BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 05 April 2011

15. Pembahasan Pembagian Bid’ah.


Jikalau anda menjadi seorang pekerja di sebuah lembaga/instansi, tentu ada aturan yang mesti dipenuhi. Seorang atasan apabila tidak melarang sebuah pekerjaan atau hanya membiarkan saja tanpa aturan dan tidak melarang kecuali bertentangan dengan peraturan umum yang ada, apakah berarti pekerjaan itu terlarang untuk dilakukan?
Di dalam syariat islam terutama yang bermadzhab Syafi’i asal pengambilan hukum yang disepakati oleh umat adalah; Al Quran, sunnah, ijma`, qiyas (selain Ibnu Hazm). Dan sumber hukum yang diperselisihkan sangat banyak sekali, diantaranya qaul atau fatwa sahabat, syariat umat sebelum kita, istishab, istihsan, dll. yang dijelaskan secara rinci didalam kitab-kitab Ushul Fiqh.
Hukum Allah kepada para mukalaf (muslim yang sudah diberi kewajiban melaksanakan syariat) juga demikian. Di dalam pelbagai kitab Ushul Fiqh dijelaskan bahwa :
Hukum Allah adalah: khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan seluruh perbuatan mukallaf, dengan bentuk tuntutan atau pilihan ( untuk mengerjakannya).
Maksudnya adalah: hukum itu merupakan seluruh kalam Allah yang ditujukan kepada manusia yang berhubungan dengan perbuatan mereka, yang bersifat :
1.       Tuntutan kepada mereka untuk mengerjakan perbuatan tersebut secara tegas (wajib) atau tidak (sunnah)
2.      Tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut secara tegas (haram) atau tidak (makruh), atau
3.      Diberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkannya (mubah).
Artinya, seluruh perbuatan manusia pasti termasuk ke dalam lingkup hukum Allah, apapun yang dilakukan manusia pasti ada hukum dan konsekuensinya secara syar`i. Makanya tidak boleh dikatakan; pemilu, berpolitik, golput, beraktifitas ekonomi, aktif budaya, bergelut di dunia sastra, menonton film, browsing di internet, mendownload, berolahraga, dll. bukan urusan agama! Bukankah semua itu adalah bentuk pekerjaan manusia? Jikalau semua itu bentuk pekerjaan manusia, maka akan masuk ke dalam lingkup hukum syar`i.
Sebagai penjabaran dari pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh tadi, dipahami bahwa hukum Allah itu ada 5 :
1.       Wajib/fardhu: Apa saja yang diberi pahala pelakunya dan diberi dosa orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: Jujur, mengerjakan sholat, puasa, zakat, dll.
2.      Haram: Apa saja yang diberi dosa pelakunya dan diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: melakukan riba, zina, meminum minuman memabukkan, mengkonsumsi narkotika, mengambil hak orang lain, dll
3.      Sunnah: Apa saja yang diberi pahala pelakunya dan tidak diberi dosa orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: melakukan shalat sunnat, dll
4.      Makruh: Apa saja yang diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa pelakunya. Contoh: shalat di jalanan yang ada keramaian. Karena akan meneybabkan shalat terganggu dan tidak khusyu`, dll
5.      Mubah: Apa saja yang tidak diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa pelakunya. Seperti makan makanan yang baik, berdagang, bergaul, dll.
Inilah hukum syar`i yang ada di dalam syariat islam. Tidak ada hukum selain ini. Makanya tidak boleh -jikalau ada seorang muslim mulai dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang- menyatakan sebuah hukum selain ini, kecuali ada dalil yang menjelaskan. Hal seperti ini merupakan ma`lum min al din bi al dharurah (perkara-perkara agama yang sudah diketahui secara umum oleh seluruh muslim), bukan hanya ulama saja.
Dewasa ini banyak orang yang mengatakan bahwa perbuatan ini bid`ah, ini haram, itu tidak boleh…dst. dengan dakwaan, karena perbuatan tersebut tidak dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat ridhwanullah alaihim! Bahkan tidak sedikit amalan yang dilarang secara frontal oleh mereka yang picik, dengan dalih ini.
Pertanyaan:
Nah, bagaimanakah jikalau pembiaran (al tarku) seperti kejadian diatas ? Maksudnya; apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan/membiarkan sebuah pekerjaan, atau dibiarkan oleh para salafush shalih, tanpa ada dalil atau atsar yang menunjukkan larangan, apakah berarti perbuatan tersebut haram atau makruh ? Sebelumnya sudah dijelaskan di awal, bahwa hukum Allah tidak keluar dari hukum yang lima. Dengan memahami hukum dan pembagian tersebut seorang pembaca yang cerdas, insya Allah dengan mudah bisa menjawab pertanyaan sederhana ini. Namun demikian, mari kita kaji lebih jauh dan berfikir kritis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sebuah pekerjaan, memiliki banyak kemungkinan selain yang haram :
1.                   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya karena faktor kebiasaan.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sebuah kaum, beliau dihidangkan biawak bakar, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuhnya untuk dimakan. Seorang sahabat kemudian berkata: Sesungguhnya itu adalah biawak. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan tangannya (dan tidak jadi makan). Sahabat tadi bertanya: apakah haram wahai Rasul? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: tidak, akan tetapi tidak aku temui binatang ini di kaumku, maka aku enggan untuk memakannya."
Dari hadits ini dipahami :
a.                  Di dalam hadits ini terdapat dalil terhadap qaidah ushuliyah bahwa " Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sesuatu, tidak berarti haram melakukan apa yang ditinggalkan". Mungkin ada yang mengira pertanyaan Khalid menunjukkan adanya pertentangan dengan qaidah, "meninggalkan sesuatu, berarti haram melakukan apa yang ditinggalkan" dan sebagian orang berdalil dengan kaidah ini untuk permasalahan-permasalahan seperti pembiaran (tark) itu.
Sebagai jawabannya adalah: ketika Khalid melihat keengganan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap biawak, setelah nampak beliau akan memakannya, terjadi sebuah syubhat (kesamaran) dalam pemahamannya tentang  hukum keharamannya. Oleh Karena itu beliau bertanya. Sedangkan jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada beliau, mendukung qaidah dan menguatkan keumumannya, bahwa: meninggalkan sesuatu walaupun setelah menghadapinya, tidak bermakna haram melakukannya
2.                 Sesuatu yang membuat rasa jijik juga tidak menujukkan bahwa ia haram. Karena Nabi merasa jijik dengan biawak dan meninggalkannya, akan tetapi tidak mengharamkannya.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya karena faktor lupa.
Suatu saat di dalam melaksanakan shalat, ada yang tertinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau ditanya oleh sahabat, apakah terjadi sesuatu di dalam shalat wahai Rasul? beliau menjawab: sesungguhnya saya adalah seorang manusia, saya lupa sebagaimana kalian juga lupa, maka apabila saya lupa, ingatkanlah saya. (HR. Bukhari-Muslim).
3.                 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meningalkannya karena rasa khawatir akan menjadi kewajiban bagi umatnya
Sebagaimana halnya shalat tarawih yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena khawatir akan menjadi kewajiban bagi umatnya. Betapa cintanya engkau kepada kami wahai kekasih Allah.
4.                 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya karena belum terlintas di fikiran beliau.
Mari kita lihat beberapa permasalahan berikut :
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berkhutbah, belum terfikir untuk membuat kursi dan mimbar yang bisa berdiri diatasnya saat menyampaikan khutbah. Suatu saat sahabat mengajukan usulan untuk membuat mimbar dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sepakat dan menyetujuinya, karena akan lebih jauh jangkauannya di dalam menyampaikan khutbah.
- Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menerima tamu, beliau menerimanya di masjid atau dirumahnya, tidak ada semacam singgasana atau kursi kebesaran seperti para raja. Kemudian sahabat mengusulkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana jikalau kami buatkan semacam kursi dari tanah yang bisa menjadi tempat dudukmu, agar diketahui oleh orang-orang asing yang baru datang di sini? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sepakat dan menyetujuinya.
- Di dalam sebuah shalat, saat i`tidal (kembali dari ruku`) seorang sahabat membaca do`a yang belum diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bunyinya "rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih". Ketika selesai shalat, beliau bertanya, siapa tadi yang membaca bacaaan ini ketika shalat? Sahabat terdiam dan khawatir. Tidak ada yang mengaku. Sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya tiga kali. Di kali ketiga sahabat Rifa`ah Bin Yahya mengaku, Saya wahai Rasulullah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, apa yang engkau baca tadi? Rifa`ah pun menyebutkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan; aku melihat 30 an malaikat yang berebutan untuk lebih dahulu mencatatnya! (HR. Bukhari dengan penggabungan dengan riwayat lain).
Dari beberapa contoh ini kita ketahui, bahwa sebelumnya perbuatan-perbuatan diatas belum terlintas di fikiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun apa balasan Allah terhadap seorang sahabat yang membaca do`a saat i`tidal tadi?! Subhanallah, bid`ah kah?
5.                 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya karena sudah masuk kedalam (include) keumuman ayat al Quran ataupun hadits.
Seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan shalat Dhuha dan banyaknya pekerjaan sunnah dan mubah lainnya, karena anjuran untuk melakukannya sudah terkandung di dalam firman Allah, seperti Qs: Al Hajj: 77:
"Dan perbuatlah segala kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan."
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya karena khawatir akan berubah perasaan sahabat atau sebagiannya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkehendak untuk membangun ulang Ka`bah, beliau berkata kepada Sayyidah Aisyah: "Kalaulah bukan kahawatir dengan keadaan kaummu yang baru saja masuk islam kembali kafir, maka pasti akan aku hancurkan ka`bah dan aku bangun seperti asas Nabi Ibrahim. Orang Qurays ada yang mengurangi dalam pembangunannya. (HR. Bukhari-Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membatalkan untuk menghancurkan Ka`bah dan membangun ulang, untuk menjaga perasaan sahabat radhiyallahu `anil jami`.
Jikalau dikaji hadits-hadits dan atsar dari sahabat secara komprehensif dan tidak tergesa-gesa menghukuminya, maka akan ditemukan banyak sebab, kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan sebuah perbuatan/perkataan?

Kesimpulannya adalah :
Tidak ada satu pun hadits atau atsar sahabat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sesuatu, berarti perbuatan yang  ditinggalkan itu adalah haram/terlarang! Dari sini para ahli ushul mengatakan bahwa al tarku laa yufidu tariman; pembiaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap sebuah perbuatan, tidak berarti haram perbuatan tersebut.
Bagaimana mungkin at-Tark (pembiaran) dapat menjadi dalil pengharaman (tahrim), sedang para sahabat Nabi tidak memahaminya seperti ini. Mereka justru menciptakan ibadah-ibadah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau membiarkan hal itu – tetapi ibadah-ibadah tersebut masih berada dalam lingkup universalitas syariat –. Mereka juga tidak pernah segera memberitahu beliau ketika baru menciptakan ibadah-ibadah itu, justru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui hal itu melalui wahyu. Lalu, beliau tanyakan mengenai hal itu dalam keadaan ridha sambil memberi kabar gembira "berupa syurga". Ini terjadi seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal :
"Wahai Bilal, katakan kepadaku tentang suatu amalan paling kamu harapkan (diterima Allah) yang kamu kerjakan dalam Islam! Sungguh aku telah mendengarkan suara kepakan sepasang sandalmu di hadapanku di Syurga." Dia berkata: "Aku tidak pernah mengerjakan suatu amalan yang lebih aku harap diterima Allah bagiku, selain ketika aku bersuci pada suatu saat di sebagian malam atau siang, lalu dengan kondisi suci tersebut aku semata-mata lakukan shalat yang aku wajibkan untuk diriku sendiri."

Ibnu Hazm, di dalam kitab al Muhalla, tatkala memaparkan hadits tentang dua rakaat setelah shalat Ashar, dia berkata: "Dan adapun hadits Ali radhiyallahu 'Anhu, pada dasarnya tidaklah mengandung suatu hujah. Karena, di dalamnya tiada apapun, selain pemberitahuan atas apa yang dia ketahui bahwa dia tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dua rakaat itu. Tidak ada larangan, tidak ada pula pernyataan hukum "makruh" jika dikerjakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan, namun ini tidak menjadikan puasa tathawwu' (sunnat) selama sebulan penuh dihukumi makruh.
Inilah sebuah ketetapan dari Ibnu Hazm rahimahullah, bahwa tark (pembiaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau segala perkara yang dibiarkan beliau pada dasarnya tidak berarti larangan, bukan pula perkara makruh!
Ibnu Hazm juga menjelaskan: mereka (sebagain fuqaha) menyebutkan: dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata: aku tidak melihat seorangpun melakukannya. Kemudian beliau membantah orang yang berdalil dengan ucapan ini dan berkata: Ini juga tidak menujukkan larangan, kalau sahih pasti akan dilarang untuk melakukannya. Sesungguhnya kami juga tidak mengingkari meninggalkan perbuatan sunnah, selama tidak dilarang untuk melakukannya!
Makanya sangat mengherankan sekali jikalau ada sekelompok umat yang mendakwa diri sebagai pengikut salaf shalih, tapi justru berlaku kriminal terhadap mereka! Mereka mengingkari kaidah yang sudah disebutkan diatas dan mereka tidak segan-segan menjadikan generasi terbaik umat sebagai hujah untuk menuduh orang lain berlaku bid`ah. Semoga Allah memberi mereka hidayah dan mengampuni kesalahan kita dan mereka. Amin
Jikalau masih bingung dengan pemikiran mereka, mari kita kaji dalil-dalil berikut :
a.                 Ulama ushul mengatakan, al nahyu (larangan) adalah: qaul yang menuntut untuk meninggalkan, yang ditunjukkan oleh lafaz selain lafaz "kuff ( tinggalkanlah)".
Maksudnya adalah: seluruh qaul yang bermakna untuk menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan yang dilarang dengan lafaz-lafaz selain lafaz kuff atau semisalnya, seperti; da`, utruk, dzar, karena lafaz-lafaz tersebut berfungsi untuk amar (perintah). Sedangkan larangan mesti ada lafaz yang menunjukkan bahwa perbuatan itu dilarang, seperti :
1.                  Menggunakan lafaz La nahiyah, contoh: laa taf`al (jangan lakukan).
Contoh: QS: Al Baqarah: 188 : "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil...”
2.                  Dengan menyebutkan bahwa perbuatan itu haram.
Contoh: QS: Al Maidah : 3,"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,...”
3.                  Atau juga dengan mencela sebuah perbuatan. Contoh: Di dalam hadits sahih disebutkan: "Barangsiapa yang menipu kami bukanlah dari golongan kami" (HR: Muslim)
Al tark (pembiaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan bagian dari ketiga lafaz ini.
b.                  Perhatikanlah QS: Al hasyr: 7, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;..."
Allah tidak menyebutkan dan apa-apa yang dibiarkannya, tapi apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah! Dari sini kita ketahui bahwa tark (pembiaran) Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak berarti haram!
c.                 Renungkan hadits sahih, berikut : Apa-apa yang aku suruh kalian untuk melakukannya, maka kerjakanlah perbuatan itu semampu kalian dan apa-apa yang aku larang untuk melakukannya, maka jauhilah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan dan apa-apa yang aku tinggalkan, maka jauhilah! Bagaimana mungkin tark (pembiaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berarti haram?
d.                Para ahli ushul juga mengartikan bahwa sunnah adalah: ucapan, perbuatan dan persetujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada yang mendefinisikannya dengan tambahan "dan apa-apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!
e.                 Seperti sudah disebutkan, bahwa dalil yang melarang itu bersumber dari; al Quran, sunnah, ijma` atau qiyas, sedangkan tark (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah satu diantara sekian hal tersebut.
f.                   Sudah dijelaskan juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sebuah perbuatan memiliki banyak kemungkinan maksud selain larangan/pengharaman, seperti karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak terbiasa, khawatir diwajibkan kepada umat, belum terlintas di fikiran beliau, dll.
g. Secara kaidah ushul bahwa al tark adalah al al ashlu (belum bermakna apa-apa) karena al tark adalah bermakna `tidak ada pekerjaan`. `Tidak ada`adalah hukum asal, sedangkan perbuatan datang setelah sebelumnya tidak ada`dan hukum asal tidak menunjukkan terhadap apapun, secara bahasa maupun secara syariat! Maka al tark (pembiaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa bermakna haram!

Nah, dari sekian dalil dan penjelasan sebelumnya kita mungkin masih bertanya, trus apa yang ditunjukkan oleh tark (pembiaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sudah dijelaskan bahwa tark (pembiaran) tidak menunjukkan haram atau masuk ke dalam kategori bid`ah, akan tetapi hanyalah menunjukkan bahwa apa yang dibiarkan boleh dilakukan selama tidak ada larangan untuk melakukannya.
Mungkin ada yang berfikir? Atau
Barangkali ada yang berpendapat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan itu, ada 2 kemungkinan:
1. Beliau belum menemukan sesuatu yang menyebabkan untuk meninggalkannya di masa beliau, kemudian datang hal-hal yang menyebabkan meninggalkannya.
Jawabannya adalah: Hal seperti ini (tark) tetap boleh, berdasarkan hukum asal, karena hukum asal tidak bisa berubah, kecuali ada dalil yang menuntutnya. Apakah ada dalil yang menunjukkan adanya larangan?
1.                   Beliau menemukan sesuatu yang menyebabkan untuk mengerjakannya di masanya, dan pembiaran ini bermakna larangan terhadap apa-apa yang ditinggalkan! Karena jikalau pada perbuatan (yang dibiarkan) itu ada maslahat secara syar`i, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti akan melakukannya. Selama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, berarti menunjukkan bahwa yang dibiarkan itu tidak boleh!
Jawabannya adalah: dugaan diatas ada percampuran pemahaman mereka dalam memahami kaidah ushuliyah. Sedangkan maksud dari kaidah ushuliyah adalah al sukuut fie maqam al bayan yufid al hashr. Diam ketika membutuhkan penjelasan itu menunjukkan terbatas (pada objek yang didiamkan). Maka tidak bisa semua yang didiamkan masuk kedalam pelarangan ini.
Betul sekali bahwa adzan pada saat shalat `Id adalah bid`ah yang tidak disyariatkan melakukannya, tetapi bukan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya. Ini bid`ah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjelaskannya di dalam hadits yang menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada saat shalat `Id. Pada penjelasan itu beliau tidak menyebutkan adanya amalan berupa adzan pada saat shalat `Id. Maka diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap adzan ini menunjukkan bahwa adzan ini tidaklah disyariatkan, seperti yang mereka duga.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Bazzar dari Abi Darda`, dijelaskan:
Apa-apa yang dihalalkan Allah di dalam kitabnya, maka itu adalah halal dan apa-apa yang diharamkan, maka itu adalah haram, sedangkan apa–apa yang didiamkan, maka itu adalah anugerah dari Allah, maka terimalah dari Allah anugerahnya itu, karena Allah tidaklah pernah lupa terhadap sesuatu apapun, kemudian beliau membaca " dan tidaklah Tuhanmu lupa" Qs: Maryam : 64
Di dalam hadits yang diriwayatkan Daruqutny dari Abi Tsa`labah al Khasysyany  dijelaskan:”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan hal-hal yang fardu, maka janganlah kalian meninggalkannya, Allah telah jelaskan batas-batasan (syariat), maka janganlah kalian melampauinya, Allah sudah mengharamkan hal-hal yang diharamkan, maka janganlah kalian melakukannya dan Allah mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa, maka tidak usahlah kalian mencari-carinya.”
Dari dua hadits ini semakin jelas kaidah yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu jangan sampai bercampur dan salah dalam memahami hal-hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang dijelaskan sejak di awal dengan hal-hal yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kemungkinan yang disebutkan pada bagian akhir bahasan ini.
Setelah pemaparan ini, maka jangan lagi tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa perbuatan berikut adalah bid`ah atau haram :
1.       Perayaan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
2.      Perayaan malam isra` mi`raj.
3.      Menghidupkan malam nishfu sya`ban.
4.      Shalat tarawih lebih dari 8 rakaat.
5.      Tilawah Al Quran untuk si mayyit di rumahnya
6.       dsb. masih banyak lagi
Jikalau ada yang mengharamkan hal-hal seperti disebutkan diatas dan semisalnya dengan dakwaan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, maka bacakan saja kepada mereka QS: Yunus: 59 : KATAKANLAH: "APAKAH ALLAH TELAH MEMBERIKAN IZIN KEPADAMU (TENTANG INI) ATAU KAMU MENGADA-ADAKAN SAJA TERHADAP ALLAH?"

Sahabat…
Apabila dalam sebuah pencarian, anda tidak tahu sesuatu, bukan berarti ia tidak ada!
Apabila anda tidak paham sesuatu, bukan berarti ia tidak ada.
Apabila anda belum menemukan sesuatu, bukan berarti ia tidak ada.
Apabila anda terhalang untuk memahami/mendapatkan sesuatu, bukan berarti ia tiada.
Apabila anda pendapat dalam memahaminya dengan orang lain, bukan berarti ia tiada.
Bukankah dada lebih luas untuk menerima kebenaran?!
Wallahu yaqulu al haq wa yahdis sabil wa alhamdulillahi rabbibil `alamin
Dari pertanyaan diatas kita sudah bisa langsung memahami apa maksud yang diinginkan! Sebelum menjawab, saya harap kita tidak tergesa-gesa menghukumi berdasarkan satu ayat atau satu hadits tanpa memahami maksud ayat dan hadits tersebut serta juga tidak lupa memperhatikan dan memahami ayat dan hadits lainnya. Karena semua kita sepakat bahwa ayat al Quran dan hadits itu saling melengkapi satu dengan yang lain. Saling menafsirkan. Saling menjelaskan keumumuman dan kekhususannya. Saling menjelaskan mutlaq dan muqayyadnya. Jangan sampai kita terjebak dengan mengambil sebagian nash syariat dan mengingkari sebagian nash syariat lainnya, karena lahir dari sikap fanatisme terhadap individu/kelompok tertentu.
Mari kita analisa dan kritisi dengan objektif permasalahan ini, tanpa dikendarai oleh hawa nafsu dan rasa fanatisme kepada siapapun dan kelompok apapun. Seandainya ternyata kurang ilmu, maka tidaklah aib untuk bertanya kepada ahlinya. Karena sejak zaman dahulu obat ketidaktahuan itu adalah bertanya. Seandainya masih tidak tahu, lebih baik untuk memilih diam, karena jikalaulah orang-orang yang tidak tahu bisa berdiam diri, maka tidak akan banyak khilaf di dalam tubuh umat ini. Tidak akan banyak perdebatan, perselisihan dan perpecahan. Na`udzubillah. Jikalau sudah tahu, mari bersikap bijak.
Jikalau ada pembaharuan yang menambah-namah dalam urusan agama, tanpa ada dalil dari syariat secara umum ataupun secara khusus yang menjelaskannya, maka itu adalah sebagai bentuk upaya kudeta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apalagi berfikir membuat syariat baru, seperti Allah yang mewajibkan syariat islam kepada kita. Jikalau memang itu yang diinginkan oleh pelaku bid`ah, berarti orang tersebut adalah kafir!
Perhatikanlah Qs: Yusnus: 32,”Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.”
Ayat ini relevan dengan QS: Al Maidah: 3,”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”
Perhatikanlah hadits,”Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya (agama kami ini), maka amalannya tertolak.” (HR: Bukhari-Muslim)
Pada redaksi Muslim,”Barangsiapa yang melakukan sebuah amalan yang tidak ada di dalam urusan (agama) kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Pada sebagian lafadznya dijelaskan dengan redaksi fie dinina (di dalam agama kami ini) sebagai ganti dari fie amrina. Sehingga artinya menjadi,“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam agama kami ini yang bukan berasal darinya (agama kami ini), maka amalannya tertolak.” (HR: Bukhari-Muslim)
Perhatikanlah ayat dan hadits diatas, bahwa amalan yang tertolak maksudnya adalah karena adanya tambahan dari agama yang sudah sempurna. Ini maknanya, ada dakwaan dari pelaku bid`ah bahwa ada `agama baru` dan di waktu bersamaan pelaku bid`ah sekaligus melakukan kudeta kepada kerasulan Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.. Inilah bid`ah yang ditolak itu, karena tidak lagi mengikuti agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam !!! Ketika kita melakukan sebuah bid`ah, itu maknanya adalah kita sudah menjelma menjadi seorang pembuat syariat baru. Kita telah mengambil posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara tidak langsung. Disini kita berupaya untuk menjadi Nabi dan Rasul baru, tapi tidak mau terang-terangan! Inilah yang dimaksudkan pada potongan hadits "bukan berasal darinya (agama kami ini)", sehingga ia tertolak. Maka dipahami, bahwa selama berasal dari syariat, amalannya tidak akan tertolak, karena masih mengamalkan amalan yang masuk di dalam lingkup syariat. Baik dijelaskan oleh syariat secara umum maupun secara khusus.  
Oleh karena itu Imam Malik mengatakan: "Barangsiapa yang melakukan sebuah pembaharuan di dalam islam dengan sebuah bid`ah yang dianggapnya baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati tugas kerasulan, karena Allah telah berfirman: Qs: Al Maidah: 3. Maka apa saja yang tidak merupakan bagian dari agama ketika itu, hari ini juga tidak merupakan bagian dari agama." Mereka menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhianat karena tidak menyampaikan ajaran agama yang sudah sempurna, maka perlu melakukan bid`ah dalam persepsi pelaku bid`ah, karena perlu penambahan dari pengkhianatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tadi!  Oleh karena alasan seperti inilah, makanya tidak mengherankan jikalau imam Syatibi mengatakan bahwa seluruh bid`ah adalah sesat dan tercela meskipun tingkatannya berbeda, seperti yang dijelaskan di dalam kitabnya Al I`tisham. Pahamilah maksud dari ayat, hadits dan perkataan Imam Malik diatas, agar tidak terjadi percampuran dalam pemahaman.
Makanya, selama perbuatan baru tersebut tidak ada dalil yang mu`tabar dalam syariat, perbuatan tersebut akan tetap masuk ke dalam kesesatan dan tercela, meskipun pelakunya mengajukan jutaan syubuhat (mengajukan dalil tidak pada tempatnya) dan pelbagai takwil untuk menguatkan dalilnya. Tetapi jikalau yang dilakukan masih masuk di dalam pokok-pokok ajaran syariat -baik secara umum ataupun secara khusus- yang bersumber dari al Qur`an, sunnah, ijma`, dan qiyas, berarti belum keluar dari agama dan tidak mengada-ada sesuatu yang bukan dari agama, supaya menjadi bagian dari agama. Ini tidak berarti menambah ajaran agama yang sudah lengkap. Meskipun perbuatan tersebut belum ditemukan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan dalil hadits "seluruh bid`ah adalah sesat", mereka berstatemen jikalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menyatakan secara jelas dan terang-terangan bahwa "seluruh bid`ah adalah sesat", apakah sah perkataan orang lain yang menyatakan bahwa bid`ah ada yang tidak sesat?! Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hadits ini, datang para mujtahid -apapun tingkatan derajat mereka- mengatakan bahwa bid`ah itu tidak seluruhnya sesat, akan tetapi sebagiannya sesat, sebagiannya baik dan sebagiannya tercela, apakah logis seperti ini?!
Dengan logika-logika seperti inilah mereka mencoba memperdaya pemikiran mayoritas kaum muslimin! Sehingganya umat pun menjadi heboh dan berteriak secara serempak untuk mengingkari pembagian bid`ah serta bersama-sama mengutuki para ulama!
Mereka yang tidak menerima pembagian bid`ah, entah dengan alasan apa untuk terburu-buru menyatakan bahwa bid`ah itu semuanya tercela dan tertolak. Sikap yang paling disayangkan adalah para ulama yang membagi bid`ah ini dikatakan sebagai orang-orang sesat, fasiq, dsb.. Padahal mereka adalah para ulama besar yang telah mengorbankan seluruh hidup mereka untuk memperjuangkan agama. Saya sangat miris sekali melihat kenyataan seperti ini. Orang-orang bodoh, seperti mereka dengan seenaknya mencaci maki ulama besar, bertaqwa, wara`, dan memiliki ilmu bagaikan samudera. Daging ulama itu adalah beracun, wahai sahabat! Jangan sampai membuatmu justru terjerat ke dalam api neraka karena salah-salah dalam memposisikan ulama, yang merupakan pewaris para Nabi dan Rasul...!
Setelah menghadapi kenyataan bahwa mereka -yang mengklaim seluruh bid`ah adalah sesat- tidak bisa makan, minum, bertransportasi, berkomunikasi, memiliki tempat tinggal, berbisnis, menikah, berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat, tidak bisa berdakwah melalui radio, TV, internet, dengan mikrofon, dll.. Merekapun akhirnya membagi bid`ah kepada: bid`ah diniyyah dan dunyawiyyah. Menurut mereka yang ada adalah bid`ah dari sisi agama dan bid`ah dari sisi duniawi!! SubhanaLlah, mereka mengingkari orang lain membagi bid`ah, sedangkan mereka malah membagi bid`ah?! SubhanaLlah, apakah mereka saja yang boleh melakukan pembagian, sedangkan orang lain tidak??! Kontradiktif sekali antara serangan mereka kepada mayoritas umat dengan perbuatan mereka! Apakah ini disadari seutuhnya?
Dari pemaparan sebelumnya, mereka yang mengingkari pembagian bid`ah kepada bid`ah mahmudah dan bid`ah mazmumah adalah bukti kepicikan mereka dalam memahami syariat. Mereka mendakwa semua bid`ah adalah sesat, tercela dan tidak diterima. Namun ketika dihadapkan kepada kenyataan berupa pelbagai pembaharuan, merekapun blingsatan dan terpaksa membuat pembagian bid`ah yang baru. Sungguh sangat mengherankan sekali. Orang lain mencoba memahami bid`ah -setelah berupaya menggabungkan pelbagai dalil yang ada, dikaji secara kritis, kemudian dihasilkan kesimpulan berupa pembagian bid`ah menjadi mahmudah dan mazmumah- diingkari dan dicela. Tapi mereka malah melakukan perbuatan yang sama, dengan dakwaan yang berbeda!
Mereka mempermainkan logika pembagian bid`ah menurut mereka ini, untuk membenarkan apa yang mereka butuhkan dalam hidup mereka. Anggap saja makna dari ucapan mereka ini sah, diterima oleh seluruh muslim, akan tetapi pembagian dengan seperti ini tidak pernah ada sejak dari zaman Rasul Saw.. Nah, dari mana datang pembagian ini? Dari mana datang penamaan bid`ah seperti ini? Jikalau mereka menuduhkan bahwa pembagian bid`ah ada yang mahmudah (terpuji) dan ada yang mazmumah (tercela) tidak bersumber dari syariat, kitapun bertanya kepada mereka, pembagian bid`ah kepada bid`ah diniyyah (agama) dan dunyawiyah (duniawi), berasal dari mana?! Bukankah di dalam hadits itu disebutkan secara mutlaq, seluruh bid`ah adalah sesat? Nah dari mana kalian memahami bahwa ada pembagian bid`ah agama dan bid`ah duniawi ini? Apakah kalian masih berani mengatakan bahwa seluruh bid`ah adalah sesat? Kemudian tergesa-gesa mengatakan bahwa bid`ah yang bersifat diniyyah adalah sesat, sedangkan bid`ah duniawi tidak apa-apa! Bukankah pembagian seperti inilah yang disebut bid`ah?
Jikalau kita menyadari apa yang sedang kita pahami, maka kita perlu memahami dan menyadari sepenuhnya, dari mana sumber hadits ini? Bukankah ini bersumber dari lisan pembuat syariat (Rasul saw)? Oleh karena itu, hadits ini harus kita pahami dari lisan pembuat syariat, bukan dari logika kita belaka. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bid`ah adalah "segala sesuatu yang baru yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya", saya yakin anda tidak akan lupa bahwa seluruh penambahan dan pembaharuan tercela itu maksudnya adalah seluruh penambahan dan pembaharuan dalam urusan agama yang kemudian menjadi bagian dari agama. Begitu juga segala penambahan dalam syariat agar memiliki label syariat, sehingganya menjadi syariat yang wajib diikuti oleh seluruh orang yang mengaku bersyariat islam.
Jikalau diamati lebih jauh, pembagian bid`ah terhadap hasanah (baik) dan sayyi-ah (tercela) di dalam pemahaman mayoritas para ulama, tidak lain adalah bid`ah dilihat dari sisi bahasa, yang bermakna seluruh yang baru, yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Nah segala yang baru ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ini logika yang tidak sulit diterima oleh siapapun yang berakal. Tidak ada satu pun yang meragukan bahwa bid`ah di dalam urusan agama dengan menambah-nambahnya adalah tercela! Karena memang tidak ada yang perlu ditambah, sesuai dengan statement kalian dengan memakai dalil Qs: Al Maidah: 3. Penambahan dari syariat yang sudah lengkap inilah bid`ah yang tercela, tertolak, dimurkai dan diancam dengan api neraka! Ini sama dengan apa yang dipahami oleh jumhur ulama. Jadi bid`ah yang ditolak itu karena `bertentangan dengan syariat`, bukan mutlaq dilihat secara sempit dari segi bahasa.
Jikalau mereka memahami logika seperti ini, ternyata perbedaan antara kita tidaklah terlalu besar, hanya saja kadang dada terlalu sempit untuk menerima orang lain. Terkadang ketidaktahuan atau belum tahu sebuah masalah, membuat kita menutup diri dari orang lain. Sehingganya tidak jarang perbedaan kecil membuat mereka mesti menuduh orang lain dengan pelbagai tuduhan yang kurang tepat secara logika dan sulit diterima oleh tabiat manusia normal!!! Apa tidak sebaiknya menyadari;
"Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui." dan QS: Yusuf: 76 …Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" QS: al Isra`: 85???
Kenapa tidak memahami realita ini dan mendahulukan husnuzhan kepada orang lain, sambil berupaya mencari hakikat sesuatu yang masih menjadi pertanyaan kita??!
Selanjutnya mari kita coba kritisi pernyataan mereka yang mengatakan setiap bid`ah duniawi adalah tidak apa-apa! Jikalau ada yang mengatakan demikian, maka ini adalah sebuah statement yang sangat berbahaya dan perlu diluruskan. Karena akan berdampak kepada hilangnya karakter dan identitas setiap muslim. Akan terjadi musibah dan fitnah besar. Apakah akan kita katakan segala kreasi baru dalam dunia seni, fashion, perfilman, internet, perundangan, dll. bukan bid`ah?! Saya rasa tidak ada yang mengatakan demikian. Akan tetapi kita akan katakan bahwa semua yang baru tersebut ada yang baik (mahmudah) dan ada yang tidak baik (mazmumah). Itu artinya mereka juga mesti mengatakan bahwa sebagian dari perbuatan duniawi ini hasanah (baik) dan sebagiannya sayyi-ah (tercela). Karena memang pelbagai pembaharuan yang terjadi di dunia ini ada yang baik dan ada yang tercela, sebagaimana diketahui oleh semua orang, kecuali bagi mereka-mereka yang tidak mengakuinya!
Saya yakin mereka tidak hendak memisahkan antara kehidupan duniawi dengan agama, seperti kaum liberalis??! Sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa tidak ada satupun perbuatan kita, kecuali akan ada hukum dan konsekuenisnya secara syar`i! Oleh karena itu, apapun aktivitas manusia pasti masuk ke dalam lingkup syariat islam dan ada konsekuensi hukumnya. Pembagian jumhur ulama terhadap bid`ah kepada bid`ah mahmudah dan bid`ah mazmumah adalah pembagian yang sangat tepat dan relevan, jikalau dibandingkan dengan pembagian mereka yang mengatakan bahwa bid`ah dibagi kepada bid`ah diniyyah dan bid`ah dunyawiyyah. Bahkan pembagian bid`ah kepada bid`ah mahmudah dan bid`ah mazmumah adalah sebuah kemestian.
Karena pembagian jumhur ini -jikalau diamati dengan seksama- mengajak umat untuk menggali dan melejitkan segala potensi untuk menemukan pelbagai pembaharuan seraya tetap komitmen kepada kaidah-kaidah agama -sekecil apapun dan dalam bidang apapun pembaharuannya-. Pembagian ini mewajibkan kepada seluruh muslim untuk menjadikan seluruh penggalian mereka terhadap hal-hal yang baru mesti dikaji dari segi syariat dan mereka dituntut untuk komitmen dengan rambu-rambu syariat. Mereka mesti melihat hukum islam terhadap setiap pembaharuan yang dilakukan.
Maka di ujung kajian ini menurut saya, mereka yang mendakwa untuk memurnikan ajaran syariat dan kembali kepada ajaran islam yang murni kemudian menuduh bahwa seluruh bid`ah adalah sesat dan akhirnya terpaksa juga membagi bid`ah menjadi bid`ah diniyyah dan bid`ah dunyawiyyah -jikalau disadari- malah berpotensi menyulut bara perpecahan umat dan menyamarkan ajaran agama, jikalau tidak sampai kepada membuat agama baru yang bersumber dari kepala mereka. Aib sebenarnya bukan ada pada ulama, akan tetapi ada pada diri mereka yang belum memahami maqashid syariah secara utuh dan belum mencicipi ruh syariat sepenuhnya, yang akan membuat tenang seluruh pemeluknya. 

0 komentar: