Ada suatu hal yang agak musykil, dalam membahas masalah bid’ah, yaitu tentang arti hadits “SETIAP BID’AH SESAT, sebagaimana dalam hadits berikut :
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578)
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat beberapa pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah“bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).
Menurut istilah Ilmu Mantheq kalimat kullu, ada dua arti :
1. Kullu Kuliiyyah, yang artinya tiap-tiap atau semuanya, misalnya dalam Firman Allah :
1. كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya : Tiap-tiap orang (yang berjiwa) merasakan mati.
Semua orang meyakini secara pasti dan membenarkan bahwa bahwa tiap-tiap atau semua orang (semua yang berjiwa) pasti akan merasakan mati.
2. Kullu Kully, yang artinya sebagian
Sebagaimana contoh dalam Al Qur'an dan Al Hadits berikut :
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah menciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam ushul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syari’at.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.( Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488).
Ketiga, dalam hadits di atas dikatakan bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat). Kemudian timbul pertanyaan, kenapa ulma-ulama dalam madzhab Syafi’i membagi bid’ah menjadi lima macam, yaitu bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah (jaiz).
Apakah semuanya tidak bertentangan dengan hadits di atas? Jawabnya : Tidak, tidak bertentangan. Keterangannya begini : Hadits ini adalah “HADITS UMUM” yaitu setiap (sekalian) dan hadits ini sudah ditakhsiskan (dikecualikan). Banyak ayat Qur’an dan hadits Nabi yang sifatnya umum, tetapi sudah ditakhsiskan (dikecualikan). Misalnya :
1. Allah Berfirman :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِىْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الِّرزْقِ
Artinya : Katakanlah (wahai Nabi),”Siapakah yang berani mengharamkan hiasan Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hambaNya dan rezeki yang baik”. (QS Al A’raf : 32).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu tiap-tiap atau semua perhiasan (pakaian) dan seluruh makanan yang baik adalah halal bagi manusia. Tidak ada hak bagi sesiapapun untuk mengharamkannya. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi, yakni dikecualikan emas untuk pakaian laki-laki, sebagaimana hadits berikut :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِى يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ:يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَافِى يَدِهِ
Artinya : Bahwasanya Nabi melihat sebuah cincin mas pada jari seorang laki-laki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata :”Mengambil seorang darimu sepotong api dan ia letakkan ditangannya”. (HR Imam Muslim, dalam Syarah Muslim, XIV, hal 65).
Dengan demikian, QS Al A’raf ayat 32 sudah ditakhsiskan yaitu semua pakaian itu halal kecuali cincin mas bagi laki-laki.
2. Allah berfirman :
Artinya : Diharamkan atasmu (memakan) mayat. (QS Al Maidah : 3).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu setiap mayat tidak boleh dimakan. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi :
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَاالْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَابِهِ عَطِشْنَاأَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُمَاؤُهُ, الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya : Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah,maka ia berkata :”Wahai Rasulullah, kami memakai kendaraan laut dan kami membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu’, maka kami bisa kekurangan air minum. Apakah boleh kami memakai air laut untuk berwudhu’?” Nabi menjawab :”Air laut dapat digunakan untuk bersuci dan mayat dalam laut halal untuk dimakan.” (HR Imam Tirmidzi, dalam Shahih Trirmidzi, I, hal 88).
Maksud mayat di laut adalah mayat atau bangkai ikan. Jadi QS Al Maidah ayat 3 ditakhsiskan oleh hadits di atas menjadi : “Diharamkan atasmu memakan mayat, kecuali mayat/bangkai ikan”.
3. Allah berfirman :
3. Allah berfirman :
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ للِذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
Artinya : Allah member wasiat kepada kamu (tentang pembagian pusaka kepada anakmu), bahwa untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. (QS An Nisa : 11).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh anak laki-laki mendapat sama banyaknya dengan yang didapat oleh dua orang anak perempuan. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan/dikecualikan kepada anak-anak yang kafir, dimana anak yang kafir atau menjadi kafir tidak mendapat pusaka sama sekali dari harta bapaknya yang muslim, sesuai hadits Nabi :
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرُ وَلاَالْكَافِرُ الْمُسْلِمُ
Artinya : Tidak mempusakai orang muslim akan orang kafir dan tidak mempusakai orang kafir kepada orang muslim.” (HR Bukhari dan Muslim, dalam Shahih Bukhari, IV, hal 120).
Jadi ayat 11 dari Surat An Nisa’ sudah ditakhsiskan menjadi “Bagi anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, kecuali anak-anak yang kafir tidak mendapatkan waris sama sekali. Dalam istilah ushul fiqh disebut Kitab ditakhsiskan dengan Sunnah.
4. Allah berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَ قُرُوءٍ
Artinya : Wanita yang diceraikan suaminya ber-iddah tiga quru’ (tiga kali suci). (QS Al Baqarah : 228).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu wanita yang diceraikan suaminya ketika bersih atau ketika hamil. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan dengan ayat lain :
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : Dan wanita-wanita yang hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan anak” (QS. At Talaq : 3).
Ayat ditakhsiskan dengan ayat, sehingga artinya menjadi “Wanita yang diceraikan suaminya dan ber-iddah tiga kali quru’, kecuali wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan.”
5. Telah diriwayatkan dalam hadits :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ
Artinya : Sekalian yang diairi dengan air hujan maka zakatnya 10% (sepuluh persen). (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits ini memerintahkan agar tumbuh-tumbuhan yang diairi dari air hujan, maka hasilnya harus dikeluarkan zakatnya sebanyak 10 %. Hadits ini telah ditakhsiskan dengan hadits riwayat lain :
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Artinya : Kalau hasilnya kurang dari 5 (lima) ausuq tidak wajib zakat” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Muslim VII, hal 50).
Maka hadits yang telah ditakhsiskan menjadi “Setiap tumbuh-tumbuhan yang diairi dengan air hujan, zakatnya 10 %, kecuali kalau hasilnya kurang dari 5 ausuq maka zakatnya tidak ada sama sekali.” Dalam ilmu ushul fiqh disebut sunnah ditakhsis dengan sunnah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Kembali kepada hadits tentang bid’ah :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Maka artinya akan menjadi :
“Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat masuk neraka, kecuali bid’ah dalam urusan dunia yang sesuai dengan syariat Islam, kecuali bid’ah hasil ijtihad para Imam Mujtahid, kecuali bid’ah yang diadakan oleh Khulafaur Rasyidin, kecuali sunnah-sunnah yang baik yang selaras dengan syariah Islam yang diadakan oleh orang Islam, kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan sangat dibutuhkan oleh agama Islam.
Mudah-mudahan keterangan ini dapat dengan mudah dipahami, walaupun belum pernah mengkaji tentang ushul fiqh.
0 komentar:
Posting Komentar