di luar kedua imam ahli hadits itu, ternyata masih banyak lagi ahli hadits yang punya otoritas dan kapabilitas untuk menyatakan suatu hadits itu shahih.
Di luar kedua imam ahli hadits itu, ternyata masih banyak lagi ahli hadits yang punya otoritas dan kapabilitas untuk menyatakan suatu hadits itu shahih.
Hadits shahih selain yang dishahihkan oleh kedua imam itu termasuk bahan baku berkualitas tinggi yang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi bila kedua imam itu tidak mencantumkannya di dalam kedua kitab mereka. Seperti yang dilakukan oleh Al-Hakim, di mana beliau 'seolah' meneruskan apa yang telah dirintis oleh Al-Bukhari, lantaran beliau menggunakan metodologi kritik hadits yang digunakan Al-Bukhari dalam menshahihkan hadits yang oleh Al-Bukhari belum dilakukan. Kitab beliau bernama Al-Mustadrak, yaitu kitab hadits shahih sesuai syarat dari Bukhari. Selain Al-Bukhari, Muslim, Al-Hakim, masih banyak kitab hadits lain yang juga mengandung banyak hadits shahih. Yang paling masyhur adalah kutubus-sittah (enam kitab).
Tetapi sebenarnya jumlah kitab hadits tidak terbatas pada yang enam itu saja. Di luar yang enam itu, masih banyak sekali kitab-kitab hadits yang belum terlalu dikenal umat Islam. Masih tersimpan rapi di berbagai perpustakaan di pusat-pusat dunia Islam.
2. Pembahagian Hadits
Ahli hadis bersepakat bahwa ada tiga pembagian hadits yang paling penting yaitu :
1. Hadits shahih : berada pada kedudukan teratas.
2. Hadits hasan : Berada di kedudukan pertengahan.
3. Hadits dhoif : Berada di kedudukan paling bawah, karena cedera pada satu syarat saja dari syarat-syarat hadits hasan.
Adapun hadits maudhu’ (palsu), maka ia telah keluar daripada skop yang kita bincangkan, karena ia adalah satu kekejian, gugur daripada hak untuk berhukum dan hak zatnya, baik dari sudut matan atau sanad atau kedua-duanya, menurut ijma’/kesepakatan ulama hadits.
3. Pembagian Hadits Dhoif.
Hadis dhoif terbagi kepada dua bagian yaitu :
Pertama, kedhoifannya boleh ditampung (dikuatkan) oleh :
1. hadits dhoif masyhur ,
2. yang sama tetapi melalui jalan-jalan periwayatan yang lain.
3. atau apabila mengisnadkannya oleh sawahid yang makbul, terutama apabila dhoif perawinya hanya disebabkan:
(a) lemah hafalan, atau
(b) lemah disebabkan mursal, atau
(c) mastur (tertutup hal rawinya) ,
Maka naiklah martabatnya kepada martabat hadits hasan Lighairihi (yaitu bertaraf hasan disebabkan adanya riwayat yang lain). Oleh karena itu termasuk dalam serangkaian hadits maqbul (diterima) dan boleh dibuat hujjah sekalipun dalam soal hukum agama, sebagaimana yang telah dimantapkan di sisi para ulama’ dalam bidang ilmu ini. Tidak perlu diperdulikan kepada dakwaan mereka yang mendakwa sebagai ahli dalam ilmu ini, padahal mereka masih dalam taraf belajar, dan mereka tahu satu perkara tetapi perkara yang lain banyak yang tidak tahu. Mereka mengikuti kaidah orang-orang bodoh untuk mengelabui hakikat kebenaran, mendakwa diri dan mencari keuntungan dengan pendapat-pendapat pelik-pelik (syadz) mereka.
Kedua, kedhoifannya tidak bisa ditampung/dikuatkan, walaupun terdapat banyak jalan periwayatannya. Ia dinamakan sebagai al-wahiy (sangat lemah) hal ini berlaku sekiranya perawi itu ternyata seorang yang fasik atau dituduh berbohong.
Para ulama’ ilmu ini mengatakan, bahwa hadits yang seperti ini jika dikukuhkan dengan riwayat yang lain, dan mempunyai syawahid dan mutab’at, maka tarafnya naik, dari taraf (hadits munkar, al-waahiy atau hadits yang tidak ada asalnya) kepada martabat yang lebih tinggi. Pada ketika itu ia boleh diamalkan dalam soal fadhilah amal, tetapi tidak boleh pada soal:
1. Akidah
2. Hukum agama.
Sebagian ulama menambahkan:
Penafsiran al-Quran, karena mendahulukan hadits dalam menafsirkan daripada tafsiran berdasarkan fikiran semata-mata, tetapi pada pengecualian yang ketiga ini terdapat kritikan yang perlu pengkajian lagi.
Kare itu menerima hadits dhoif dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemarkan dan menakutkan, dalam soal adab, sejarah, ketatasusilaan, kisah tauladan, manaqib (biodata seseorang), sejarah peperangan, dan seumpamanya adalah diharuskan. Perkara ini telah disepakati (ijma’) oleh para ulama’ seperti yang dinukilkan oleh Imam al-Nawawi, Ibn Abdul Barr dan selain mereka. Malah Imam al-Nawawi menukilkan pandangan ulama’ bahwa dalam hal-hal tersebut disunatkan beramal dengan hadits dhoif.
والاستحباب من جملة أصول الدين وأحكام الشرع الشريف
Artinya : perkara yang sunnat termasuk dalam himpunan usuluddin dan hukum syara’, juga perlu diperhatikan. Tetapi kami berpendapat :
1. Penerimaan hadits dhoif dalam perkara-perkara terbabit, syaratnya jangan terlalu kuat kedhoifannya. Disini tidak termasuk hadits dhoif yang periwayatannya tunggal, yang salah seorang perawinya pendusta atau kesalahannya sangat keji.
2. Ia adalah merupakan perkara yang termasuk di bawah asas sesuatu kaidah syara’ yang kuliyyah (mencakupi seluruh soal-soal cabang perkara yang dihukum). Maka hadits-hadits yang tidak langsung berada di lingkungan asas tersebut bahkan merupakan suatu perkara baru, ini dianggap telah keluar dari keharusan ini.
3. Jangan pula hadits tersebut bertentangan dengan hadits yang shahih. Maka keluar pula hadits dhoif yang ditolak oleh hadits shahih dan tsabit. Ini merupakan pendapat Ibnu Hajar al- Asqalani dan as- Sakhawi (Qaulul Badi’ : 195)
4. Kapankah Hadits Dhoif Naik Derajad kepada Hadis Hasan?
Apabila diriwayatkan sesuatu hadits yang mana dari segenap sudutnya adalah Dhoif, tidaklah menjadi suatu keharusan hasil daripada kumpulan banyak hadits dhoif akan dianggap sebagai Hasan. Maka hadits dhoif di sisi para muhaqiqin terbagi dua:
A.Yang ditampung dengan hadis-hadis yang lain: hadits ini dapat dibuat hujjah pada masalah fadhail dan sepertinya. Hadis dhoif ini disebabkan beberapa sebab
1) Dhoif disebabkan lemahnya hafalan perawi yang meriwayatkannya padahal perawi tersebut bersifat amanah.
2) atau dhoifnya disebabkan mursal
3) atau bersifat tadlis
4) atau tidak dikenal perawinya (majhul).
atau yang sepertimana perkataan para ahli hadits:
: اسناده محتمل للتحسين , أو قريب من الحسن , أو فى اسناده لين , أو ضعف , ثم : اسناده ضعيف , ثم : فى اسناده مجهول , أو مستور , ثم : ليس فى اسناده متروك , أو من يترك , أو من أجمع على ضعفه.
Artinya : Isnadnya diihtimalkan bagi hadis hasan atau hampir dengan martabat hadits hasan atau pada isnadnya terdapat sifat liin atau sifat dhoif. Kemudian isnadnya lemah, kemudian pada isnadnya majhul atau mastur, kemudian tiada pada isnadnya itu seseorang yang bersifat matruk, atau mereka yang matruk ( ditinggalkan) atau mereka yang telah di ijma’ kan atas dhoif riwayatnya.
Maka dhoif yang begini akan ditampung kedhoifannya dengan hadis dhoif yang lain yang tidak rendah darajatnya (sama-sama dhoif) dan hilang kedhoifan nya dengan sebab terdapat thuruq (jalan riwayat ) yang lain yang bersamaan atau lebih tinggi daripada darajatnya.
B. Dhoif yang tidak tertampung dengan riwayat yang lain, dan tidak bisa dibuat hujjah dengannya secara mutlak. Tidak boleh pada bab fadhoil dan tidak juga boleh pada perkara yang selain fadhoil. Diantaranya hadits al waahiy dan hadis mungkar yaitu hadits yang kedhoifannya disebabkan fasik rawinya atau dusta. Itulah perkataan muhaditssin berkenaannya:
اسناده واه أو ضعيف جدّا , أو ساقط , أو هالك , أو مظلم
Hadis-hadis yang begini tidak berfungsi sekalipun mufakat padanya hadits-hadits dhoif yang lain, lebih-lebih lagi apabila hadis-hadis dhoif yang lain hanyalah bersamaan dengannya pada istilah-istilah pangkat tersebut, disebabkan kuat dhoifnya dan sama taraf kedudukan hadits yang menjadi penampung. Ya, bahkan boleh meningkat pangkat hadits dhoif tersebut daripada keadaan pangkat-pangkatnya kepada pangkat hadits mungkar disebabkan berhimpun turuqnya (banyak jalan riwayatnya), dan tidak harus (haram) meriwayatkannya melainkan hendaklah disertai penerangan berkenaan kedhoifannya yang mungkar.
2) Ijmak ulama menerima sesuatu hadits sekalipun ia tidak shahih.
Sesuatu hadits yang telah diterima oleh para ulama melalui jalan periwayatan adalah makbul sekalipun tidak mencukupi syarat-syarat shahih, kerana Umat tidak akan bersependapat di atas sesuatu yang sesat.
Berkata Ibn Abdil Barr dalam kitab al-Istizkar:
لما حكى عن الترمذى أن البخارى صحح حديث البحر (( هو الطهور ماؤه )) , وأهل الحديث لا يصححون مثل اسناده , لكن الحديث عندى صحيح , لأن العلماء تلقوه بالقبول
Artinya : Ketika dihikayatkan daripada Imam at-Tirmidzi bahwa Imam Bukhari telah menshahihkan hadits berkenaan laut هو الطهور ماؤه , padahal para ahli hadits tidak menshahihkan sanad yang sepertinya, tetapi hadis tersebut disisiku adalah shahih , kerana para ulama telah menerima hadits tersebut sebagai makbul.
Berkata Ibn Abdil Barr di dalam kitab at-Tamhid, Jabir radhiyallahu anhu telah meriwayatkan daripada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ( الدينار أربعة وعشرون قيراطا)) Beliau berkata: Pada berkenaan pendapat sebahagian ulama yang berkata
واجماع الناس على معناه غنى عن الاسناد فيه
Artinya : Ijma’ manusia atas maknanya itu terkaya daripada isnadnya.
Berkata al-Ustadz al-Isfiroyni:
تعرف صحة الحديث اذا اشتهر عند أئمة الحديث , بغير نكير منهم
Artinya : Dikenali keshahihan sesuatu hadits apabila masyhur ia di sisi para ulama hadits tanpa terdapat ingkar padanya.
Berkata sebagian ulama:
يحكم للحديث بالصحة اذا يلقاه الناس بالقبول , وان لم يكن اسناده صحيح
Artinya : Dihukumkan sesuatu hadits itu dengan hadits shahih apabila banyak para ulama menerimanya sekalipun isnadnya tidak shahih.
5) Beramal dengan Hadits Dhoif Sekalipun pada Hukum-Agama
Para ulama telah berdalil dengan hadits dhoif, yang dhoifnya tidaklah terlampau dhoif, sehingga pada masalah hukum agama yang mana hadits yang dhoif tersebut diambil i’tibar. Apalagi pada bab yang bukan hukum agama. Misalnya hadits yang berkenaan dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat dimana hadits yang berkenaan dengan perkara tersebut adalah hadits dhoif. Walaupun demikian hadits dhoif tersebut digunakan karena tidak ada satu haditspun dalam masalah ini yang shahih. Ada yang paling shahih yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Wail radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan kedua tangan tersebut di atas dada. Pada hal ia bukan pula dalil untuk amalan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri. Sawkani dan selain beliau juga telah menyebut tentang hadits ini.
Contoh pada masalah yang seperti ini cukup banyak, misalnya di dalam (1.) Kitab Muntaqa al-Akhbar – karangan al-Mujid Ibnu Taimiyah, dan syarahanNya ( 2.) Nailul Awthar – karangan as-Syaukani, (3.) Takhrij Al-Hadits al Hidayah – karangan al-Hafiz Zailaie, (4.) Talkhis al-Habir – karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, (5.) Bulughu al-Maram, dan SyarahanNya (6.) Subul al-Salam- karangan as-Son’ani. Di dalam (7.) Muwatha’ Imam Malik terdapat hadits-hadits bertaraf mursal dan hadits-hadits yang di mulai dengan lafaz “Balagha”. Begitu juga di dalam kitab-kitab Sunan terdapat bab-bab hukum yang berhujahkan hadits-hadits dhoif, dalam jumlah yang tidak sedikit.
Berkata al-Hafidz Abu Fadhal Abdullah bin Siddiq al-Ghumari rahimahullah : Perkataan para Ulama’ dalam ilmu ini:
الحديث الضعيف لا يعمل به فى الأحكام ليس على اطلاقه , كما يفهمه غالب الناس أو كلهم ؛ لأنك اذا نظرت فى أحاديث الأحكام التى أخذ بها الأئمة المجتمعين ومنفردين وجدت فيها من الضعيف ما لعله يبلغ نصفها أو يزيد , وجدت فيها المنكر والساقط , القريب من الموضوع
Artinya : Hadits dhoif tidak dapat diamalkan pada hukum agama, tidaklah menurut lafaz ithlaqnya (makna yang menyeluruh) sebagaimana kepahaman kebanyakan manusia atau seluruh mereka. Karena jika kamu memperhatikan pada hadits hukum yang telah digunakan oleh Imam-imam, baik secara kesepakatan ataupun sendirian, yang berdalil dengan hadits dhoif, niscaya engkau akan dapati terdapat hadits-hadits yang dhoif yang mencapai separuh daripada dalil-dalil hukum agama atau melebihi separuh. Kadang-kala engkau akan menjumpai hadits mungkar, hadis saqith dan hadits-hadits yang mendekati kepada taraf maudhu’.))
Perkara ini telah diisyaratkan oleh saudara kandung kami al-Allamah al-Hafiz as Saiyid Ahmad di dalam kitab al Masnuni wal Battal, maka hendaklah lihat di sana. Bahkan mereka yang telah mencontohkan kaedah tersebut adalah Imam Malik dan Imam Abu Hanifah di mana mereka telah berhujah dengan hadits-hadits mursal. Sebagian daripada ushul Imam Ahmad dan muridnya Abu Daud adalah berhujah dengan hadits-hadits dhoif. Beliau telah mendahulukan hadits dhoif daripada pendapat dan qiyas. Imam Abu Hanifah seperti yang telah dinaqalkan oleh Ibnu Hazm juga telah beramal seperti mereka dan yang seangkatan dengannya. Terdapat di dalam perpustakaan kami satu naskah kitab tulisan tangan berjudul al-Mi’yar, di dalamnya disebutkan hadits dhoif pada tiap-tiap bab, yang telah diambil dari ijtihad para Ulama’ Mahzab Empat, sebagai dalil mereka baik secara ijma’/kesepakatan atau sendiri dan menggunakan hadits-hadits dhoif pada suatu hukum agama.
Apabila telah mantap bagimu pada kaedah ini, maka janganlah engkau berpaling disebabkan was-was yang telah dilemparkan oleh sekumpulan orang bahwa hadits-hadits dhoif tidak boleh dijadikan hujah dengannya sama sekali, karena engkau telah mengetahui kaedah tersebut adalah sebagian amalan para Imam Umat ini. Tetapi sangat mengherankan, thoifah (kumpulan orang) ini telah menggunakan hadits-hadits dhoif apabila sesuai dengan kehendak mereka dan mengutamakan hadits dhoif daripada yang hadits shahih. Perkara seperti ini bisa diketahui dengan memperhatikan cara mereka menggunakan dalil-dalil untuk menegakkan bid’ah dan bantahan-bantahan mereka. Ini adalah merupakan permainan-permainan yang patut mendapat murka Tuhan. Naudzubillah….
6) Ijma’ Para Ulama’ beramal dengan Hadits yang Dhoif.
Tidak akan dianggap cedera ijma’ ulama disebabkan terdapat pertentangan dan pendapat yang pelik (syadz). Tidak terdapat seorang pun dikalangan para ulama’ yang menentang ijma’ pada keharusan beramal dengan hadits-hadits yang dhoif pada masalah Fadhail Amal kecuali Al-Qadi Abu Bakar bin Al-Arabi. Yang demikian itu telah menyebut oleh guru kami didalam risalahnya, perkataan yang berbunyi,:
له وجوه يرد عليه منها , ويحمل كلامه عليها … ويكفى انه انفرد بهذا القول لئلا يحتج به
Artinya : Beliau (Qadhi al-Arabi) mempunyai pendapat-pendapat yang ditentang dan (diihtimalkan) ditujukan maksud beliau kepada…. Memadailah bahwa bersendirian beliau dengan perkataan itu dan tidak boleh dipegang sebagai hujjah.))
Adapun perbuatan sebagian penulis kini yang suka mengubah-ubah fakta, berusaha menisbatkan pendapat tersebut (yaitu tidak boleh sekali-kali beramal dengan hadits dhoif sekalipun pada Fadhoil Amal) kepada Imam al-Bukhari dan Imam Muslim sebenarnya adalah merupakan perkara yang sangat ajib (menghairankan). Kenapa begitu? jawabnya karena Imam Al-Bukhari telah menulis di dalam kitabnya Al-Adabul Mufrod dan di dalam kitab Tarikh yang mana beliau tidak mensyaratkan periwayatan-periwayatan hadits dengan meninggalkan hadits-hadits yang dhoif. Maka di dalam kedua kitab tersebut, beliau telah menisbahkan riwayat-riwayat tersebut kepada diri beliau sendiri, tidak lain tujuannya supaya manusia bersungguh-sungguh beramal dengan hadits-hadits tersebut walaupun terdapat hadits yang dhoif. Kemudian Imam al-Bukhari rahimahullah telah menyebut hadits yang tidak menurut syarat-syarat beliau dalam kitab Jami’ nya, yaitu kitab Jami’ Shahih dan sebagian dari hadits tersebut di dalam Jami’ Shahih, karangan beliau terdapat hadits-hadits yang dhoif. Ini terdapat di dalam ta’lik atau tarjamah beliau. Berlakunya perkara yang demikian menunjukkan, bahwa beliau sebenarnya beramal juga dengan hadits-hadits yang dhoif. Adapun sebab beliau tidak menyebut di dalam Asal Kitab Shahihnya, karena bertentangan dengan syarat syarat beliau, yang mana beliau hanya akan meriwayatkan hadits-hadits didalam Kitab Jami’ nya itu tidak lain melainkan hadits-hadits yang shahih saja.
Adapun mengenai Imam Muslim, sesungguhnya Imam Nawawi yang telah mensyarahkan kitab beliau, telah menghikayatkan Ijma’ atas keharusan beramal dengan hadits yang dhoif pada Fadhailul amal. Padahal Imam Nawawi lebih mengetahui, berkenaan dengan Imam Muslim, dan berkenaan dengan Kitab Shahih Imam Muslim, dan ini sangat berbeda jauh apabila dibandingkan dengan mereka yang membantah.
Adapun perkataan, sekumpulan daripada golongan orang yang menisbatkan diri mereka, sebagai golongan Salafus Shalih pada zaman kita ini, maka tidaklah akan cedera pula Ijma’ lantaran karena kurang pahamnya mereka itu dan lantaran disebabkan mereka membantahinya pada perkara yang telah diamalkan oleh para Imam Ahli Hadits atau periwayat hadits itu sendiri (yaitu beramal dengan hadits dhoif). Selain daripada itu, sebenarnya kebanyakan mereka yang mendakwa sebagai pengikut Salafus Shalih itu, bukanlah Ahli di medan Ilmu Ini .
7) Meriwayatkan Hadits Dhoif.
Adalah wajib menerangkan keadaan sesuatu hadits itu adalah dhoif ketika meriwayatkannya atau wajib disebutkan dengan salah satu dari lafadz yang menunjukkan dhoif seperti lafadz :
روى untuk memelihara perbedaan di antara hadits yang shahih, yang tsabit dengan hadits yang dhoif, yang tidak sempurna padanya syarat-syarat hadits shahih.
روى untuk memelihara perbedaan di antara hadits yang shahih, yang tsabit dengan hadits yang dhoif, yang tidak sempurna padanya syarat-syarat hadits shahih.
8) Pemuka-pemuka Hadits Jaman Dahulu.
Di dalam kebanyakan kitab-kitab para pemuka hadits yang terdahulu mereka menyebutkan setiap hadits dengan sanadnya tanpa menerangkan darajat hadits tersebut. Demikian itu karena bersandar kepada kaedah:
من أسند فقد أحالك , ومن لم يسند فقد تكفل لك
Artinya: Barangsiapa yang menyebut sanad maka sesungguhnya ia telah memalingkannya kepadamu, dan barangsiapa yang tidak menyebut sanad sesungguhnya memadai ia bagimu. Oleh karena lazimkanlah dengan selalu berniat.
9). Penerangan lebih jelas.
9). Penerangan lebih jelas.
Abu al-Syeikh Ibn Hibban dalam kitabnya al-Nawa’ib meriwayatkan secara Marfu’ hadits Jabir radhiyallahu anhu yang menyebutkan:
من بلغه عن اللّه عز وجل شيء فيه فضيلة , فأخذ به ايمانا به , ورجاء لثوابه , أعطاه اللّه ذلك , وان لم يكن كذلك
Artinya : “Barangsiapa yang sampai kepadanya sesuatu dari Allah yang memuat sesuatu fadhilah, lalu dia beramal dengannya karena percaya terhadapnya dan mengharapkan ganjaran/pahalanya maka Allah memberikan yang demikian itu, sekalipun sebenarnya bukan begitu”.
Pengarang Kanzul Ummal – ( 43132) – telah menisbahkan hadits ini kepada Abu Sheikh, Khatib, Ibnu an-Najjar, al-Dailami dari Jabir radhiyallahu anhu, dalam kitab al-Durar karangan Ibnu Abdi al-Barr, al-Mu’jam al-Awsath karangan al- Tabarani dari Anas dengan lafadz yang artinya : ”Barangsiapa yang telah sampai kepadanya sesuatu fadhilah dari Allah, maka ia tidak mengakuinya, tidaklah ia mendapatkannya (pahalanya)”, tapi terdapat kritikan pada riwayat yang ini, al-Ajluni telah menyebut dalam Kasf al-Khafa ( 2 : 327), telah di nukil dari Imam Suyuthi. Satu hadits lagi telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5: 425) Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat ( 1: 387/388), Ibnu Hibban telah menshahihkannya (92) – Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda ”Bila kamu mendengar sesuatu hadits dariku, yang hati kamu telah mengenalinya, lembutlah bulu dan kulit kamu, kamu nampak hadits tersebut dekat (kamu memahaminya), maka aku lebih utama dengannya dari kamu. Apabila kamu mendengar pula suatu hadits dariku yang hati kamu ingkar, liar darinya oleh bulu dan kulit kamu dan kamu nampak hadits tersebut jauh (sulit untuk difahami), maka aku lebih jauh dari kamu terhadapnya (lantaran ia bukan berasal dariku).
Hadits ini merupakan puncak asas yang sangat besar dalam membicarakan hukum-hukum berkaitan hadits dhoif, karena tidak mungkin sabdaan ini terbit daripada fikiran semata-mata tanpa masmu’ (didengari dari Nabi shallallahu alaihi wasallam), bahkan ia sebenarnya merupakan dalil bahwa bagi hadits-hadits dhoif mempunyai asal dan tanda pengesahan makbul (diterima).
Sesungguhnya para ulama menukilkan dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa dalam soal hukum agama, beliau berpegang dengan hadits yang dhoif (jika ditampung kedhoifan tersebut dengan kemasyhuran hadits terbabit). Beliau juga mengutamakan hadits dhoif dari pandangan akal. Beliau mengambil hadits-hadits dhoif pada perkara-perkara halus (seperti akhlak) dan fadhail. Seperti itu juga Ibnul Mubarak, al-Anbari, Sufiyan al-Thauri dan di kalangan pemuka-pemuka umat.
Begitu juga para ulama’ Hanafi mendahulukan hadits dhoif terhadap pandangan akal, sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Zarkasyi, Ibn Hazm dan selainnya. Maksudnya, bahwa sesungguhnya bagi hadits-hadits dhoif adalah zat-zat hadits yang terdapat i’tibar, dan kegiatan Ilmiyyah Syaria’t, karena tidak mencukupi sebagian syarat-syarat hadits shahih padanya. Maka meletakkan title makzub (hadis dusta/ maudhu’) pada hadis dhoif adalah kesalahan yang besar di sudut Ilmiyah dan Syariah.
Madzhab Abu Daud sama seperti madzhab Hanafi dan Hambali, yang mana mereka mengutamakan hadits dhoif dibandingkan penggunaan akal, jika tidak ada sumber lain yang boleh dijadikan dalil dalam sesuatu bab yang dibincangkan.
Tidak ada yang menyanggahi Ijma’ bahwa hadits dhoif boleh diamalkan melainkan Abu Bakar Ibn al-‘Arabi seperti yang dinukilkan oleh Ibn al-Shalah. Pertentangan oleh Ibn al-‘Arabi ini mempunyai beberapa alasan yang telah dijawab oleh para ulama, atau penolakannya terhadap hadits dhoif itu hanya terbatas kepada alasan-alasan yang diberikan saja. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada pertentangan antara beliau dengan ijma’ ulama dalam hal keharusan beramal dengan hadits dhoif jika betul pada tempatnya.
10). Hadits-hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), Dhoif dan Mudha’af.
Di sana terdapat satu lagi bagian hadits yang dinamakan hadits muda’af, yaitu hadits yang mana para perawi dalam isnadnya dianggap dhoif (lemah) oleh satu kumpulan ulama sementara kumpulan lain pula mengatakan mereka adalah perawi yang thiqah (dipercaya). Kedudukan hadits ini berada di tengah-tengah antara hadits shahih dan dhoif. Dengan kata lain, martabatnya kurang daripada hadits shahih tetapi melebihi taraf hadits dhoif. Ia adalah saudara kepada hadits hasan ataupun dari jenis yang lebih tinggi daripada hadis hasan. Oleh karena itu para ulama mengharuskan hadits ini dimasukkan dalam kitab-kitab shahih. Namun hadits ini biasanya dimasukkan dalam kitab-kitab shahih, dan biasanya berperanan sebagai syawahid dan mutaba’ah atau hanya sekadar disebut ketinggian sanadnya (sanad yang a’liyy) saja.
Imam Bukhari telah menyebut secara bersendirian (tanpa Muslim) sebanyak lebih empat ratus delapan puluh nama perawi, dimana yang delapan puluh daripadanya dikritik oleh ahli hadis sebagai bertaraf lemah periwayatannya. Adapun rangkaian sanad Muslim ada enam ratus dua puluh orang perawi, yang mana seratus enam puluh orang daripada mereka dikritik dan dikatakan bertaraf lemah. Namun mereka ini (yang dikatakan lemah periwayatannya) diperlakukan sebagai perawi yang thiqah (dipercaya) oleh banyak ahli hadits yang lain.
Maka bagaimana pula fikiran mereka yang mendakwa dalam ilmu ini yang mencoba mengulas berkenaan hal perawi-perawi tersebut??..
Ibn al-Shalah mengulas:
يقع بصحة ما أسنداه ( البخارى ومسلم ) أو أحدهما , سوى أحرف يسيرة تكلم عليها بعض أهل النقد , لا كلهم .
Artinya : Semua perawi yang disebutkan dalam sanad Imam Bukhari dan Muslim diputuskan sebagai shahih kecuali beberapa nama yang dipertikaikan oleh setengah ahli al-Naqd (pengkritik sanad) bukan kesemuanya. Kami pula mengulas: Beberapa nama yang dipertikaikan setengah pengkritik sanad, dan inilah yang termasuk dalam bagian hadits muda’af, yang mana ia harus dimasukkan ke dalam kitab-kitab hadits yang shahih, tanpa ada celaan seperti yang telah kami terangkan.
Kemudian seterusnya :
ان الحكم على الحديث بالصحة , أو الحسن , أو الضعيف , انما هو لظاهر الاسناد , لا لما هو فى نفس الأمر , فنفس الأمر هو اليقين المطلق الذى لا يعلمه الا اللّه وحده
Menentukan sesuatu hadits yang bertaraf shahih atau hasan atau dhoif adalah berdasarkan pengamatan dzahir terhadap nama-nama yang terdapat dalam sanad. Suatu hadits dikategorikan sebagai shahih, hasan dan dhoif bukan berdasarkan hakikatnya, karena hakikatnya yang sebenarnya hanyalah Allah yang mengetahui. Oleh karena itulah para ulama hadits menyebutkan:
كم من حديث صحيح هو فى نفس الأمر ضعيف , وكم من حديث ضعيف هو فى نفس الأمر صحيح , وانما علينا التحرى والاجتهاد
Artinya : Mungkin ada di antara hadits yang shahih pada hakikatnya ia adalah dhoif, dan berapa banyak hadits yang dhoif sedangkan pada hakikatnya ia adalah shahih. Yang menjadi kewajiban kita ialah membuat pemeriksaan dan berijtihad.
Mereka mengatakan lagi:
لأنه يجوز الخطأ والنسيان على العدل الصدوق , كما يجوز على غيره , فاليقين هنا اعتبارى محض.
Artinya : Ini karena ada kemungkinan perawi yang adil/yang benar melakukan kesilapan atau terlupa sebagaimana hal tersebut harus berlaku kepada orang lain. Oleh karena itu keyakinan terhadap mutu hadits di sini hanya dalam bentuk i’tibar (yaitu berdasarkan pengamatan yang dzahir.
ورواية (( العدل )) عن (( الضعيف )) تعديل له عند الأصوليين .
Artinya : Apabila seorang perawi yang bersifat adil meriwayatkan hadits yang diambilnya daripada perawi yang bertaraf dhoif, maka berarti dia menganggap perawi itu bertaraf adil, menurut ulama’ ushul.
Pengarang kitab al-Manhal menyebutkan:
” وقياسه أنه تصحيح له أيضا عندهم ” .
Artinya : Qiyasnya, berarti perawi yang bertaraf adil itu telah mentashihkan hadits dhoif tersebut, menganggap hadits tersebut sebagai shahih disisi mereka.
11). Ulama Sufi dan Hadits Dhoif.
Mudah-mudahan para saudara kita di kalangan penulis dan pembimbing selepas ini mengambil sikap wara’ (berhati-hati) daripada menghamburkan pandangan secara ithlaq (pukul rata) sehingga sampai menganggap palsu (maudhu’) terhadap hadis-hadis yang dhoif yang tidak sesuai dengan pendapat mereka. Seolah-olah hadits dhoif itu sebagai maudhu’, makdzub dan muftara موضوع , مكذوب , مفترى
tidak boleh diambil manfaat, tidak perlu dihormati dan tidak boleh dinukilkan dan tidak boleh langsung berjinak-jinak dengan lafadz dan pengertiannya.
Kemungkaran yang paling buruk, apabila menuduh yang bukan-bukan kepada orang-orang sufi hanya karena berpegang pada hadits dhoif, walaupun dalam hal yang disepakati oleh Para Ulama Hadits dan Para Ulama Ushul ditimur dan barat, bahwa hadits-hadits dhoif terbabit sunnat diamalkan, dan semata-mata karena mengetahui sebagian besar di kalangan Ulama-ulama hadits dan Imam-imam mereka adalah Ahli Sufi yang memimpin (pengikutnya dan umat) sebagaimana yang terdaftar dalam sanad-sanad dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka.
Ibn Abdul Barr berkata:
أحاديث الفضائل لا تحتاج فيها الى من يحتج به
Artinya : Hadits-hadits yang berkaitan dengan fadhilah-fadhilah, maka kami tidak memerlukan orang yang layak untuk dijadikan hujjah.
Ibn Mahdi menyebut dalam kitab al-Madkhal:
اذا روّينا عن النبى _ صلى اللّه عليه وسلم _ فى الحلال , والحرام , والأحكام , شددنا فى الأسانيد , وانتقدنا الرجال , واذا روّينا فى الفضائل , والثواب , والعقاب , تساهلنا فى الأسانيد , وتسامحنا فى الرجال
Artinya : Apabila kami meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang halal haram dan hukum agama, maka kami akan memperketatkan sanad-sanadnya dan kami akan membuat kritikan (pemeriksaan) terhadap rijalnya (nama-nama perawi yang terdapat dalam sanad). Tetapi apabila kami meriwayatkan hal-hal berkaitan fadhilah, ganjaran pahala dan siksa, maka kami mempermudahkan sanad-sanadnya, dan kami tidak memeriksa rijalnya.
Imam al-Ramli menyebutkan hadits-hadits yang terlalu dhoif (yaitu hadits yang dinamakan al-wahiy) apabila sebagian bergabung dengan sebagian yang lain, maka ia boleh dijadikan hujjah dalam bab ini (yaitu Bab Fadhilah, Perkara yang menambat hati, Nasihat, Ketatasusilaan, Sejarah dan seumpamanya). Berdasarkan inilah, maka al-Mundziri dan para pentahkik yang lain mengumpulkan hadits-hadits terbabit dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib (menggemar dan membimbangkan).
Pendekatan yang diambil oleh golongan terdahulu yang membuat pengkhususan dalam bidang hadits ini samalah dengan pendekatan yang diambil oleh setengah fuqaha’ dan ulama tasawuf. Dan dengan pendekatan inilah kami berpegang. Dalam Matan Hadits-hadits Dhoif, kita banyak menemui hikmah-hikmah, ilmu makrifah, perkara yang seni-seni/ halus, kesusasteraan yang menghimpun semuanya oleh hembusan wahyu kenabian adalah merupakan barang khazanah (Ilmu ) orang mukmin yang telah hilang.
Inilah pendekatan yang diambil oleh ulama terdahulu seperti al-Thauri, Ibn ‘Uyainah, Ibn Hanbal, Ibn al-Mubarak, Ibn Mahdi, Ibn Mu’in dan al-Nawawi. Ibn ‘Adiy meletakkan satu bab berkaitan hal ini (penerimaan hadis Dhoif) dalam kitabnya yang berjudul al-Kamil. Begitu juga yang dilakukan oleh al-Khatib dalam kitab al-Kifayah.
Pada masa kini, kita dapat melihat ada golongan yang menolak hadits-hadits al-Bukhari karena tidak sejajar dengan kefahaman yang dipeganginya, dan tidak bersesuaian dengan kecenderungannya atas nama menolong Sunnah. Malah ada orang yang menulis buku berkaitan hal ini, sedangkan dia bukan orang yang berkelayakan. Ada berpuluh-puluh musuh Islam yang membantunya untuk mencetak buku berkenaan dan menyebarkan secara percuma di banyak tempat walaupun menelan biaya yang besar yang didorong oleh kepentingan mendapatkan keuntungan material dan niat yang buruk.
Kalau tidak dengan rahmat Allah, dan langkah-langkah yang diambil oleh majalah Muslim (yaitu majalah yang diasaskan oleh penulis) dan setengah ulama hadits (untuk menangkis usaha tersebut), niscaya akan menyebabkan timbul keraguan terhadap semua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan riwayat oleh Imam-imam Hadits yang lain. Tentunya (jika tidak ada usaha yang diambil oleh Ulama dalam menangkis golongan tersebut), maka Sunnah Nabi yang telah tsabit secara ilmiah, akan menjadi fitnah (semoga Allah melindunginya) yang ditimbulkan oleh golongan yang mendakwa sebagai pengikut Salafiyah, yang seolah-olah mereka lebih mengetahui tentang ilmu Sunnah, dibandingkan dengan orang lain. Mereka suka menghukumi kufur, syirik dan fasiq kepada orang lain yang berbeda dengan dirinya, menuruti hawa nafsu mereka yang jelek.
Fahamilah keadaan Ini : Sesungguhnya Imam Al-Nasa’i telah mentakhrijkan (yaitu memakai dan beri’timad dalam riwayat sesuatu hadits) nama-nama perawi yang tidak diijma’ pada matruknya, yakni nama perawi sesuatu hadits yang hanya bersumberkan daripadanya. Jika dia tidak dikenal pasti sebagai seorang yang pembohong.
Apa yang berlaku kepada kami (yaitu hadits-hadits yang diamalkan oleh kami) yang diriwayatkan oleh Tokoh-tokoh besar Sufi dan Pendakwah ke jalan Allah, tidak terdapat di dalam sanadnya perawi yang pembohong atau pendusta. Cukuplah ini sebagai dalil keharusan beramal dengan hadits yang dhoif pada tempatnya. Inilah pendirian yang diambil oleh ulama-ulama Tasawuf dan yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Kami memohon keampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya. Dialah jua yang memberikan taufiq dan tempat untuk meminta pertolongan.
12). Sebagian daripada Tanda-tanda keNabian
Kepada mereka yang berpangkalkan Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam pada selemah-lemah sebab, dan mereka telah ditimpa demam panas ta’asub ketika mendengar perkara yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka berkenaan dengan Hadits Nabi, maka ada sabdaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang ditujukan kepada mereka:
لا ألفينّ أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمرى مما أمرت به , أو نهيت عنه فيقول : لا ندرى ما وجدنا فى كتاب اللّه اتبعناه )) رواه ابو داود والترمذى وصححه
Artinya : Sesungguhnya tidak akan di dapati sesorang dari kamu yang bertelekan (duduk) di kamarnya, yang datang padanya sesuatu perkara dari urusan yang berasal dari perintahku atau laranganku, melainkan akan akan menjawab : Kami tidak tahu dan tidak menjumpainya ada dalam Kitab Allah untuk kami ikutinya.))
Catatan : Waham dan Tadlis pada menerangkan pangkat hadits.
Telah menjadi kebiasaan dari sebagian mereka yang telah mewahamkan dan mentadliskan pada menerangkan darajat hadits dengan menggunakan perkataan:
(( ليس بصحيح)) يعنى (( حسن أو ضعيف))
Ertinya: Tidak shahih yaitu (maksud yang sebenarnya adalah) hasan atau dhoif, melainkan bahwa menisbatkan perkataan tersebut sebenarnya bertujuan untuk memberikan kesamaran kepada umat bahwa hadits tersebut adalah maudhu’. Padahal tidak terdapat di dalam kitab-kitab hadits istilah yang seperti itu, maka sesungguhnya kebanyakan mereka yang mengaku pengikut Salafus Shalih pada masa kita ini banyak menulis di dalam majalah-majalah mereka perkara waham dan tadlis.
Mesti diketahui oleh kita semua bahwa apabila di dapati di dalam kitab-kitab ahli hadits yang terdahulu (al-Mutakaddimin) istilah seperti :
لم يصح فى هذا الباب حديث
Artinya : Tidak sah pada bab ini suatu hadits pun, maka yang dimaksudkan adalah terdapat hadits hasan dan dhoif padanya. Mereka menggunakan peristilahan seperti itu karena mereka berbicara dihadapan:
1.Para Ulama’ atau
1.Para Ulama’ atau
2. Pada ketika kebanyakan yang hadir adalah membincangkan istilah-istilah di dalam ilmu ini.
13)Membatalkan Hadits-hadits dengan Menyangka Membersihkan dan Menolongnya.
Sebagian bala’ dari Allah Ta’ala yang ditimpakan pada segolongan orang, yaitu yang sengaja merubah kitab-kitab hadits dan membagi hanya kepada hadits shahih dan dhoif saja, bahkan mengumpulkan semua hadits-hadits shahih dalam satu kitab dengan hanya menuruti hawa nafsunya. Kemudian menggandengkan hadits dhoif bersama hadits maudhu’ dalam satu kitab pula. Maka bencana dahsyat apalagi yang akan ditimpakan? Adakah karena kemasyhuran dan banyak karangan yang menghasilkan banyak harta benda?. Atau di sana ada tujuan yang tersembunyi untuk mengetepikan atau menghilangkan hadits-hadits yang begitu banyak?. Lantaran menuruti keinginan syahwat orang-orang tertentu atau ingin menyebarkan mazhab mereka dan dengan mengikuti keinginan hawa nafsunya dengan menggunakan agama? Wallahu a’lam.
Fadhilah al-Sheikh al-Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim, Mantan Sheikh al-Masyaikh Thuruq al-Shufiyyah Mesir.
0 komentar:
Posting Komentar